Anggun Mustanir
#TelaahUtama — Tok!!! Presiden Prabowo Subianto resmi memangkas anggaran hingga Rp306,69 triliun di awal tahun 2025. Malah, dilansir laman CNBCIndonesia.com (16/2/2025), ternyata Prabowo berencana melakukan penghematan anggaran hingga tiga putaran dengan total mencapai Rp750 triliun. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Presiden ingin keuangan negara lebih efisien, baik, bersih, dan fokus, terutama dalam menjaga kebutuhan masyarakat.
Faktanya, pakar ekonomi mengaitkan kebijakan tersebut merupakan salah satu strategi solusi jatuh tempo utang pada tahun 2025 ini sebesar Rp800,33 triliun. Jatuh tempo utang tersebut terdiri dari SBN Rp705,5 triliun dan pinjaman Rp 94,83 triliun (CNBCIndonesia.com, 16/2/2025). Selain itu, efisiensi juga dilakukan untuk menyukseskan program unggulan Prabowo yakni Makan Bergizi Gratis. Prabowo mengakui bahwa pemerintah terpaksa menggunakan sebagian dana hasil efisiensi anggaran sebesar Rp24 triliun untuk mendukung program MBG (kompas.com, 16/2/2025).
Sebenarnya sah-sah saja kalau negara melakukan penghematan. Namun masalahnya, kebijakan tersebut ternyata juga menyasar lembaga yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Contohnya seperti instansi di bidang pendidikan, kesehatan, BRIN, BMKG, Basarnas, dan lain-lain. Selain itu, efisiensi nyatanya justru membuat perputaran ekonomi mandek. Parahnya, di tengah jeritan rakyat karena kebijakan ini, Parbowo seakan takacuh membuat kabinet gemuk dengan pengeluaran fantastis.
Entahlah, pemerintah seolah “salah kaprah” dalam menentukan prioritas mengelola sumber daya alam dan keuangan negara. Alhasil, kekayaan negeri yang seharusnya bisa dinikmati secara merata oleh rakyat, hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang.
Kenyataan tersebut seolah menegaskan bahwa kebijakan apa pun yang diambil penguasa di sistem kapitalisme tidak benar-benar menyelesaikan masalah. Solusi parsial dan tambal sulam ujung-ujungnya mengorbankan rakyat. Tidak melakukan efisiensi, tetapi jatuh tempo utang.
Sangat berbeda dengan aturan Islam. Aturan Islam mewajibkan negara Islam (Khilafah) menyelenggarakan seluruh urusan rakyat baik dalam aspek administratif, pelayanan, pencatatan kepemilikan harta dan kekayaan alam, juga tata cara pengelolaannya. Semua itu diimplementasikan untuk menjalankan secara penuh peran negara sebagai pengurus (raa’in) dan pelindung (junnah) rakyat. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari)
Islam mengatur sumber-sumber dan jenis-jenis pendapatan harta negara, cara perolehannya, pihak yang berhak menerima, juga pos-pos pembelanjaannya. Segala aktivitas ekonomi dalam Islam harus terikat dengan hukum syarak. Oleh karena itu, negara tidak boleh sembarangan menjadikan hukum lain sebagai rujukan.
Seperti penjelasan dalam kitab Ajhizah fii Daulah al-Khilafah (Struktur Negara Khilafah) dijelaskan bahwa salah satu wewenang khalifah yakni mengadopsi hukum-hukum syariat yang menjadi pegangan dalam menyusun APBN. Khalifah mempunyai wewenang menetapkan rincian APBN, berupa besaran anggaran untuk masing-masing pos yang berkaitan dengan pemasukan maupun pengeluaran. Khalifah tidak diperkenankan memungut atau membelanjakan satu dinar pun kecuali harus sesuai dengan hukum Islam.
Dalam kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) karya Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah, beliau memerinci harta dalam negara Khilafah, baik dari sumber pendapatannya, jenisnya, jenis harta yang boleh/tidak diambil dan pihak yang menjadi sasaran pengambilan harta, waktu pemberiannya, cara perolehannya, pos-pos yang mengatur keluar-masuk harta, dan pemeliharaan, pihak yang berhak menerimanya, serta pos-pos untuk membelanjakannya.
