#Reportase
— Tambang dan lautan saat ini menjadi incaran segelintir orang yang
memiliki uang dan kekuasaan. Karut-marut persoalan ini menjadikan rakyat dan alam sebagai
korbannya. Fungsi negara sebagai pelayan rakyat tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
Rusaknya pengelolaan tambang dan laut akibat diterapkannya
Kapitalisme disinggung oleh Khairina Wulansari, S.P., pada Diskusi Publik yang
diselenggarakan di Jakarta, pada Sabtu (08/02).
Ia menjelaskan sebab adanya pemagaran laut yang saat ini
menjadi polemik di tengah masyarakat. Pemagaran laut bisa dilakukan karena
adanya PP Nomor 18 Tahun 2021 pengganti UU Ciptaker no 11 Tahun 2020. Pada
pasal 65 ayat (2) disebutkan, pemberian hak atas tanah di wilayah perairan
dimungkinkan setelah mendapatkan perizinan yang diterbitkan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
“Ini landasan yang
dipakai. Secara hukum positif, ada landasannya sehingga mereka berani memagari
laut. Takheran ada sekitar 263 bidang SHGB di area pagar laut milik 2
perusahaan yang merupakan anak perusahaan Agung Sedayu Group,” terangnya.
Dari kasus ini, ia mengganggap negara telah lalai mengontrol
wilayah perairan dan terindikasi negara tidak mampu menghadapi pengaruh pemilik
modal untuk menguasai perairan. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber
daya alam (SDA), sayangnya kepemilikan SDA didominasi oleh para pemilik modal.
Ia menyoal kasus-kasus konflik agraria seperti di Rempang.
Menurutnya, jika pengelolaan berbagai SDA seperti tambang,
hutan, dan laut bisa dikelola oleh negara, maka hasilnya akan menjadi pemasukan
besar bagi kas negara. Sayangnya,
hal tersebut tidak terjadi, sehingga keuntungan besar dari hasil
pengelolaan SDA lari ke kantong-kantong pengusaha.
Hal ini terjadi, lanjutnya, karena adanya revisi berulang
dalam UU Ciptaker, UU Minerba, maupun UU lainnya. Ia mengatakan bahwa aturan
perundang-undangan dalam sistem hari ini memiliki banyak celah untuk diotak-atik sesuai kepentingan
politik.
Khairina menjelaskan akar permasalahan atas kesalahan tata
kelola sumber daya alam di negara ini karena ada ketidakjelasan perlindungan
terhadap kepemilikan lahan, dan disfungsi negara dalam mengelola urusan
rakyatnya. “Inilah tabiat negara
korporatokrasi!” tegasnya.
Korporatokrasi adalah sebuah istilah, jelasnya, untuk
menggambarkan sebuah kondisi ketika kebijakan-kebijakan politik negara
diarahkan untuk melayani kepentingan korporasi besar dan adanya skema ‘bagi
hasil’ atau kongkalikong antara pengusaha dan pejabat. Korporatokrasi lahir
dari prinsip liberalisme dalam sistem ekonomi kapitalis.
“Jika pengelolaan
sumber daya alam sebagian besar dikuasai oleh korporasi, maka di mana
kedaulatan negara? Kedaulatan negara dipertaruhkan bahkan terancam hilang!”
tutupnya. [JPD]
0 Komentar