Shazia Alma
#Analisis —
Optimisme Presiden Prabowo Subianto, bahwa Indonesia mampu mencapai pertumbuhan
ekonomi 8 persen disampaikannya dalam Musyawarah Nasional Konsolidasi Persatuan
Kadin Indonesia di Hotel The Ritz Carlton (16-01-2025). Presiden menekankan
pada pengelolaan ekonomi secara efisien, berbasis logika, juga perhitungan yang
akurat dengan efisiensi dan menghentikan pemborosan. Selain itu, swasta tetap
menjadi pilihan mitra pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, serta
mendorong peningkatan program swasembada pangan dan energi terbarukan yang utuh
dan substansial (green energy).
(presidenri.go.id, 16/01/2025)
Banyak pengamat
ekonomi berbincang dan memperpanjang diskusinya terkait mekanisme yang bisa
digunakan untuk meraih target pertumbuhan ekonomi tinggi di atas 5 persen,
ketika keadaan ekonomi Indonesia yang masih dibayangi rutinitas kenaikan harga
komoditas, masih maraknya PHK karena industri dalam negeri banyak yang jatuh
miskin, nilai tukar rupiah yang kurang stabil, pengangguran dan kemiskinan,
ditambah korupsi yang makin menjadi momok di negeri ini. Para ekonom membaca
perlu adanya action baru dari
pemerintah untuk bisa memecahkan kebuntuan pertumbuhan ekonomi dalam negeri,
seperti industrialisasi, hilirisasi, investasi, dan perdagangan global (rm.id,
20/01/2025).
Pembacaan
tersebut sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2025-2029, yaitu (1) peningkatan produktivitas pertanian menuju swasembada
pangan; (2) industrialisasi dan hilirisasi sektor padat karya, ekspor, dan
berkelanjutan; (3) penerapan ekonomi hijau dan ekonomi biru; (4) pariwisata dan
ekonomi kreatif; (5) perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; (6)
transformasi digital; (7) investasi atau Foreign
Direct Invesment (FDI) berorientasi pada ekspor dan investasi non APBN; (8)
belanja negara untuk produktivitas. Seperti PSN, Makan Bergizi Gratis (MBG),
Pembangunan 3 juta rumah, Lumbung Pangan Nasional dan Desa, Sekolah Unggul,
Hilirisasi Lanjutan EV, dll. (detikFinance.com, 30/12/2024)
Meski RPJMN
telah dirancang, sejumlah tantangan yang ada perlu mendapat perhatian khusus
dari pemerintah. Jika ditelisik, target swasembada pangan Indonesia 2029 saja
perlu evaluasi dan koreksi mendalam. Pelajaran dari masa lalu, terkait
kegagalan program food estate dengan
beberapa alasan. Tantangan yang dihadapi setidaknya ada 100.000–110.000 hektare
lahan pertanian beralih fungsi setiap tahunnya. Ditambah lagi berdasarkan Data
Sensus Pertanian BPS 2023 menunjukkan mayoritas petani Indonesia berusia 55
tahun ke atas, dengan adaptasi teknologi yang rendah (indonesia.go.id, 17/12/2024).
Tidak hanya itu,
persoalan irigasi juga menjadi kendala. Ketersediaan air yang tidak merata di
berbagai daerah dan dampak perubahan iklim yang tidak menentu menyebabkan
penurunan hasil produksi pertanian. Malah, minimnya perlindungan negara pada petani
sering menyebabkan petani rugi dan tidak mampu bersaing dengan produk impor.
Tantangan
selanjutnya, untuk suksesnya RPJMN tidak dapat dipisahkan dari sinergi
pemerintah dan swasta. Pasalnya, infrastruktur pada RPJMN ini memang masih
bertumpu pada swasta. Rencana-rencana ini setidaknya mampu menghasilkan
lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja. Dalam Okun’s Law dinyatakan bahwa
penurunan tingkat pengangguran satu persen akan meningkatkan dua persen
pertumbuhan ekonomi (Abel & Bernanke, 2005).
Pihri Buhaerah,
Peneliti Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN menyatakan bahwa swasta tidak bisa diandalkan untuk
menyelesaikan persoalan pengangguran. Menurutnya, menjadi penting bagi
pemerintah untuk mengaruskan job creation
massal. Mulai dari membuat program padat karya, membatasi pekerja asing kurang
terampil, maupun merevitalisasi sektor pertanian (news.detik.com, 30/10/2024).
