Cukup Komprehensif Mengentaskan Tengkes dengan Program Pranikah?





Dewi Purnasari

 

#Depok — Tengkes adalah masalah yang masih mendera negeri ini. Kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis ini bahkan terus menjadi momok bagi pemerintah pusat dan daerah serta di tataran keluarga. Berbagai program coba dicanangkan sejak lama. Namun, selalu saja hasilnya tidak memadai atau tidak secara signifikan memberantas tengkes. Program-program tersebut hanya mengurangi angka presentasenya saja dan sifatnya tidak tuntas, melainkan berulang lagi di kemudiannya terjadi stunting.

 

Berbagai cara mencegah tengkes telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor, di antaranya dengan memberikan makanan tambahan bergizi untuk anak tengkes berupa susu, pendampingan hingga edukasi masyarakat serta penguatan sistem pemantauan dan evaluasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Ini adalah program unggulan Rumah Centing (Rumah Cegah Stunting) Kabupaten Bogor yang diluncurkan pada Sabtu (25/01/2025).

 

Ada pula program sekolah pranikah. Bertempat di Aula al-Basyariah, Desa Rawapanjang, Bojonggede. Bachril Bakri, Pj Bupati Bogor dalam gelaran kegiatan tersebut menyatakan bahwa program sekolah pranikah bisa menjadi model bagi daerah lain di Indonesia, jika diterapkan secara luas di seluruh kecamatan. Program ini digagas dengan tujuan untuk menurunkan angka tengkes di Kabupaten Bogor, demikian harapan penjabat pemerintah Kabupaten Bogor ini, (Radarbogor, 27/01/2025).

 

Program yang merupakan kerjasama antara Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) dengan P2SDM IPB University ini diikuti oleh 70 remaja berusia 12 hingga 18 tahun dari Desa Rawa Panjang. Sebenarnya keterlibatan sedikit peserta itu sangat disayangkan mengingat tujuan akhir yang ingin dicapai oleh program ini adalah untuk menurunkan angka tengkes di Kabupaten Bogor. Apalagi jauhnya kaitan antara pendidikan pranikah untuk remaja dengan pengentasan tengkes. Juga banyaknya faktor yang memengaruhi tengkes itu sendiri, sehingga solusi yang dicanangkan seharusnya juga tidak sesederhana membuat program sekolah pranikah.

 

Mengapa pemerintah Kabupaten Bogor menganggap bahwa tengkes dapat dicegah dengan melaksanakan program sekolah pranikah? Menurut Bachril, angka pernikahan dini di Kabupaten Bogor cukup tinggi. Ini merupakan faktor penyebab tingginya angka tengkes, menurutnya lagi. Sementara sekolah pranikah dianggap dapat membantu mengurangi angka pernikahan dini.

 

Program sekolah pranikah dapat membantu siswa membuat keputusan yang tepat kapan akan menikah, bukan untuk menikah segera, demikian menurut Yulina Eva Riany, dosen IPB University. Ini karena 12 materi yang diberikan dalam program ini dibuat untuk meyakinkan remaja tidak segera menikah sebelum usia 19 tahun. Pemikiran seperti itu sesungguhnya sangat dangkal walaupun disampaikan oleh orang yang cukup kompeten. Pasalnya, menikah di bawah 19 tahun ataupun di atasnya bukan menjadi patokan remaja siap atau tidak siap mengarungi bahtera rumah tangga.

 

Menurut Islam, seseorang menjadi dewasa dan bisa menikah adalah jika ia sudah balig. Maka, perempuan yang sudah haid atau laki-laki yang sudah mengalami emisi nokturnal (ihtilam) artinya ia sudah dewasa. Ini dianggap batas kematangan secara biologis. Namun, ada lagi yang penting diperhatikan yakni kematangan psikologis dan kedewasaan berpikir. Terkait hal ini sifatnya sangat subyektif, tidak selalu dipengaruhi oleh faktor umur. Ada orang berusia muda tetapi berpikiran dewasa dan psikologisnya matang. Ada pula kondisi sebaliknya.

 

Dalam pandangan Islam, pemikiran dan psikologi seseorang tidak bisa dibatasi dengan angka usia. Oleh karena itu, pemberian pemahaman tentang kehidupan manusia dan juga tutunan Islam sangat penting dijadikan kurikulum dalam pendidikan negara. Tidak cukup hanya dengan kegiatan sekolah pranikah yang tidak menyeluruh dan berkesinambungan, tetapi harus dimasukkan dalam kurikulum semua sekolah secara berjenjang dan terus-menerus.

 

Peserta didik harus betul-betul paham terkait kehidupan berikut tantangan dan kondisi-kondisi yang harus mereka hadapi di masa depan. Jadi, tidak melulu berkutat mempelajari ilmu pengetahuan. Generasi muda harus memahami esensi kehidupan dunia sebagai individu ataupun ketika kelak mereka berkeluarga dan bermasyarakat. Tuntunan agama sangat penting ditanamkan di pendidikan sejak dini. Kalau tidak, meskipun remaja dilarang menikah segera, dorongan seksual mereka terus tumbuh. Apalagi saat ini mengakses berbagai hal yang mendorong memuncaknya dorongan seksual makin mudah didapat. Jadi intinya, sistem pendidikan dalam negara harus berbasis agama, tidak cukup menjadikan kurikulum pendidikan hanya meletakkan agama hanya dipelajari kulit-kulitnya saja. Agama Islam harus menjadi benteng bagi tiap individu generasi muda.

 

Terkait masalah tengkes, ini tidak bisa lepas sama sekali dengan kondisi ekonomi masyarakat dalam sebuah negara. Jika angka kemiskinan masyarakat tinggi, maka pasti mempengaruhi kecukupan gizi bagi anak-anak. Kemiskinan di Indonesia hingga kini masih selalu ditandai dengan presentase dan angka-angka. Pemerintah tidak pernah sekalipun memperhatikan kecukupan pemenuhan sandang, pangan, dan papan secara riil per individu masyarakat. Mereka membuat rancangan peraturan negara hanya berdasarkan angka-angka yang sama sekali tidak mencerminkan realitas di masyarakat. Apakah setiap jiwa sudah tercukupi makannya, pakaiannya, tempat tinggalnya setiap hari atau belum? Sama sekali tidak mereka perhatikan.

 

Demikian pula terkait tengkes, mereka hanya membaca angka-angka dan presentase. Misalnya, angka kasus tengkes di Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada tahun 2024 mengalami penurunan sebesar 1,91 persen (Portaljabar, 06/12/2024). Bagaimana jika kondisi riilnya jauh melesat dari angka tersebut? Apakah bisa dijamin masalah tengkes ini bukan merupakan fenomena gunung es?

 

Ini menjadi pertanyaan karena sesungguhnya kondisi ekonomi masyarakat demikian terpuruk saat ini. Pengangguran membludak, lapangan pekerjaan minim sementara harga-harga meroket. Belum lagi berbagai biaya seperti tagihan listrik, kenaikan BBM, tagihan PDAM, pembelian gas, iuran BPJS Kesehatan, biaya internet, berbagai biaya untuk anak sekolah, berbagai pungutan pajak yang mau tidak mau harus dibayar. Semua itu pasti sangat memengaruhi ketahanan ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal tersebut mengakibatkan kondisi kekurangan gizi terus menerus pada generasi dan berujung tengkes, menjadi sesuatu yang pasti sulit dihindari.

 

Ulikan singkat di atas jika disertai dengan fakta dari kondisi sesungguhnya yang ada di masyarakat pasti akan menjadi pembahasan yang sangat panjang. Jadi, alangkah dangkal dan absurdnya solusi-solusi yang diluncurkan oleh pemerintah dan Pemkab Bogor. Bagaimana program pranikah bisa menjadi solusi bagi masalah tengkes dengan sekian banyak faktor yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan, analisis, dan kajian?

 

Sejatinya, Islam mempunyai solusi bagi segala problem manusia. Hanya saja, kebanyakan manusia tidak mau menerapkannya, bahkan tidak menghiraukannya. Pemerintah membuat peraturan berdasarkan ide yang ada di kepala mereka, bukan baik atau buruk berdasarkan tuntunan Islam. Sementara, masyarakat luas kebanyakan pragmatis dan pasif. Mereka menelan mentah-mentah apa saja yang diopinikan sebagai sesuatu yang hebat oleh pemerintah. Sangat sedikit masyarakat yang berpikir kritis dengan kerangka berpikir Islam. Kebanyakan hanya menilai dan berbuat berdasarkan asas manfaat dan logika semata.[]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar