Solusi Dua Negara, Jebakan Negara Adidaya



Muslimah News, EDITORIAL — Banyak yang berpikir bahwa hingga saat ini, “solusi dua negara” menjadi solusi paling realistis bagi penyelesaian masalah Palestina. Menurut mereka, implementasi solusi dua negara yang sesuai dengan parameter internasional, yakni berupa gencatan senjata dan pengakuan atas kemerdekaan Palestina, akan menjadi jalan terbaik untuk menciptakan perdamaian yang abadi di sana.

Indonesia termasuk negara yang selama ini concern menyerukan perdamaian sekaligus mendorong solusi ini bisa direalisasikan. Hal tersebut kembali ditegaskan Menlu pada kabinet baru, Sugiono, saat berpidato dalam acara PPTM 2025 di Kemlu RI, Jakarta, Jumat (10-1-2025). Ia juga menyampaikan, Indonesia tetap berkomitmen untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina karena Negara Palestina yang merdeka adalah kunci bagi perdamaian yang berkelanjutan.

Bahkan ia juga menegaskan bahwa Indonesia siap untuk mengirim Pasukan Penjaga Perdamaian PBB (UN Peace Keepers) jika keputusan ini diambil oleh Dewan Keamanan PBB. Hal ini katanya dilakukan sebagai bukti bahwa Indonesia konsisten dalam memperjuangkan keadilan global dan perdamaian dunia.

Tipuan Negara Adidaya

Gagasan “solusi dua negara” sejatinya adalah gagasan klise yang terus digaungkan negara-negara adidaya untuk memastikan Palestina dan Timur Tengah tetap membara. Gagasan ini merupakan jebakan politik yang dibuat negara-negara adidaya untuk melanggengkan kepentingan politik dan ekonomi kapitalisme mereka di kawasan yang menjadi jantung negeri-negeri Islam.

Hal ini sudah tampak sejak awal munculnya problem Palestina, yakni ketika pada 1922 Inggris mendapat Mandat LBB untuk mengurus wilayah ini pascakekalahan Khilafah Utsmani pada Perang Dunia I. Saat itu, Inggris sengaja membiarkan migrasi besar-besaran bangsa Yahudi yang terusir dari Eropa ke Palestina dan membiarkan mereka merajalela merampas tanah milik bangsa Palestina. Wajar jika akhirnya muncul konflik berkepanjangan antara bangsa pendatang tersebut dan penduduk asli Arab-Palestina yang ingin mempertahankan tanah miliknya.

Demi meredam ketegangan yang terus terjadi, pada 1937, keluarlah Laporan Komisi Peel yang berisi usulan pembentukan dua negara di wilayah tersebut. Untuk bangsa Palestina diberi wilayah kering dan tandus, termasuk Gurun Negev beserta wilayah yang saat ini disebut Gaza dan Tepi Barat. Sementara sisanya, yakni sebagian besar garis pantai dan wilayah pertanian yang subur, diperuntukkan bagi bangsa Yahudi. Adapun wilayah Yerusalem di-setting untuk diurus dan dikontrol oleh pihak internasional.

Laporan Peel ini tentu saja memunculkan kontroversi karena skemanya jelas-jelas menguntungkan Yahudi. Bahkan setelah itu, terjadi konflik yang lebih besar di tengah kecamuk Perang Dunia II. Lalu pascaperang tersebut, mandat Inggris dicabut, dan atas inisiatif Amerika melalui PBB keluarlah Resolusi 1947 yang isinya justru meneguhkan konsep solusi dua negara.

Pada tahun berikutnya, yakni 1948, di bawah persetujuan PBB, AS membidani pendirian “Negara Yahudi”. Sesuai rancangannya, negara ilegal ini berhasil menjadi duri dalam daging bagi hubungan politik di Timur Tengah dan negeri-negeri muslim lainnya. Adapun beratnya penderitaan yang harus dialami bangsa Palestina, tentu tidak perlu diceritakan lagi. Bagi mereka, hari berdirinya “Negara Yahudi” yang disebut-sebut sebagai “hari kemerdekaan bangsa Yahudi” hakikatnya menjadi awal bencana (nakba) yang jauh lebih besar lagi.

Terbukti, di bawah bendera negara ilegal itulah, Yahudi makin jemawa. Mereka makin berani membantai dan mengusir bangsa Palestina dari rumah-rumah mereka. Jengkal demi jengkal tanah kaum pribumi dicaplok, hingga memicu perlawanan terstruktur dari milisi bersenjata yang lahir dari rahim rakyat Palestina.

Lalu pada 1967, sejarah mencatat perang kolosal antara negara-negara Arab versus negara ilegal Yahudi yang berakhir dengan kekalahan koalisi negara-negara Arab. Namun, bukan rahasia jika perang ini—berikut hasilnya—sejatinya juga merupakan skenario Barat bersama para anteknya dari kalangan penguasa Arab untuk mengukuhkan eksistensi negara ilegal itu dengan batas-batas wilayah yang dibuat lebih besar. Dataran Tinggi Golan dan Sinai saat itu turut jatuh ke tangan Zion*s Yahudi.

Peristiwa tersebutlah yang pada akhirnya menjadi alasan untuk mengikat kepentingan politik negara-negara Arab atas isu Palestina. Mereka bersikap tidak peduli lagi soal apa yang terjadi sebelum peristiwa Nakba. Mereka hanya fokus merebut tanah yang dicaplok pada 1967 dan kemudian jatuh pada rancangan politik Amerika yang ingin memecah belah Timur Tengah demi melanggengkan hegemoninya.

Bahkan, perjuangan rakyat Palestina berhasil dibajak oleh PLO yang 1988 justru mengakui keberadaan negara ilegal Yahudi sekaligus memproklamasikan perjuangan memerdekakan wilayah Palestina sebagai negara bangsa, di samping negara ilegal Yahudi buatan Amerika. Hal ini terjadi di tengah heroiknya gerakan intifadah pertama yang pecah setahun sebelumnya (1987) dan telah menjadikan ribuan kaum muslim Palestina sebagai martirnya. Alhasil, solusi dua negara rancangan Amerika ini makin mendapat legitimasi pihak yang dianggap merepresentasi perjuangan Palestina, yakni PLO dengan Yasser Arafat sebagai pemimpinnya.

Jihad dan Khilafah, Solusi Satu-Satunya

Ndilalahnya, pada masa-masa setelahnya, solusi dua negara tersebut tetap tidak cukup untuk membungkam kerakusan Yahudi yang ingin merebut seluruh tanah Palestina. Mereka makin intens melakukan kekejaman pada rakyat Palestina yang terus direspons dengan gerakan Intifadah I. Namun, rakyat Palestina nyaris berjuang sendirian, bahkan gerakan intifadah di-framing sebagai gerakan ekstrem yang berkehendak menghalangi terwujudnya solusi dua negara.

Di bawah kendali Amerika, perjanjian demi perjanjian pun dilakukan demi solusi dua negara yang terus digadang-gadang bisa menghentikan konflik bangsa Yahudi dan Palestina. Pada September 1993 dan 1995, terjadi Perjanjian Oslo I dan II yang menetapkan pembentukan Otoritas Nasional Palestina di jalur Gaza dan sebagian Tepi Barat dengan Arafat (PLO) sebagai pemimpinnya.

Kedua belah pihak pun, baik negara ilegal Yahudi maupun Otoritas Nasional Palestina, satu sama lain saling mengakui eksistensinya hingga gerakan Intifada I pun padam dengan sendirinya. Padahal, perjanjian ini jelas-jelas makin melegitimasi okupasi Zion*s Yahudi atas tanah Palestina. Terbukti, upaya Yahudi merebut seluruh tanah Palestina terus terjadi. Bahkan, pemimpin mereka terus melakukan provokasi yang membangkitkan kembali semangat perlawanan kaum muslim Palestina. Hingga pada 2000, pecah gerakan Intifada II setelah penyelenggaraan KTT Perdamaian Timur Tengah di Camp David pada Juli 2000. KTT antara Presiden AS Bill Clinton, Ehud Barak, dan Yasser Arafat itu pun lagi-lagi gagal total.

Ironisnya, hingga hari ini, perbincangan atas solusi Palestina di semua meja pertemuan politik para pemimpin dunia, termasuk para penguasa muslim, terus berputar di sekitar gagasan solusi dua negara ini. Padahal, sudah sangat jelas bahwa solusi ini merupakan tipuan Barat dan tidak akan pernah mampu menciptakan perdamaian yang terus digembar-gemborkan.

Betapa tidak? Akar persoalan Palestina adalah adanya entitas politik Yahudi di wilayah Palestina yang justru diciptakan dan eksistensinya terus didukung oleh Barat. Lantas bagaimana bisa, bangsa Palestina dipaksa menyerahkan hak milik mereka kepada pihak yang sengaja dan tanpa malu merampasnya? Bagaimana bisa pula, umat Islam dunia dan para pemimpinnya ramai-ramai mengamini propaganda Barat tentang solusi dua negara? Padahal, semestinya mereka berdiri di pihak Palestina dan turut menolong saudara seiman mereka mengusir penjajah dengan segala daya.

Terlebih tampak bahwa entitas Yahudi tidak paham bahasa manusia. Karakter jahat yang ada pada diri mereka sudah sampai pada puncaknya. Bahasa perdamaian, perjanjian, dan sejenisnya tidak berlaku untuk mereka. Bagi mereka, jangankan membantai musuh-musuhnya, membantai saudaranya sendiri absah demi memuluskan ambisi politik mereka.

Itulah yang tampak pada tahun belakangan ini. Nyaris 50 ribu nyawa muslim Palestina tidak berdosa mereka bantai tanpa belas kasihan. Gaza mereka bumi hanguskan dengan beribu alasan, sedangkan para pemimpin dunia masih berkoar-koar soal solusi dua negara. Mereka tega membiarkan jutaan manusia menderita di tangan sebuah entitas kecil yang sejatinya—jika mau—bisa mereka tumpas cukup dengan satu pukulan saja.

Sungguh, kita tidak bisa berharap masalah Palestina selesai di tangan mereka yang nunut pada agenda Barat. Kita butuh kehadiran institusi politik Islam yang tidak tunduk pada Barat dan siap melawan narasi negara adidaya soal solusi dua negara. Institusi itu bernama Khilafah yang mengurus umat dengan Al-Qur’an dan Sunah. Khilafah inilah yang akan menyatukan seluruh potensi umat Islam, termasuk memobilisasi seluruh kekuatan, termasuk militernya untuk berjihad membebaskan Palestina.

Khatimah

Kehadiran Khilafah bukan utopia. Negara-negara Barat bahkan begitu ketakutan akan potensi hadirnya Khilafah hingga rela melakukan berbagai cara untuk mencegah kebangkitannya. Mereka paham bahwa kehadiran Khilafah akan menjadi ancaman bagi hegemoni politik dan ekonomi mereka atas dunia, sebagaimana mereka paham bahwa Khilafah akan menjadi pembebas Palestina dan wilayah Syam kelak akan menjadi salah satu pusat kekuatan politik dunia.

Sayangnya, benak umat Islam sudah teracuni paham negara bangsa yang terus dikukuhkan negara-negara adidaya dengan berbagai cara. Sampai-sampai, umat Islam dunia (juga Indonesia) tidak merasa bahwa masalah Palestina adalah masalahnya juga, bahkan terkait erat dengan keimanan mereka. Mereka lupa bahwa umat Islam terbaik pada masa lalu telah berjuang membebaskan Palestina dan menyebarluaskan dakwah hingga ke tempat-tempat mereka.

Hal ini akibat serangan pemikiran dan budaya, serta pelemahan politik dan ekonomi yang terus dilancarkan Barat demi menguatkan mental budak dan sikap tergantung atau membebek kepada Mereka. Termasuk di antaranya melalui upaya sekularisasi dan penyebaran moderasi Islam yang membuat umat Islam terjauhkan dari modal kebangkitan, yakni ideologi Islam.

Faktanya, sejarah membuktikan bahwa kehadiran ideologi Islam dalam keyakinan dan praktik beragama umat merupakan rahasia tegaknya peradaban cemerlang selama belasan abad. Ideologi Islam telah menuntun umat Islam menapaki jalan kehidupan dengan cara yang benar. Penerapan seluruh aturan-aturan Islam oleh penguasanya (khalifah) juga telah berhasil mengangkat harkat martabat umat, menyejahterakan mereka dan menyatukan mereka sebagai kekuatan adidaya dunia yang memberi rahmat bagi semesta.

Tidak ada yang bisa menampik sejarah emas peradaban Islam dan kedigdayaan negaranya. Namun, dengan susah payah Barat telah berhasil mengubur kebanggaan umat akan ideologi dan sejarahnya. Bahkan, umat termakan narasi Barat bahwa Islam adalah ideologi berbahaya yang akan menghambat kemajuan.

Oleh karenanya, upaya dakwah memahamkan umat dengan ideologi Islam, menjadi sangat urgen dilakukan di tengah umat Islam. Hanya saja proyek berat ini tidak mungkin dilakukan sendirian. Ia harus dilakukan bersama kelompok dakwah yang punya keyakinan lurus, serta cita-cita besar dan misi yang jelas dalam menapaki jalan kebangkitan yang realisasinya telah Allah dan Rasul janjikan. [MNews/SNA-GZ]

Posting Komentar

0 Komentar