Dalam Forum
Katadata Indonesia Future Policy Dialogue, panel diskusi “Mengejar Pertumbuhan
Ekonomi 8 Persen” di Le Meridien Jakarta (9/10/2024), Aviliani, Wakil Kepala
Badan Moneter Kadin Indonesia, menyampaikan bahwa terkait pertumbuhan ekonomi
tinggi, pengusaha sebagai pemeran sektor
swasta melihat bahwa masih banyak hal yang perlu dibenahi pemerintah, seperti
(1) ekosistem yang masih egosektoral menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan cost yang sangat besar di dalam
usahanya; (2) antisipasi kebijakan pemerintah ke depan terkait sektor yang akan
diunggulkan. Pengusaha melihat masih bayak sektor pertambangan ilegal, lalu pertanian
terkait kemandirian pangan yang kuncinya pada agroindustri, dan manufaktur yang
makin menurun kontribusinya untuk PDB. Ketiganya banyak yang perlu diperbaikai;
(3) Ekosistem kebijakan, arah kebijakan, dan insentif pemerintah belum jelas
apa pada demand side atau supply side; (4) yang terakhir adalah
perpajakan. Dengan tingginya pajak diiringi income
masyarakat yang makin menurun, membuat pengusaha khawatir, karena income adalah demand bagi pengusaha.
Terkait dengan
investasi, tantangan terbesar menurut Piter Abdullah Redjalam, Ekonom dan
Founder Segara Research Institute, adalah harusnya ada perbaikan sistem ‘mesin’
ekonomi Indonesia yaitu pada masalah birokrasi, inefisiensi, dan high cost economy. Harus ada perombakan
total untuk mendorong peran swasta. Perekonomian Indonesia adalah perekonomian
rente yaitu pasar keuangan dengan mekanisme yang disiapkan pemerintah justru
membuat investasi pasif (Katadata Indonesia Future Policy Dialogue, 9/10/2024).
Senada dengan
Piter, Dradjad H. Wibowo, Ekonom Senior/Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo,
menambahkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, Indonesia masih perlu
mengandalkan swasta. Namun, swasta selalu terhalang regulasi dan birokrasi yang
terlalu gemuk. Selanjutnya, sesuai Astat Cita ke-3 dan ke-7, adalah kita perlu untuk
menaikkan research spending. Baik research dasar maupun terapan
(aplikatif). Sebab, jika tidak ada research
dasar, kekayaan alam kita gampang dicuri. Masalahnya, dana belanja negara
sekitar 3600 triliun untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen tidak
mencukupi untuk research dasar ini,
masih kurang sekitar 300 triliun (Katadata.com, 09/10/2024).
Selanjutnya,
belanja negara untuk produktivitas, menurut Piter Abdullah Redjalam, pemerintah
masih fokus hanya pada kebijakan fiskal tidak fokus pada kebijakan moneter.
Potensi moneter itu besar, tetapi ketatnya fiskal diikuti dengan ketatnya
moneter membuat ekonomi akan menjadi ringkih. Sejalan dengan itu, Dr. Hendri
Saparini, Ekonom dan Pendiri Center of Reform on Economic (CORE Indonesia),
pada Podcast Endgame (18-12-2024) menyatakan bahwa permasalahannya struktural
dan fundamental. Fiskal dengan penjualan surat berharga negara dan diserap oleh
moneter, akan menutup beredarnya uang ke hilir, yaitu kapan uang akan beredar
di masyarakat. Menurutnya, perlu koordinasi strategis antara fiskal, moneter,
dan sektor riil.
Bukan tidak
mungkin, bahwa tantangan-tantangan di atas tidak mudah diatasi bahkan
berlarut-larut menggerogoti kekuatan ekonomi Indonesia karena falsafah yang
menopang sistem ekonomi di Indonesia adalah pandangan neoliberalisme. Pandangan
ini menolak intervensi negara sehingga individu akan lebih bebas berusaha
(wikipedia.org). Yang dimaksud individu di sini tentu bukan semua masyarakat
Indonesia melainkan individu-individu pemilik modal yang mampu menyetir arah
kebijakan penguasa (oligarki).
Oligarki suatu
bentuk kekuasaan segelintir orang yang menguasai banyak orang (barta1.com,
12/01/2021). Oligarki memiliki dasar kekuasaan, yakni kekuasaan material yang
sulit untuk dipecahkan dan diseimbangkan dengan jangkauan kekuasaan luas dan
sistemik (Winters, 2011: 5). Bagi Winters, oligark mempunyai tujuan untuk
memusatkan sumber daya material dan dengan sumber daya itu berupaya membentuk
pertahanan dan meningkatkan kekayaan pribadi, posisi sosial, dan misi-misi
politiknya. Robinson dan Hadiz (2014), menekankan peranan relasi kekuasaan para
oligark dengan berbagai entitas politik seperti birokrasi pemerintahan, untuk
mempertahankan konsentrasi kekayaan.
Menurut Vedi
Hadiz, koalisi ini mampu membangun kekuasaan di dalam perekonomian kapitalis
yang terstruktur dengan para investor dan pemberi pinjaman internasional
(VediHadiz, 2005: 112). Tak salah kiranya jika Ekonom CORE Indonesia, Dr.
Hendri Saparini mempertanyakan investasi di Indonesia, dengan Foreign Direct
Investment sekalipun: apa; di mana; dan untuk siapa investasi itu? Karena tidak
pernah sampai membentuk hilirisasi (lapangan pekerjaan) di masyarakat.
Masyarakat tidak dapat berproduksi dan menikmati hasil produksinya (Podcast
Endgame, 18/12/2024). Dengan kondisi ekonomi Indonesia dalam cengkeraman
oligarki, pastinya stabilitas dalam negeri terkait kebijakan struktural dan
fundamental akan sangat sulit terwujud. Perlu ada political will yang kuat dari penguasa untuk menghentikan lajunya
kejayaan oligarki memegang kendali kebijakan agar terwujud perubahan secara
sistemik.
Gambaran kuatnya
political will guna mewujudkan
stabilitas ekonomi dalam negeri, hanya bisa mencontoh dari kebijakan yang
dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika Madinah memproses dirinya menjadi negara
yang kokoh. Dalam kesempatan itu, Rasulullah secara spesifik memisahkan
kepemilikan individu, umum, dan negara. (An-Nabhani, Taqiyuddin. (2014). Daulah
Islam: Membangun Masyarakat. Jakarta: Daar al-Ummah.)
Untuk
kepemilikan individu, Rasulullah mempermudah salah satunya melalui hibah.
Contohnya, pemberian Anshar pada Muhajirin. Mereka memberikan harta dan
pendapatannya serta bersama-sama dalam memenuhi kebutuhan dunia. Para saudagar
dan para petani sama-sama menyumbangkan keahliannya masing-masing. Adapun
saudagar mengajak untuk menyibukkan diri dalam perdagangan. Untuk yang tidak
memiliki kesibukan dagang, menggarap lahan pertanian di kebun-kebun pemberian
kaum Anshar. Rasulullah saw. bersabda, “Barang
siapa yang memiliki tanah, maka tanamilah atau beruikan kepada saudaranya.”
Rakyat semua bekerja untuk memperoleh kekuatan mereka masing-masing.
Kebijakan
Rasulullah tersebut menjadikan Madinah dengan golongan Anshar dan Muhajirin
mandiri secara individu memenuhi sandang, pangan, dan papan mereka. Hal
tersebut juga membentuk perputaran ekonomi riil di tengah-tengah umat, tanpa
campur tangan investor asing dan oligark. Untuk masyarakat yang tidak memiliki
harta sama sekali dan tidak memiliki pekerjaan, juga tempat tinggal. Mereka
adalah orang-orang Arab yang memeluk Islam. Rasulullah saw. memperhatikan nasib
mereka dan menyediakan tempat khusus bagi mereka di serambi masjid. Mereka
tinggal dan berlindung di tempat itu. Sungguh, kesadaran ruang dan infrastruktur
yang ada sebagai kepemilikan negara, dioptimalkan Rasulullah untuk warga negara
Khilafah saat itu. Sampai pada kebijakan ketika Rasulullah pernah mengambil
kembali pemberian harta umum kepada salah seorang rakyatnya karena hasil dari
sumber daya tersebut mengalir seperti air. Kebijakan ini terus diterapkan dan
disempurnakan oleh para khalifah sepeninggal Rasulullah saw., hingga
kemasyhuran perekonomian Islam menyejahterakan penduduknya bergema ke seluruh
alam dunia ratusan abad lamanya.
Walhasil, jika
banyak pakar ekonom dalam Indonesia Future Policy Dialogue Katadata mengusulkan
Indonesia perlu merubah mindset untuk
pertumbuhan ekonomi 8 persen, karena Indonesia punya potensi itu, kebijakan
yang dilakukan Rasulullah saw. di awal pemerintahan Madinah sangat layak
menjadi alternatif pengganti mindset
ekonomi Indonesia dalam setir oligark saat ini. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar