Rini Sarah
#Wacana — Masyarakat baru saja merayakan pergantian tahun baru dengan penuh suka cita. Ternyata, bukan hanya kalender yang baru, tetapi harga-harga berbagai kebutuhan hidup juga terprediksi baru. Harga-harga kebutuhan akan naik pasca-PPN 12% diterapkan. Hanya saja, ada harga yang sudah resmi naik pada 1 Januari 2025, yaitu harga BBM jenis Pertamax, Pertamax Dex, Pertamax Turbo, dan Dexlite (detik.com, 1/1/2025).
Liberalisasi
Di Provinsi DKI Jakarta, harga Pertamax naik dari sebelumnya Rp12.100 per liter menjadi Rp12.500 per liter. Harga Dexlite juga naik dari sebelumnya Rp13.800 menjadi Rp13.900. Kenaikan harga ini tidak berlaku untuk jenis Pertalite dan juga solar.
Dalam keterangan resmi di situs Pertamina, kenaikan BBM non subsidi ini dilakukan sebagai implementasi dari Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 sebagai perubahan atas Kepmen No. 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (finance.detik.com, 31/12/2024).
Kepmen ini berisi tentang penetapan harga BBM baru yang didistribusikan di SPBU-SPBU. Di sana juga tertulis standar bagi penetapan harga BBM dengan mengacu pada harga minyak dunia, perhitungannya mengikuti harga yang di tetapkan oleh Mean of Platts Singapore (MOPS) atau Argus yang disebut dengan biaya perolehan. Lalu ditambah dengan biaya biaya penyimpanan dan biaya distribusi, serta margin sebesar 10% dari harga dasar.
Kebijakan pemerintah melalui menteri ESDM yang melepaskan harga BBM dalam negeri mengikuti harga minyak dunia menandakan bahwa pemerintah telah tunduk pada mekanisme global. Kebijakan inilah yang mengakibatkan harga BBM selalu berubah dan perubahannya cenderung selalu naik.
Dalam kasus kali ini, sesungguhnya pada Desember 2024 harga minyak dunia secara rata-rata turun. Tetapi, rupiah anjlok terhadap US Dolar. Dua hal inilah yang secara bersamaan akan menentukan harga BBM dalam negeri.
Sebagai acuan simulasi perhitungan, merujuk Refinitiv, rata-rata harga minyak brent pada dua bulan terakhir (Desember–November 2024) adalah sebesar US$73,26/barel. Harga tersebut lebih rendah dibandingkan pada dua bulan sebelumnya (November–Oktober 2024) sebesar US$74,46 per barrel.
Sementara itu, rata-rata harga minyak WTI pada dua bulan terakhir (Desember–November 2024) adalah sebesar US$69,62 per barrel. Harga tersebut lebih rendah dibandingkan pada dua bulan sebelumnya (November–Oktober 2024) sebesar US$70,62 per barrel. Rata-rata Desember–November 2024 sedikit lebih rendah dibandingkan November–Oktober 2024 karena harga minyak yang jauh lebih rendah sepanjang November.
Rata-rata nilai tukar rupiah pada Desember 2024 adalah Rp16.023/US$ sementara pada November 2024 tercatat Rp15.807/US$. Dengan hanya melihat rata-rata harga minyak dua bulan yang lebih rendah dan rupiah yang ambruk maka harga BBM bisa saja ditahan per 1 Januari 2025 (cnbcindonesia.com, 31/12/2024).
Hanya saja, hal itu tidak dilakukan. Pemerintah lebih memilih untuk menaikkan harga BBM non subsidi. Menurut Ustaz Ismail Yusanto, kenaikan harga BBM pangkalnya memang liberalisasi migas, terutama di sektor hilir. Beliau menyimpulkan demikian karena ada pernyataan tegas Menteri ESDM era SBY, Purnomo Yusgiantoro yang dimuat di harian Kompas edisi 14 Mei 2003, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (alwaie.net, 19/10/2022)
Syariah
Kenaikan Pertamax tentu akan berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia. Biaya hidup akan semakin berat. Walaupun kenaikan ini untuk BBM non subsidi yang katanya penggunanya kalangan mampu, bukan berarti rakyat kecil akan selamat dari dampaknya. Sebagaimana diketahui, kenaikan harga BBM non subsidi ini bersamaan dengan telah diberlakukannya pembatasan konsumsi BBM subsidi, Pertalite.
Dalam beberapa kasus, Pertalite menjadi langka. Di lapangan justru menjamur SPBU-SPBU bernama Pertashop yang bahkan tidak menyediakannya. Perlu diketahui konsumen dari Pertashop ini bisa dikatakan mayoritas adalah kendaraan roda dua yang menunjukkan strata sosial pengendaranya. Ini baru dari BBM, beban hidup dari kenaikan PPN 12% pun sudah menghantui.
Liberalisasi migas memang membuat beban hidup rakyat semakin berat. Hal itu juga menyebabkan peran negara semakin kecil dalam pengelolaan SDA. Jika peran negara direpresentasikan oleh BUMN Pertamina, coba saja lihat perannya di sektor hulu dan hilir migas. Di sektor hulu produksi Pertamina hanya 300rb bph dari kebutuhan sebesar 1,6 juta bph. Artinya hanya 20–30% (pertamina.com, 3/3/2016). Sementara di sektor hilir, SPBU Pertamina bukan lagi pemain tunggal. Ia harus bersaing dengan SPBU asing seperti Vivo, Shell, British Petroleum, dan Exxon.
Tentu saja hal ini tidak akan terjadi jika Indonesia menerapkan politik energi berbasis syariat Islam. Islam akan mengelola SDA termasuk migas secara mandiri. Tidak akan mengikuti standar internasional. Karena ketundukan dalam Islam hanya ada pada Allah Swt., berupa ketaatan pada syariat-Nya. Dalam pandangan Islam, migas yang faktanya tersedia berlimpah di berbagai wilayah dunia Islam, termasuk ke dalam harta milik umum (milkiyah ammah). Berdasarkan hadis Rasulullah saw., “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud). Dalam penuturan Anas r.a. hadis tersebut ditambah dengan redaksi: wa tsamanuhu haram (harganya haram). Artinya, dilarang untuk diperjualbelikan.
Dalam hal ini, negara berperan mengatur produksi dan distribusi dari barang milik umat. Pengelolaan oleh negara bisa dikelompokkan dalam dua hal. Pertama, pemanfaatan secara langsung oleh rakyat. Seperti rakyat bisa mengambil air dari sungai untuk pertanian dengan syarat tidak menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya dan tidak menimbulkan perselisihan.
Kedua, pemanfaatan yang dikelola oleh negara. Karena barang tersebut tidak bisa langsung dimanfaatkan oleh rakyat. Perlu rangkaian proses yang melibatkan teknologi tinggi dan tentu saja biaya yang mahal. Seperti halnya migas. Hasilnya akan dimasukkan ke baitulmaal. Khalifah sebagai kepala negara berwenang mendistribusikan hasil barang milik umum ini sesuai dengan ijtihadnya demi kemaslahatan umat.
Perlu diketahui, negara tidak boleh menjual hasil pengelolaan barang milik umat kepada rakyat untuk konsumsi rumah tangga dengan asa mencari keuntungan. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi. Tetapi, negara boleh menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar jika dijual untuk keperluan produksi komersial. Jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri. Pemerintah boleh mencari keuntungan semaksimal mungkin. Keuntunganya tentu saja dikembalikan kepada rakyat berupa pelayanan dan pembangunan fasilitas kehidupan (alwaie.net, 21/9/2021).
Inilah pengelolaan migas secara aturan Islam. Pasti semua akan merindukannya kembali hadir ketika sudah memahaminya. Di sinilah urgensitas dakwah kepada Islam, baik akidah dan syariat kafah, Allahu Akbar! Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar