#CatatanRedaksi — Bagai air di daun talas. Itu kiranya peribahasa yang tepat digunakan menyikapi fenomena yang terjadi kali ini. Pascahiruk-pikuk rebutan tambang di kalangan ormas, sekarang menjalar juga di dunia kampus. Dilansir dari CNNIndonesia (31/1/2025), bahwa ada ide mengizinkan perguruan tinggi untuk mengelola tambang demi tekan biaya pendidikan, melenceng dari bisnis utama hingga memicu kampus jadi antisains. Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) bak menjadi karpet merah bagi perguruan tinggi untuk mengelola tambang. Dalam rancangan RUU, ada klausul yang membolehkan kampus untuk ikut menambang batubara.
Ide untuk memberi kampus kewenangan mengelola tambang muncul saat DPR mendadak ingin merevisi RUU Minerba. Padahal, tidak masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2025. Mereka menggelar rapat saat reses di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (20/1). Mereka seolah lupa akan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan pedoman dasar bagi perguruan tinggi dalam menjalankan fungsi dan tujuannya (Kemdikbud.go.id, 3/6/2024).
Wacana ini cukup panas di kalangan akademisi kampus. Padahal dengan mengelola tambang, semakin sukseslah kampus tidak mencetak kalangan cerdik pandai yang memberi manfaat kepada masyarakat, tetapi terjebak kepada aktivitas bisnis semata. Sekilas tampak wajar di tengah biaya masuk perguruan tinggi yang sangat mahal, UKT juga semakin mencekik mahasiswa, belum lagi operasional kampus yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Jika kita jujur, sebenarnya semua bermuara ketika ada penetapan PTN-BH oleh pemerintah beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa kampus harus mandiri membiayai dirinya sendiri. Hal itu sebagaimana disebutkan bahwa Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, disingkat PTN-BH—perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah adalah berstatus sebagai badan hukum publik yang otonom. Dahulu dikenal sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Sampai dengan tahun 2024, terdapat 24 perguruan tinggi negeri badan hukum dan tiap tahunnya terus bertambah (Wikipedia.org). Maka, inilah sumber masalah awal sehingga kampus kemudian berpikir mencari sumber dana segar untuk operasionalnya.
Sejatinya, itulah yang terjadi ketika pemerintah berlepas diri dari pembiayaan pendidikan. Maka, bagaimana mungkin operasional untuk kualitas anak bangsa hanya diberikan sekitar 20% dari APBN, meskipun disebut tertinggi sepanjang sejarah. Namun, tetap saja biaya operasional perguruan tinggi dengan biaya sebesar itu masih terseok-seok, sehingga akhirnya ikut-ikutan rebutan tambang. Tidak bisa dibayangkan di masa-masa yang akan datang, sudahlah kualitas output perguruan tinggi hanya diarahkan ke dunia kerja, di kampus tempat mereka digodok juga disibukkan dengan bisnis tambang. Semakin lengkaplah arah kapitalisasi dan liberalisasi di negeri ini. Alih-alih mencetak generasi kuat, tangguh berilmu pengetahuan, dan bermanfaat bagi peradaban manusia, mereka hanya mencukupkan diri menjadi budak korporasi, sungguh menyedihkan.
Kondisi tersebut sangat berbeda secara diametral dengan Islam. Posisi negara di dalam sistem Islam secara totalitas hadir dan membiayai semua operasional pendidikan mulai dari pendidikan dasar dan tinggi, misalnya negara mendirikan kuttab-kuttab di setiap masjid dengan gratis, begitu juga bagaimana universitas-universitas besar di dunia pernah menjadi mercusuar di masa lalu. Simak saja universitas Cordova yang menjadi pencerahan di masa kegelapan Eropa saat itu, juga universitas di Baghdad yang sangat terkenal di masa Bani Abbasiyah, yakni universitas al-Mustansiriya yang pertama kali diresmikan pada tahun 1233. Namanya sendiri berasal dari nama Khalifah Abbasiyah al-Mutansir Billah, Mansur bin Muhammad al-Dhahir.
Pendidikan dalam sistem Islam diberikan gratis, bahkan kampus-kampus itu difasilitasi dengan tempat-tempat penelitian yang semua pembiayaannya ditanggung oleh negara. Dari situlah menunjukkan bagaimana Islam sangat serius dalam pendidikan, termasuk porsi perhatiannya juga all out dalam pembiayaannya. Saat itu Islam diterapkan secara kafah selama seribu tahun lebih dengan penerapannya yang gemilang. Semoga tidak lama lagi kegemilangan ini akan terulang, sehingga kualitas generasi akan lebih baik dari kondisi hari ini. Wallahu a'lam bi asshawwab.[]
0 Komentar