Irma
Sari Rahayu
#Bekasi — Tahun 2024 ditutup dengan kondisi
kurang menyenangkan bagi Kota Bekasi, khususnya Pemerintah Kota Bekasi.
Pasalnya, target Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bekasi yang sebelumnya
ditargetkan mencapai lebih dari 90%, realitasnya hanya mampu terserap 80%.
'Melempemnya' capaian PAD Kota Bekasi
dibenarkan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bekasi, Junaedi. Menurutnya,
target PAD Kota Bekasi pada tahun 2024 dalam APBD Perubahan 2024 ditargetkan
sebesar Rp3,3 triliun (radarbekasi.id, 31–22–2024).
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik,
Ricky Tambunan menyampaikan, realisasi PAD Kota Bekasi masih ada di kisaran 77%
atau sekitar Rp2,8 triliun dari target
Rp3,3 triliun. Maka, Pemerintah Kota Bekasi diprediksi akan kehilangan PAD
Rp765 miliar tahun 2025 (radarbekasi, 27–12–2024).
Penyebab Gagalnya Target PAD
Tidak tercapainya target PAD Kota Bekasi
tentu disayangkan. Jika dibandingkan dengan tahun 2023, realisasi PAD Kota Bekasi
mencapai 95%. Maka, realisasi PAD di tahun 2024 yang hanya mencapai 80% tentu
sangat mengecewakan.
Jika dilihat dari PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto), Kota Bekasi mencapai PDRB sebesar Rp279 triliun. Besarnya PDRB
ini menjadikan Bekasi sebagai kota terkaya di Jawa Barat, dan menjadi indikator
melesatnya pertumbuhan ekonomi. Namun, mengapa tidak bisa menaikkan capaian PAD
Kota Bekasi?
Asep Gunawan selaku Kepala Badan Pendapatan
Daerah (Bapenda) Kota Bekasi mengatakan, tidak tercapainya PAD Kota Bekasi
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, belum tercapainya target BPHTB ( Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) yang masih di bawah 60%. Tidak
terealisasinya target BPHTB ini disebabkan rendahnya transaksi jual beli rumah
di Kota Bekasi di tahun 2024.
Kedua, rendahnya pendapatan dari PBB.
Selain BPHTB, sektor pajak yang menjadi target besar capaian PAD adalah PBB.
Namun, capaiannya pun masih rendah yaitu 71%. Rendahnya realisasi PBB ini
ditengarai karena target yang terlalu tinggi, kebijakan diskon bagi pembayar
pajak, dan masalah data.
Ketiga, faktor ekonomi. Sulitnya kehidupan
ekonomi saat ini berimbas dengan penerimaan pajak. Pajak akhirnya tidak dapat
dibayarkan karena masyarakat lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar
daripada membayar pajak.
Apa Dampaknya?
Rendahnya capaian PAD tentu akan berdampak
negatif bagi Kota Bekasi. Para pegawai di pemerintahan daerah akan mengalami
penurunan tunjangan kerja, insentif hingga fasilitas yang biasanya diberikan.
Dampak ini bisa terjadi karena biaya maksimal untuk belanja pegawai adalah 30%
dari APBD. Biaya operasional pun menjadi terbatas. Akibatnya, alokasi anggaran
untuk pemeliharaan fasilitas, biaya pelatihan dan pengadaan bagi pegawai tentu
terhambat pula.
Tak hanya pegawai pemda, masyarakat Kota
Bekasi juga terdampak akibat rendahnya capaian PAD. Pembangunan infrastruktur
yang dibutuhkan oleh masyarakat akan terganggu. Dampak terparah adalah
terganggunya kualitas layanan dasar masyarakat, seperti kesehatan dan
pendidikan.
Capaian PAD rendah juga berdampak pada
stabilitas dan kemandirian daerah dalam mengelola wilayahnya. Daerah akan
semakin tergantung kepada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)
yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Untuk mengantisipasi dan menaikkan capaian
PAD, Pemerintah Kota Bekasi berencana akan mencari sumber-sumber pendapatan
termasuk kemungkinan menaikkan pajak. Solusi ini dianggap relevan dengan posisi
Bekasi sebagai Kota Metropolis yang ramai dengan jumlah penduduk yang besar.
Pembiayaan Daerah dalam Sistem
Kapitalisme
Sejak dicanangkannya otonomi daerah tahun
2009, tiap daerah diberi kewenangan untuk mengatur keuangannya sebagai bentuk
desentralisasi. Maka setiap daerah harus memiliki PAD atau Pendapatan Asli
Daerah, yaitu pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan undang-undang. Tujuannya adalah memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah
sesuai potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi (Wikipedia).
Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah PAD
terdiri dari empat variabel yaitu: pajak daerah; retribusi daerah; hasil
perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah; serta lain-lain PAD
yang sah. Sumber PAD Kota Bekasi sendiri meliputi pajak daerah; retribusi
daerah; hasil perusahaan milik daerah; pengelolaan kekayaan daerah; dan sumber
PAD lain yang sah.
Jika suatu daerah memiliki potensi kekayaan
alam yang melimpah, maka tidak ada kendala berarti dalam mengelola keuangan
daerahnya. Namun, bagi daerah yang tidak memiliki potensi kekayaan alam, maka
pajak menjadi satu-satunya solusi bagi PAD, seperti di Bekasi misalnya.
Sebagai Kota Metropolis, Kota Bekasi hampir
tidak memiliki sumber daya alam potensial kecuali disesaki dengan perumahan, gedung-gedung,
pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan apartemen. Oleh karena itu wajar jika
sumber PAD Kota Bekasi mayoritas bersumber dari pajak, yaitu: PBB; BPHTB; pajak
reklame; tempat hiburan (cafe, restoran); dll. Masyarakat umum dan pengusaha
tentu akan semakin terbebani dengan berbagai pungutan pajak yang diberlakukan.
Inilah wajah sistem ekonomi kapitalisme
yang menjadikan pajak serta utang luar negeri sebagai sumber pendapatan negara.
Padahal, banyak sumber daya alam yang dapat dikelola dengan bijak oleh negara.
Hasil pengelolaannya digunakan untuk seluruh kebutuhan rakyat.
Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah dalam
Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam atau Khilafah;
keuangan dikelola secara terpusat oleh khalifah. Daerah tidak diberikan
wewenang untuk mengelola, memiliki, dan mencari sumber perdapatan sendiri. Hal
ini dilakukan untuk menghindari penggelapan, penyelewengan atau pengelolaan
keuangan yang tidak bijak oleh pemerintah daerah.
Sumber pendapatan keuangan Khilafah pun
jelas dan bersifat tetap yakni dari fai’, kharaj, pengelolaan
sumber daya alam, usyr, dan jizyah. Khalifah tidak akan mengambil
pajak kecuali pada kondisi keuangan negara sedang menipis atau kosong, itu pun
hanya diberlakukan kepada warna negara muslim yang kaya saja. Besar pajak yang
dipungut kepada masyarakat sesuai dengan jumlah kebutuhan negara, tidak boleh lebih.
Semua kebutuhan daerah baik untuk
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, gaji
pegawai, dll, langsung dibiayai oleh baitulmal atas persetujuan dan kontrol
khalifah. Pemerintah daerah tidak boleh melakukan pungutan apa pun kepada
masyarakat.
Maka jelaslah sistem pemerintahan terbaik
hanya ada pada sistem Khilafah yang menerapkan seluruh amanah dari Allah Swt..
Tak perlu ada keraguan untuk segera mewujudkannya kembali. Wallahua’lam.[]
0 Komentar