Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Pada Senin (20/01) revisi undang-undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) telah resmi disahkan menjadi usul inisiatif DPR RI dalam Rapat Paripurna ke-11. Revisi yang dimaksud membuka jalan bagi perguruan tinggi di Indonesia mendapat Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani menyebutkan bahwa pemberian izin kelola tambang kepada perguruan tinggi bertujuan menaikkan pemasukan perguruan tinggi melalui pengelolaan tambang yang dianggap 'ampuh’ menekan beban biaya kuliah peserta didik kampus (detik.com, 24/01/2025).
Wacana pengelolaan tambang oleh kampus diinisiasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada pertengahan Januari lalu. Pemberian payung hukum untuk WIUPK pada perguruan tinggi dilakukan dengan menambahkan Pasal 51A dalam UU Minerba yang menyebutkan bahwa WIUPK dapat diberikan secara prioritas kepada perguruan tinggi. Rekomendasi tersebut sejatinya merupakan lanjutan dari kesepakatan forum 14 Januari 2025 yang sebelumnya telah menyepakati pemberian izin usaha tambang kepada ormas keagamaan.
Menanggapi pemberian WIUPK, pihak kampus dalam negeri tampak masih belum kompak. Beberapa kampus negeri menunjukkan respon positif dan mengaku siap mengelola tambang seperti halnya Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Di sisi lain, ada pula perguruan tinggi negeri yang secara tegas menolak dengan alasan bisnis tambang bukan domain perguruan tinggi sebagaimana yang diungkapkan pihak Universitas Islam Indonesia (UII). Sedangkan perguruan tinggi lainnya tampak masih menimbang-nimbang dan mempertanyakan aturan izin kelola tambang jika kampus benar-benar berkecimpung dalam bisnis pertambangan.
Dalih pemberian WIUPK kepada kampus akan berdampak pada keterjangkauan UKT (Uang Kuliah Tunggal) sejatinya adalah kesalahan logika berpikir. Peluang mahasiswa dan kampus mendapatkan keuntungan finansial melalui pengelolaan tambang tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, pengelolaan tambang sama halnya dengan bisnis lainnya secara umum, tidak selamanya menguntungkan. Keuangan kampus akan ‘aman’ jika bisnis tambang berjalan mulus. Namun, jika kampus merugi, perguruan tinggi bisa bangkrut, disegel, atau digadaikan. Akhirnya, mahasiswa pasti menjadi korban. Dari sini terlihat adanya potensi kampus menjadi budak kapitalisme di kemudian hari.
Ironisnya, negeri ini adalah negara besar nan kaya yang pemerintahnya hanya mengalokasikan 20% APBN untuk anggaran pendidikan. Celakanya lagi, 20% yang dialokasikan tidak semua diperuntukkan bagi penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Dana tersarina Fitriani Fatimah
ebut ‘dibagi-bagi’ lagi untuk 24 kementerian dan lembaga yang tidak terkait secara langsung dengan pendidikan, semisal pembiayaan Makan Bergizi Gratis (MBG). Minimnya penyaluran dana pendidikan untuk level sekolah tinggi pada akhirnya menjadikan biaya UKT kian hari makin tidak terjangkau.
Jika kita telaah lebih jauh, akar masalah tingginya biaya kuliah adalah perubahan status PTN (Perguruan Tinggi Negeri) menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri – Badan Hukum) yang memaksa kampus negeri untuk membiayai sendiri seluruh pelaksanaan kegiatan pendidikan. Dengan demikian, guna menciptakan kemandirian keuangan, kampus-kampus yang ada harus berbisnis, salah satunya dengan bisnis besaran UKT mahasiswa. Hal itu menyebabkan para petinggi kampus negeri ini harus memutar otak bagaimana menghasilkan cuan sekalipun dengan ‘memeras’ mahasiswa. Inilah yang kita katakan sebagai bencana komersialisasi dan liberalisasi dunia pendidikan. Padahal anggaran 20% APBN untuk dunia pendidikan, jika benar-benar dimaksimalkan untuk penyelenggaraan aktivitas pendidikan tentu akan mampu meringankan beban mahasiswa.
Pengelolaan tambang untuk perguruan tinggi adalah situasi yang jelas-jelas anomali. Tugas kampus sejatinya mencetak generasi bangsa melalui pengembangan ilmu dengan pelaksanaan aktivitas pembelajaran, pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tidak sepatutnya perguruan tinggi dibebankan aktivitas ekonomi semisal pengelolaan izin usaha tambang, apalagi pengelolaan tambang baik oleh pemerintah, bisnis usaha maupun perguruan tinggi sarat akan konflik kepentingan. Konflik tersebut ke depannya bisa menyeret kampus ke ranah hukum baik pidana maupun perdata.
Lebih dari itu, pemberian WIUPK menjadi senjata penguasa untuk ‘menjinakkan’ dan membungkam perguruan tinggi. Malah, hal tersebut berpotensi merusak integritas akademik dan terancamnya peran kampus dalam mencerdaskan generasi bangsa. Dengan alasan bisnis, pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi memberi peluang keberpihakan lebih condong kepada para cuan yang tidak lain akan menjadi mitra bisnis kampus.
Di sisi lain, bisnis tambang sering dikaitkan dengan isu kerusakan lingkungan, konflik perebutan ruang, dan praktik korupsi. Jika perguruan tinggi benar-benar berkecimpung dalam usaha tambang, kampus akan lebih banyak diam dan menahan diri untuk mengkritik isu-isu terkait. Hampir bisa dipastikan kampus akan bersikap pragmatis dan berorientasi pada keuntungan finansial semata. Hal ini pada akhirnya secara perlahan menghilangkan peran kampus dalam mengawasi dan bersikap kritis terhadap kebijakan zalim dari penguasa.
Sejatinya, negaralah yang berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat termasuk pendidikan. Negara juga berkewajiban mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang telah Allah Swt. anugerahkan secara maksimal agar bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Pemerintah tidak sepatutnya berlepas tangan dalam menjalankan tugasnya menyediakan akses pendidikan tinggi. Kampus pun tidak seharusnya dibebankan tugas mencari cuan agar kegiatan belajar mengajar bisa terus berlangsung.
Dalam konteks pertambangan, negara seharusnya memaksimalkan segala potensinya dalam mengelola kepemilikan umum semisal tambang sebagai sumber dana dalam penyelenggaran aktivitas negara. Bukan justru melemparkan pengelolaan tambang kepada individu ataupun kelompok tertentu termasuk kampus. Di dalam Islam bahkan jelas bahwa barang tambang dalam jumlah besar termasuk ke dalam komoditas yang terhalang bagi individu untuk menguasainya dan menjadi bagian dari harta milik umum. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar