Bella Lutfiyya
#Depok
— Gencatan senjata di Gaza telah diberlakukan pada hari Minggu, 19 Januari 2025
atas hasil kesepakatan antara Hamas dan Israel. Perjanjian gencatan senjata
akan mencakup jeda pertempuran selama 3 minggu dan pembebasan puluhan sandera
Israel serta ratusan tahanan Palestina. Pada fase pertama ini, pasukan Israel
akan mundur ke pinggiran Gaza dan banyak warga Palestina akan dapat kembali ke
rumah mereka yang tersisa seiring meningkatnya aliran bantuan ke Palestina (tirto.id, 18/01/2025).
Pemerintah
Israel mengaku sudah membebaskan 90 orang tahanan Palestina. Pembebasan ini
sebagai bagian dari tahap pertama kesepakatan gencatan senjata. Sebelumnya,
pada hari Minggu (19/01), 3 orang sandera warga Israel telah dibebaskan oleh
kelompok Hamas ke Palang Merah di Kota Gaza. Tiga orang ini kemudian diserahkan
kepada militer Israel. Peristiwa ini terjadi beberapa jam setelah gencatan
senjata dimulai (bbc.com, 20/01/2025).
Hasbi
Aswar, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Islam Indonesia, mengatakan
gencatan senjata di Jalur Gaza merupakan sebuah pencapaian yang bagus karena
akan membuat bantuan kemanusiaan bisa masuk, proses rekonstruksi Gaza akan bisa
dilaksanakan, dan menghentikan jatuhnya korban.
Meski
demikian, Hasbi tetap pesimis Israel akan mematuhi kesepakatan gencatan
senjata, karena Israel pada dasarnya memang tetap tidak ingin keluar dari Gaza,
sementara Hamas sudah berkuasa di sana dan Israel menilai keberadaan organisasi
ini sebagai ancaman. Israel juga ingin menciptakan pemerintahan sipil di Gaza
yang tidak islamis yang sejalan dengan kepentingan Israel. Menurut Hasbi, ada
sejumlah faktor yang bisa membuat gencatan senjata di Gaza permanen, antara
lain jika ada tekanan yang kuat dari Amerika; dan tentunya tekanan di dalam
negeri (voaindonesia.com, 17/01/2025).
Gencatan
senjata di Palestina memang patut kita syukuri, karena pada fase ini rakyat
Palestina terbebas—sementara—dari segala kecaman, genosida, dan hal-hal kejam
lain yang biasanya mereka dapatkan. Para pengungsi kembali pulang ke rumah
masing-masing yang telah hancur rata dengan tanah. Sejauh mata memandang, hanya
ada reruntuhan yang tidak jauh berbeda dengan tanah di sekitarnya.
Betapa
hancur lebur hati dan jiwa rakyat Palestina di tanah mereka sendiri. Mereka
terusir, terusik, tertekan, dan ketakutan. Kehilangan sanak saudara tercinta, kehilangan
rumah dan harta benda, kehilangan ketenangan jiwa.
Akan
tetapi, mereka sesungguhnya tidak kehilangan keimanan dan keteguhan dalam jiwa.
Justru, keimanan rakyat Palestina adalah sumber kekuatan utama dalam memerangi
Zionis Israel. Sebab jika tidak ada iman, sebenarnya kita tidak akan melihat
peristiwa gencatan senjata ini.
Ya,
gencatan senjata ini menjadi bukti bahwa Israel yang dilengkapi limpahan
bantuan persenjataan dan kucuran dana yang diberikan, pada akhirnya tidak mampu
menaklukan dan melawan para rakyat Palestina. Fase gencatan senjata ini, hanya
fase rehat mereka dari segala kegagalan dan kefakiran mental setelah
terus-menerus melakukan genosida yang tiada hasilnya.
Gencatan
senjata ini bukan solusi yang hakiki, karena Zionis Israel dengan berbagai
sokongan dari negara adidaya Barat pasti akan kembali melakukan kekejaman
mereka seperti semula untuk menjalankan tujuan yang mengakar kuat dalam
dirinya. Bahkan, beberapa jam setelah pengumuman gencatan senjata, 82 orang
rakyat Palestina terbunuh akibat serangan Israel.
Para
Zionis Israel yang kejam, tamak, bengis juga akan terus menebar simpati dan
perhatian untuk meraih validasi publik, karena sebenarnya mereka hanyalah
sekumpulan orang-orang lemah tanpa dukungan dari negara lain.
Sementara
itu, solusi yang hakiki datang dari persatuan umat, kaum muslim terutama harus
punya hati yang tertuju pada Palestina sebagai negeri para Nabi dan tanah kharajiyyah.
Demo, kampanye sosial media, boikot, hanyalah segelintir solusi kecil yang
dapat dilakukan, tetapi hal ini tidak akan banyak mengurangi penderitaan warga
Palestina. Namun mirisnya, segelintir hal kecil ini pun tidak banyak dilakukan
orang-orang muslim. Jangankan para rakyatnya, pemimpin-pemimpin di negeri
muslim justru terlihat abai dan tidak peduli dengan dalih nasionalisme.
Jadi,
jika hal-hal kecil saja enggan dilakukan, bagaimana umat mau melakukan hal-hal
besar seperti jihad dan menegakkan Khilafah yang merupakan solusi hakikinya?
Mengapa
Khilafah? Khilafah berdiri atas persatuan dari seluruh kaum muslim, jadi
hatinya tidak terkotak-kotak karena nasionalisme atau perbedaan daerah asal,
kewarganegaraan, tetapi hati dan jiwa umat bersatu karena Islam dan Allah Swt..
Khilafah
didirikan atas dasar syariat Allah, keimanan kepada Allah, mencari rida Allah,
dan takut hanya kepada Allah juga. Jadi, hanya Khilafah yang akan mampu
mengirim tentara untuk jihad sebagai suatu kewajiban jika ada kaum muslim yang
tertindas dan memerangi musuh yang melakukan perusakan di jalan Allah.
Umat muslim
harus yakin kalau Islam akan menang atas izin Allah dan jika ingin ditolong
Allah, maka harus berjuang sesuai tuntunan Allah dan tidak ikut melibatkan
musuh untuk mengurusi urusan umat.
Saatnya
bersatu untuk membela Palestina dengan melakukan hal apa pun yang mampu kita
lakukan dan percaya bahwa hanya dengan jihad dan Khilafahlah yang akan
menuntaskan penderitaan rakyat Palestina.[]
0 Komentar