Dalam sistem Khilafah, tempat atau lembaga yang bertugas menerima dan membelanjakan pemasukan negara/harta kaum muslim adalah baitulmal. Penetapannya berdasarkan pendapat dan ijtihad khalifah. Contohnya, dalam menetapkan besaran kharaj atas tanah kharajiah, juga besaran jizyah yang akan dipungut. Kharaj dan jizyah termasuk dalam kategori pos-pos pemasukan negara. Untuk kategori belanja negara, contohnya adalah pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan rumah sakit.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan dalam kitab An-Nizhamu al-Iqtishadi fii al-Islam (Sistem Ekonomi Islam) tentang belanja negara. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pengeluaran baitulmal ditetapkan berdasarkan enam kaidah, yakni: Pertama, harta zakat di baitulmal hanya boleh dibelanjakan/diberikan untuk delapan ashnaf yang disebutkan di dalam Al-Qur’an. Kedua, jika dari kas zakat tidak terdapat dana maka untuk orang fakir, miskin, ibnu sabil, kebutuhan jihad, dan gharimin (orang yang terlilit utang) diberi harta dari sumber pemasukan baitulmal lainnya. Ketiga, untuk orang-orang yang menjalankan pelayanan rakyat seperti para pegawai negara, hakim, tentara, dan tenaga edukatif.
Keempat, pembangunan sarana pelayanan masyarakat yang vital seperti jalan raya, masjid, rumah sakit, dan sekolah. Kelima, pembangunan sarana prasarana pelayanan pelengkap, seperti pembangunan jalan alternatif saat jalan utama sudah tersedia, juga pembangunan rumah sakit pembantu saat sudah terdapat rumah sakit pusat. Keenam, pembelanjaan karena adanya unsur keterpaksaan, seperti musibah/peristiwa yang menimpa kaum muslim yakni musim paceklik, angin topan, gempa bumi, maupun serangan musuh.
Utang/pinjaman dibolehkan dalam Islam asalkan tidak mengandung unsur riba. Apabila dana baitulmal kosong/tidak cukup, tetapi ada kebutuhan yang darurat, negara boleh mengusahakan pinjaman nonribawi dari warga kaya yang pinjamannya dibayar dari pemungutan dharibah (pajak). Pajak hanya dipungut dalam waktu yang sementara saja ketika kas baitulmal kosong dan ada kebutuhan darurat. Apabila kebutuhan sudah terpenuhi, pemungutan pajak dihentikan. Pajak dalam Islam juga hanya dipungut dari laki-laki muslim yang kaya sehingga tidak membebani rakyat. Dengan demikian, sistem anggaran dalam Islam tidak hanya efisien, tetapi juga tepat sasaran. Pengelolaannya juga tidak mubazir karena diatur berdasarkan aturan Islam. Allah Swt. berfirman dalam al-Baqarah ayat 275 yang artinya, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Perihal ini, Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah di dalam kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah menyebutkan bahwa pinjaman dari negara-negara asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional tidak boleh dalam hukum syarak. Karena, pinjaman itu terkait riba dengan syarat-syarat dan konsekuensi tertentu. Sedangkan persyaratan yang menyertai pinjaman asing sama saja dengan menjadikan negara dan lembaga donor tersebut memiliki kuasa atas kaum muslim dan negerinya.
Akibatnya, kepentingan dan keperluan kaum muslim tergadai pada keinginan negara-negara dan lembaga-lembaga donor. Utang luar negeri merupakan bencana yang amat sangat berbahaya atas negeri-negeri Islam dan menjadi salah satu penyebab orang-orang kafir menguasai negeri-negeri muslim. Oleh karena itu, penguasa negara Islam tidak boleh menggunakan utang luar negeri sebagai pos pendapatan untuk menutupi anggaran belanja.
Allah Swt. berfirman dalam surah an-Nisa ayat 141 yang artinya, “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” Oleh karena itu, anggaran tidak habis cuma-cuma untuk membayar utang dan bunganya.
Dengan demikian, dari penjabaran di atas sangat jelas perbedaan sistem yang diatur oleh Allah Swt. dengan yang dijalankan berdasarkan aturan manusia. Bagaimana Islam menjamin kesejahteraan tanpa pandang bulu. Bagaimana Islam memberi solusi tuntas terhadap setiap permasalahan umat. Masihkah kita berdiam diri tidak memperjuangkannya. Wallahualam.[]
0 Komentar