Polemik Pagar Laut, Tuntaskan dengan Islam!

 



 

Anggun Mustanir

 

#TelaahUtama Bentangan pagar laut misterius di beberapa wilayah perairan Indonesia tengah menjadi buah bibir. Ironisnya, di tengah polemik tersebut, awalnya pemerintah justru terkesan tak acuh hingga publik sendiri yang membongkar siapa sesungguhnya pemilik pagar laut tersebut.

 

Berdasarkan berita di laman CNNIndonesia.com (23/1/2025), sejauh ini setidaknya terdapat empat pagar laut misterius, yakni di Kabupaten Tangerang, Pulau C reklamasi Jakarta, Kamal Muara, serta Bekasi. Pagar laut di Tangerang yang paling disorot. Pagar dari bambu tersebut membentang sepanjang 30,16 kilometer dan tidak ada yang tahu siapa pemiliknya.

 

Sementara itu, masih menurut sumber berita yang sama, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid mengatakan bahwa pagar laut misterius di Tangerang sudah mengantongi sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Jumlahnya mencapai 263 bidang atas nama beberapa perusahaan. Selain itu, terdapat atas nama perseorangan sebanyak 9 bidang dan sebanyak 17 bidang atas nama Surhat Haq. Saat ini, sertifikat SHGB dan SHM tersebut telah dibatalkan. Sebab, penerbitannya berstatus cacat prosedur dan material.

 

Miris, fakta di lapangan mengungkap bahwa menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono keberadaan pagar laut membuat sekitar 3.888 nelayan dan 500-an penangkar kerang terdampak. Selain itu, seekor lumba-lumba ditemukan mati dalam kondisi terapung dan tersangkut pagar laut di perairan Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat pada Rabu (22/1/2025). Pagar laut telah merusak tatanan ekologis dan ekonomi masyarakat pesisir. Menurut Dedi Mulyadi, pagar laut tidak hanya mengancam habitat hewan laut, tetapi juga melanggar ketentuan hukum (Kompas.com, 23/1/2025).

 

Sungguh menyedihkan, fakta di atas menunjukkan ketamakan manusia saat tidak bersandar pada aturan Allah Swt.. Karena sejatinya, sebagai negeri yang mayoritas penduduknya menganut Islam sebagai keyakinan, mengembalikan segala urusan kepemilikan sesuai aturan Islam. Dalam kitab Nizhamul Iqtishady fi al-Islam, karya Mujtahid cemerlang Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, segala ciptaan Allah di muka bumi ini dibagi menjadi tiga kepemilikan. Ada kepemilikan individu, milik negara, dan milik umum. Idealnya, para pemangku kebijakan paham dan mengerti aturan syariat ini lebih mendalam agar mampu mewujudkan keadilan bagi rakyatnya juga keseimbangan lingkungan.

 

Kepemilikan umum dibagi menjadi tiga. Pertama, barang yang menjadi kebutuhan masyarakat luas sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang artinya, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.(HR Abu Dawud dan Ahmad)

 

Kedua, aset yang memiliki kandungan sangat besar di alam ini. Seperti pantai, laut, dan hutan yang semua orang mendapat hak untuk merasakan kemanfaatannya. Aksesnya tidak boleh ditutup. Negara bertanggung jawab untuk mengeksplor sumber daya alam tersebut. Seperti ketika Rasulullah saw. menarik pemberian tambang garam kepada Abyad bin Hammal setelah beliau saw. memberikannya. Dari Abyad bin Hammal, dia mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau saw. agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi saw. pun memberikan tambang itu. Ketika Abyad bin Hamal r.a. pergi, ada seorang laki-laki yang berada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Kemudian Rasulullah saw. mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).”  (HR Abu Dawud dan At-Timidzi)

 

Kejadian tersebut menunjukkan bahwa tambang garam tersebut merupakan aset milik umum sehingga Rasulullah saw. menarik kembali apa yang sudah diberikan karena sumber daya alam pada tambang garam yang tersedia tersebut sangat besar.

 

Ketiga, yaitu benda-benda yang tidak mungkin dimiliki individu. Dari Abu Dawud berkata bahwa ketika Rasulullah saw. ditanya, "Bolehkah kami membangun rumah untuk tempat berteduh bagimu di Mina?" Maka, Rasulullah saw. menjawab, "Tidak boleh. Mina adalah tempat bagi orang yang datang terlebih dahulu."

 

Dalam Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah karya Syekh ‘Abdul Qadim Zallum tertulis Mina adalah tempat yang sudah sangat terkenal. Mina terletak di luar Makkah al-Mukarramah. Mina merupakan tempat singgah jemaah haji setelah menyelesaikan ibadah wukuf di Arafah untuk melaksanakan syiar-syiar ibadah haji yang sudah ditentukan, seperti melontar jumrah, menyembelih hewan had (hewan denda), memotong hewan kurban, dan bermalam di sana.

 

Makna dari munakh[un] man sabaq (tempat singgah bagi siapa saja yang datang lebih dulu) adalah Mina milik seluruh kaum muslim. Siapa saja yang lebih dulu sampai ke suatu bagian tempat di Mina, lalu menempati tempat itu, maka tempat tersebut adalah baginya. Hal tersebut karena Mina merupakan milik bersama di antara kaum muslim, bukan milik perorangan yang menjadikan orang lain dilarang untuk memiliki (menempati) tempat tersebut (Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 68).

 

Dalam Islam, pantai dan laut termasuk kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah). Semua orang (masyarakat) boleh memanfaatkan pantai baik untuk berwisata, penelitian, atau sebagai tempat usaha seperti para nelayan. Oleh karena itu, pemberian konsesi terhadap individu yang menghalangi hak warga lain untuk memanfaatkan kepemilikan umum, termasuk pantai, adalah perkara haram.

 

Dari penjabaran di atas, jelas bahwa terdapat benda-benda di muka bumi ini yang memang diciptakan Allah bukan untuk orang-orang tertentu. Bahkan, negara juga tidak memiliki hak untuk memberikan keistimewaan kepada siapa pun, melainkan memang untuk seluruh manusia. Selain itu, syariat Islam juga mengatur agar manusia tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan.

 

Sungguh aturan Islam sangat jelas dan terperinci dalam memberikan tuntunan bagi pemimpin negara sebagai bekal mengatur kehidupan bernegara. Hal itu juga yang dahulu dicontohkan Rasulullah saw. dalam kehidupan di Madinah dan kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau.

 

Oleh karena itu, kontroversi keberadaan pagar laut misterius di sepanjang Pesisir Jakarta, Tangerang, dan Bekasi tentunya bertentangan dengan aturan Islam mengenai pengaturan laut. Sebab, laut termasuk dalam al-milkiyatul ammah atau kepemilikan umum. Maka, untuk menyelesaikan persoalan pagar laut tentu kita (masyarakat) dan terutama para pemangku kebijakan kiranya berpegang kepada aturan Islam secara menyeluruh. Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar