Anggun Permatasari #TelaahUtama — Publik dikejutkan dengan berita bahwa Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo masuk nominasi sebagai finalis tokoh terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Kabar tersebut langsung dibantah beberapa pihak, termasuk Jokowi sendiri. Menurutnya, tuduhan tersebut adalah fitnah. Dia mengatakan bahwa tidak ada bukti dia melakukan korupsi atau terlibat korupsi. Pihak OCCRP juga mengakui bahwa tidak memiliki bukti terhadap berita tersebut (Tempo.co, 4/1/2025). OCCRP berargumen bahwa masukkan terhadap nominasi tersebut berasal dari masyarakat luas yang mendapatkan dukungan daring terbanyak secara global. OCCRP merasa tidak memiliki kendali atas siapa yang dinominasikan (hukumonline.com, 6/1/2025). Saat ini, kasus korupsi faktanya memang lekat dengan penguasa. Menurut data kinerja KPK pada periode 2020-2024, KPK telah menangani 2.730 perkara korupsi. Tahun 2020-2024, KPK menerima pengaduan sebanyak 21.189. Sedangkan dilansir dari laman polresbontang.com, 2/1/2025, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menuturkan bahwa sepanjang 2024, Polri berhasil mengungkap 1.280 kasus korupsi, dengan penyelesaian 431 kasus (33,7%), serta mengamankan 830 tersangka. Salah satu kasus besar yang berhasil diungkap yaitu, korupsi proyek Bendungan Marga Tirta yang merugikan negara sebesar Rp43,3 miliar. Miris, penguasa yang seharusnya menjadi pelindung dan memastikan kesejahteraan bagi rakyatnya, nyatanya melakukan tindakan khianat yaitu korupsi atau mengambil harta umat. Mereka mengambil hak rakyat demi kepentingan pribadi, keluarga, dan koleganya. Sementara, problematika negara yang semakin karut-marut dan segala kesengsaraan yang dialami rakyat dibiarkan berlarut-larut. Namun sejatinya, kondisi demikian dalam kehidupan yang menjadikan demokrasi kapitalisme sebagai dasar pengambilan hukum adalah hal biasa. Disadari atau tidak, orang-orang yang berada dalam jajaran pemangku kebijakan akan terjurumus dalam tindakan korupsi. Karena dalam demokrasi, untuk berada di dalam pengatur kebijakan, orang harus mengeluarkan modal yang besar. Sehingga ketika menjabat, balik modal adalah hal utama yang akan dilakukan mereka. Hukum dalam demokrasi kapitalisme juga faktanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Selain itu, hukum yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera. Walhasil, alih-alih memberantas korupsi, sebaliknya, korupsi justru kian subur. Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan aturan Islam. Islam sangat tegas terhadap pelaku kejahatan, meski dia seorang bangsawan, pejabat atau kerabatnya. Rasulullah bersabda, yang artinya, “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim) Namun sesungguhnya, dalam aturan Islam korupsi bukan merupakan kasus pencurian biasa. Korupsi masuk kategori penggelapan atau penyelewengan uang negara dan merupakan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in. Selain itu, termasuk juga suap-menyuap atau disebut dengan risywah (rasuah) (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Bentuk lain korupsi adalah gratifikasi yakni menerima hadiah atau hibah yang tidak sah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Syakhsiyyah Islamiyyah Jilid 2 menulis bahwa setiap orang yang memiliki otoritas memenuhi kepentingan masyarakat maka harta yang diambilnya untuk menjalankan tugas tersebut adalah suap, bukan upah. Sanksi (uqubat) untuk khaa’in tidak sama dengan kasus pencurian yaitu hukum potong tangan (qath’ul yad), melainkan takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Sanksi diberikan dari yang paling ringan, seperti: sekadar diberikan nasihat atau teguran dari hakim; bisa juga berupa penjara; pengenaan denda (gharamah); pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir); hukuman cambuk; hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknis hukuman mati itu bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78–89). Demikianlah pemberantasan korupsi yang paling efektif dan menciptakan efek jera di masyarakat. Selain itu, dalam sistem demokrasi, kriteria untuk menjadi pemimpin tidak jelas. Siapa saja bisa memimpin dan masuk parlemen asal memiliki modal dan popularitas. Padahal, Rasulullah saw. dengan tegas melarang memberikan kepemimpinan kepada orang bodoh. Hadis al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a., yang artinya, “Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kiamat.” Dia (sahabat) bertanya, “Bagaimana yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?” Nabi menjawab, “Ketika urusan itu diserahkan kepada orang yang tidak ahlinya, maka tunggulah kiamat.” Maksudnya, “Ketika urusan itu diserahkan kepada mereka… Karena Allah (Swt.) memberi amanah kepada para imam dan penguasa untuk mengurus hamba-Nya. Mewajibkan mereka memberikan nasihat kepada para penguasa. Mestinya, mereka mengangkat ahli agama dan orang yang amanah untuk mengurusi urusan umat. Jika mereka menyerahkan kepada yang bukan ahli agama, berarti mereka benar-benar menyia-nyiakan amanah yang Allah fardukan kepada mereka.” (Al-Qurthubi, Mukhtashar at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa al-Akhirah, 498) Dalam kitab al-Mustadrak ‘ala as-Sahihain, al-Hakim mengeluarkan hadis yang artinya, “Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, ‘Siapa ruwaibidhah itu?’ Nabi menjawab, ‘Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.’" (HR al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain, V/465) Orang-orang bodoh tersebut memiliki ambisi yang besar untuk berkuasa. Padahal mereka tidak mumpuni, nilai adab yang tidak bermutu, fasik, dan hina. Mereka merupakan penghianat dan pembohong yang pandai bersilat lidah. Dalam aturan Islam (Khilafah), orang yang menjadi pemimpin (kepala negara/khalifah) adalah orang pilihan. Dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz II pada bab “Syarat-Syarat Khalifah”, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa seorang khalifah wajib memenuhi tujuh syarat supaya nantinya dia memiliki kompetensi dalam memangku berbagai tugas kenegaraan (Kekhalifahan) dan agar bisa dibaiat. Tujuh syarat tersebut yakni muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu mengemban tugas-tugas Kekhalifahan. Aturan Islam (Khilafah) mampu mencegah terjadinya korupsi yakni dengan menyeleksi para pemangku kebijakan dari orang-orang yang bertakwa. Negara akan melakukan penghitungan terhadap harta pejabat sebelum menjabat dan sesudahnya. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, maka Khilafah akan menerapkan pembuktian terbalik. Pejabat harus melaporkan dan membuktikan sumber hartanya, apakah mereka mendapatkannya dari jalan yang benar/sah atau tidak. Jika tidak mampu membuktikan, atau terbukti terdapat harta ghulul, maka mereka akan mendapatkan sanksi yang tegas. Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang yang terpandang (terhormat) dari mereka mencuri, mereka pun membiarkannya. Namun jika ada orang yang lemah dan hina di antara mereka ketahuan mencuri, dengan segera mereka melaksanakan hukuman atasnya.” (HR Muslim) Demikianlah aturan Islam yang sangat rinci dalam menyeleksi penguasa yang akan mengurusi rakyat, juga hukum yang ditegakkan. Tidak ada tempat bagi ruwaibidah dan sungguh tidak ada toleransi sedikit pun terhadap perbuatan khianat atau korupsi. Tidak butuh waktu lama sampai masa purna bakti, kasusnya akan diusut tuntas. Pejabat yang terbukti korup akan mendapatkan sanksi yang tegas dari negara. Sehingga, keadilan dan keberkahan bisa terwujud. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar