Rayhana Radhwa
#Bekasi — Sebuah wacana baru digagas oleh
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Emmanuel Ebenezer pascakebijakan
efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah. Gagasan tersebut menawarkan
sektor swasta untuk berbagi biaya dalam penyelenggaraan pelatihan kerja.
Harapan partisipasi aktif dari dunia usaha disampaikan Noel saat menghadiri
Forum Komunikasi Lembaga Pelatihan dengan Industri Daerah di Cikarang, Bekasi,
Jawa Barat. Sebelumnya Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan Vokasi dan
Produktivitas Kemenaker telah menunda sejumlah pelatihan keterampilan berbasis
kompetensi (money.kompas.com, 12/2/25).
Gagasan ini tampak baik dengan alasan
menunjukkan sinergi antara pihak pemerintah dengan pihak perusahaan. Namun,
tentu gagasan berbagi biaya pemerintah dengan perusahaan ini takluput dari
kritik. Tanpa adanya efisiensi anggaran pemerintah, dengan penyelenggaraan
pelatihan keterampilan saja sudah terasa betapa sulitnya masyarakat di usia
produktif mendapatkan pekerjaan. Apalagi, kini pelatihan keterampilan itu
ditunda hingga waktu yang belum jelas. Alarm keras sudah menyala saat 9,9 juta
Gen Z tidak bekerja juga tidak kuliah. Hal ini terjadi karena faktor kesenjangan
keterampilan, tingginya biaya pendidikan, perubahan ekonomi dan teknologi,
kesulitan perusahaan pasca-Covid, dan kurangnya kesadaran serta informasi di
kalangan Gen Z (news.detik.com, 5/6/24).
Di sisi lain, perusahaan swasta pun
kemungkinan besar harus memiliki pertimbangan matang sebelum memutuskan ikut
berbagi biaya pelatihan bersama pemerintah. Perusahaan sendiri sedang dalam
kondisi pemulihan pascapandemi Covid yang memukul dua tahun lalu. Oleh karena
itu, perusahaan berarti harus menganggarkan biaya tambahan untuk operasional
yang selanjutnya dibebankan pada harga produk. Strategi lain perusahaan akan
mengalihkan penyaluran biaya CSR dari yang selama ini telah dijalankan.
Alih Tanggung Jawab
Ajakan berbagi biaya pelatihan ini
menunjukkan betapa lemahnya peran negara pada penyiapan tenaga kerja yang
terampil dan handal di tengah masyarakat. Sudah diketahui khalayak bahwa
efisiensi ini lebih banyak berpengaruh pada masyarakat kecil daripada kalangan
atas. Pelatihan keterampilan yang sangat dibutuhkan masyarakat untuk
meningkatkan daya saing di tengah perlombaan mendapatkan pekerjaan justru
dihilangkan.
Ide berbagi biaya pelatihan juga dapat
dikatakan pengalihan tanggung jawab negara kepada swasta. Beban tanggung jawab
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dialihkan menjadi beban perusahaan.
Meskipun berbagi biaya ini diklaim menjanjikan kualitas SDM yang dapat
disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, tetaplah negara tidak layak
mengalihkan tanggung jawab kepada pihak lain. Apabila beban ini ditanggung
perusahaan, lama kelamaan iklim usaha di negara ini menjadi tidak kondusif dan
investor enggan menyalurkan modal dan mendirikan usaha karena banyaknya beban
dan biaya yang harus dikeluarkan dibandingkan berinvestasi di negara lain.
Islam Menyiapkan Iklim Bekerja yang
Kondusif
Negara adalah pihak yang di pundaknya
masyarakat berharap dan menggantungkan penghidupannya. Hal ini telah diatur di
dalam Islam berdasarkan hadis Rasulullah saw., “Seorang Imam adalah
pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya." (HR Bukhari)
Bukan berarti negara yang akan menyuapi
dengan menyediakan makanan siap konsumsi tiga kali sehari. Namun, negara
sebagai pelayan bertugas menyiapkan ekonomi makro agar lapangan kerja tersedia
juga ada kesempatan bisnis secara terbuka dan berkeadilan. Islam menuntun
negara untuk menerapkan sistem ekonomi Islam hingga hukum-hukum muamalah dan
hukum sanksi menjadikan masyarakat bekerja dan berusaha dengan lapang dan aman.
Tak hanya ekonomi makro, negara dalam Islam
juga bertanggung jawab dalam memastikan rakyatnya yang sudah terkena taklif
menanggung nafkah memiliki kemampuan untuk bekerja sebagaimana Syekh Taqiyuddin
an-Nabhani menegaskan dalam kitab Nidzamul Iqtishadi fil Islam (Sistem
Ekonomi dalam Islam). Baik kemampuan secara fisik keterampilan, pemikiran
keahlian maupun modal untuk berusaha. Rasulullah sendiri sebagai kepala negara
di Madinah saat itu memperhatikan orang per orang dari rakyatnya dalam urusan
nafkah.
Rasulullah pernah memberi dua dirham kepada
seorang Anshar. Beliau kemudian bersabda, “Belilah makanan seharga satu
dirham dengan uang itu dan berikan kepada keluargamu. Sisanya, belilah sebuah
kapak dengan satu dirham dan bawa kapak itu padaku.” Kemudian Rasulullah
membelah kayu dengan kapak itu dan bersabda, “Pergilah mencari kayu bakar
dan juallah. Jangan kembali ke hadapanku, kecuali setelah 15 hari.” Lelaki
Anshar mengikuti tuntunan Rasul. Setelah 15 hari ia mendatangi Rasul lagi
dengan membawa 10 dirham. Sebagian ia belikan pakaian dan sisanya dibelikan
makanan (HR Ibnu Majah).
Tugas peningkatan kualitas sumber daya
manusia hingga menjadi tenaga ahli maupun tenaga terampil adalah tugas negara.
Negaralah yang seharusnya mempersiapkan masyarakat usia produktif untuk mampu
bekerja dengan pendidikan formal hingga pendidikan tinggi yang membuka berbagai
jurusan. Negara menyelenggarakan pelatihan, pembekalan, maupun studi banding
bila diperlukan oleh masyarakat untuk mendapatkan keahlian dan kemampuan lebih
hingga mereka memiliki daya saing baik dalam mencari pekerjaan formal maupun
berinisiatif membuka lapangan usaha sendiri.
Pengeluaran negara dalam rangka meraih SDM
ahli dan terampil ini bersumber dari dana baitulmal yang memiliki tiga pos
pendapatan utama. Secara rinci pos pendapatan negara ini dijelaskan dalam kitab
Al Amwal fi Daulah Al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) karya
Syekh Abdul Qadim Zalum. Pertama, pendapatan dari individu yang berupa
zakat, sedekah, hibah melalui negara. Kedua, sektor kepemilikan umum
meliputi tambang seperti minyak bumi dan gas, maupun kekayaan alam yang
mengalir jumlahnya seperti hutan dan lautan. Sektor kedua inilah yang menjadi
penyokong utama di masa Khilafah Islamiah. Sebaliknya, sektor kepemilikan umum
ini justru dikangkangi korporasi swasta di sistem kapitalisme. Ketiga,
sektor pendapatan negara yang mencakup jizyah, kharaj, fai, dan usyur.
Berdasarkan hal-hal di atas, dengan visi
yang berlandaskan akidah, pemerintah akan dengan tulus mendidik dan melatih
masyarakat agar mampu bekerja memenuhi hukum syarak—mencari nafkah tanpa
membebani sektor swasta. Misi meningkatkan kualitas SDM takkan terkendala
anggaran sebagaimana kelemahan sistem keuangan negara saat ini karena kokohnya
kekuatan sistem ekonomi dan keuangan negara Islam.[]
0 Komentar