Efisiensi Hanya untuk Rakyat, Tidak untuk Elite Pejabat

 


Hanin Syahidah

 

Efisiensi, satu kata yang ramai dalam perbincangan publik akhir-akhir ini karena imbasnya langsung ke dapur-dapur rumah tangga rakyat. Bagaimana tidak, imbas dari efisiensi itu banyak PHK tenaga honorer yang sudah mengabdi cukup lama dan ini terjadi di lembaga-lembaga/instansi pemerintah. Yang sempat viral beberapa waktu yang lalu adalah PHK pegawai TVRI dan RRI, tetapi segera dikaji ulang dan akhirnya ada pembatalan PHK di dua lembaga tersebut. Namun, di lembaga yang mungkin tidak viral tetap berjalan. Khas Indonesia no viral no justice, beginilah adanya.

 

Dilansir dalam CNNIndonesia.com (15/2/2025), sejumlah kementerian/lembaga dan badan telah menggelar rapat dengan komisi terkait di DPR RI pada Rabu (12/2) dan Kamis (13/2) untuk membahas pagu anggaran 2025 usai terkena pemotongan anggaran imbas efisiensi. Besaran pemotongan anggaran tersebut variatif. Terdapat kementerian/lembaga yang disunat hingga triliunan, ada pula yang hanya dipotong ratusan miliar rupiah. Ada 48 lembaga, badan, dan kementerian yang mengalami efisiensi anggaran.

 

Daerah juga terkena imbas efisiensi ini, misalnya di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sebanyak 437 tenaga honorer telah dirumahkan sejak 10 Februari 2025, jumlah ini diprediksi akan terus bertambah. Di Bondowoso, sekitar 5.386 tenaga honorer kini dihantui ketidakpastian nasib mereka. Begitu pula dengan ribuan pegawai di berbagai daerah yang nasibnya terkatung-katung akibat kebijakan efisiensi anggaran yang tidak jelas arah dan sasarannya (KoranPelita.co, 13/2/225).

 

Yang menjadi sorotan publik adalah ketika beberapa instansi/lembaga harus efisiensi, tetapi struktur pejabat malah mengangkat orang baru. Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin melantik Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo alias Deddy Corbuzier sebagai Staf Khusus, Selasa (11/2/2025). Selain Deddy Corbuzier, Menhan juga melantik lima nama lain sebagai staf khusus maupun asisten khusus. Artis sekaligus Youtuber, Deddy Corbuzier diangkat menjadi staf khusus (stafsus) Menteri Pertahanan saat ramai penerapan kebijakan efisiensi anggaran.

 

Hal itu ramai menjadi pertanyaan publik. Sebab, pengangkatan stafsus tentu menambah anggaran. Sementara kementerian dan lembaga sedang sibuk memangkas anggaran demi mendukung tercapainya program besar yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto (Tribbunnews.com, 13/2/2025).

 

Kalau toh memang harus terjadi efisiensi, seharusnya diberlakukan secara adil untuk semua terutama kepada elite pejabat baik di kalangan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Aneka pemborosan yang selama ini dipertontonkan di depan publik seharusnya dipangkas anggarannya. Seperti mobil dinas yang "wah", kunjungan kerja yang tidak urgen, sampai kepada pengangkatan stafsus dengan gaji fantastis dan fasilitas mewah yang tidak ada hubungannya dengan pelayanan langsung kepada rakyat. Berharap bahwa elite kekuasaan negeri ini memihak rakyat memang seperti pungguk merindukan bulan.

Sulit mencari akar sejarahnya karena selama periode pemimpin berganti, pihak yang diuntungkan hanya yang masuk dalam kelompok dan golongannya saja. Sementara, lawan politik dan rakyat tidak akan diberi porsi bagian kue. Rakyat terus akan berusaha mengais-ngais pemenuhan kebutuhannya sendiri. Ketika efisiensi ini menyasar penambahan anggaran untuk menyediakan program makan siang gratis sebagaimana Badan Gizi Nasional (BGN) mendapat tambahan anggaran Rp100 triliun di tengah penghematan belanja APBN 2025 sebesar Rp306,69 triliun. BGN dinilai memenuhi syarat untuk menerima tambahan anggaran dari kebijakan efisien yang dilakukan pemerintah (Detik.com, 13/2/2025).

 

Akan tetapi, anak-anak negeri ini ketika sampai ke rumah, dia dan keluarganya mungkin tidak bisa makan malam/pagi. Bahkan terancam putus sekolah karena orang tuanya dirumahkan/di-PHK dari pekerjaannya. Sungguh ironis, kebijakan yang dimunculkan seolah tidak mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sebenarnya. Bahkan terkesan hanya menjadi kedok agar tampak populis padahal tetap mengorbankan rakyat.

 

Memang tidak mengherankan, beginilah potret pemimpin besutan demokrasi kapitalisme. Rakyat bukan menjadi prioritas pelayanan dan pengurusan, melainkan hanya sebagai pencitraan sesaat saja untuk memunculkan kesan populis dan memihak rakyat. Padahal, yang terjadi tidak menyentuh esensi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya misalnya pendidikan, kesehatan gratis dan berkualitas, dsb. Kendati hal itulah sesungguhnya yang lebih dibutuhkan rakyat.

 

Realitas ini sungguh sangat berbeda dengan kehidupan Islam yang seharusnya bisa diakomodasi sebagai sistem alternatif bagi rakyat negeri ini, terlebih Islam menjadi agama mayoritas di negeri ini. Dalam sistem Islam, posisi negara/Khilafah/imamah ada sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat bukan hanya sekadar kebijakan populis untuk pencitraan seperti dalam sistem kapitalisme sekuler sekarang, sebagaimana dalam hadis Rasulullah, Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Penguasa justru akan menyediakan dan mempermudah segala yang dibutuhkan rakyat, tidak mempersulitnya. Termasuk di dalamnya kemudahan mendapatkan lapangan pekerjaan bagi semua warga negara. Kemudian, memberi akses yang paling mudah terkait hajat rakyat misal kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan langsung individu per individu rakyat.

 

Malah, negara  memastikan rakyat masing-masing mendapat kecukupan kebutuhannya, bahkan memberikan secara cuma-cuma dan berkualitas. Tidak seperti sekarang, kalau mau pelayanan yang bagus dan berkualitas harus bayar mahal. Islam ketika diterapkan dalam sebuah sistem hidup dengan penerapan totalitas, maka kesejahteraan rakyat bukan hanya jargon tanpa makna dan bukti, melainkan benar-benar terealisasi nyata. Berharap sistem Islam segera menaungi dunia. Wallahu a'lam bi asshawwab.


Posting Komentar

0 Komentar