#IndonesiaGelap: Antara Idealisme dan Kejumudan
Berpikir
Anggun Mustanir
#TelaahUtama
— Gelombang unjuk rasa mahasiswa hingga masyarakat sipil bertajuk
"Indonesia Gelap" dilakukan di sejumlah wilayah termasuk di Jakarta.
Aksi demonstrasi dilakukan akibat beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai
tidak prorakyat. Isu-isu tersebut di antaranya terkait efisiensi anggaran, MBG,
kenaikan pajak, kenaikan BBM, unjuk rasa oleh ASN, melemahnya rupiah, hingga
PHK besar-besaran di berbagai daerah yang membuat masyarakat khawatir dengan
nasib Indonesia kedepannya hingga muncul #IndonesiaGelap.
Menurut laman cnnindonesia.com (19/2/2025), Lili Romli selaku
Peneliti Senior dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional
(BRIN), mengatakan bahwa tagar #Indonesia Gelap dan #KaburAjaDulu merupakan
bentuk kekecewaan masyarakat terhadap kondisi saat ini. Dia menambahkan bahwa
masyarakat sebenarnya menaruh harapan besar pada presiden dan wakil presiden
terpilih di Pilpres 2024. Namun, kenyataannya justru sebaliknya.
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI),
Ali Rif'an berpendapat bahwa masyarakat makin resah dengan kebijakan
pemerintah. Menurutnya, efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah bukan
dialokasikan untuk hal-hal esensial seperti untuk tunjangan kinerja dosen, melainkan untuk melaksanakan program MBG yang banyak menuai pro-kontra (cnnindonesia.com,
19/2/2025).
Mirisnya, aksi unjuk rasa yang berulang kali
dilakukan masyarakat termasuk mahasiswa tidak digubris. Respon pemerintah juga
terkesan cuek dan tidak menunjukkan kepedulian sama sekali. Dari masa ke masa
dan periode kepemimpinan, jeritan hati rakyat dianggap angin lalu. Contohnya,
megaproyek IKN yang sejak awal dinilai mubazir oleh rakyat tetap berjalan dan
justru masuk PSN. Walhasil, kegagalan demi kegagalan menunggu di depan mata.
Menurut Ahli Tata Negara,
Bivitri Susanti, yang juga turut hadir dalam aksi
Indonesia Gelap di Jakarta, menegaskan bahwa yang diperlukan saat ini adalah
"perbaikan yang fundamental" (bbcindonesia.com, 17/2/2025).
Namun sejatinya, untuk melakukan perbaikan yang
fundamental antara pemerintah dan masyarakat seharusnya sadar dan paham
permasalahan yang sesungguhnya dihadapi bangsa ini. Karena untuk bisa
mengakhiri krisis multidimensi yang tidak kunjung berakhir, baik negara maupun
rakyat harus mengetahui penyebab utamanya. Tanpa memahami akar masalah utamanya,
mustahil karut-marut negeri ini bisa diatasi.
Dilansir dari laman muslimahnews.net (25/2/2025), menurut Cendekiawan Muslim, Ustaz Ismail Yusanto, persoalan saat ini merupakan
percikan-percikan dari akar persoalan yang lebih besar. Pemerintah tidak lagi
menjadi penjaga negara dan penjaga konstitusi. Sebaliknya, penguasa justru
terlalu banyak memberikan konsesi kepada berbagai pihak untuk kemenangan
konstelasi politiknya dan kelompoknya, baik di tingkat kabupaten/kota,
provinsi, maupun nasional. Dari fakta di atas, maka tampaklah demokrasi
transaksional yang saat ini terjadi di negeri ini menjadi akar dari persoalan
yang sangat berbahaya.
Dia
melanjutkan bahwa sesungguhnya, demokrasi merupakan problem, apalagi demokrasi
transaksional. Faktanya, saat ini yang berkuasa bukan lagi rakyat, tetapi
pemilik modal. Oleh sebab itu, suara mahasiswa saat ini seharusnya menggugat
akar persoalan sesungguhnya, yakni demokrasi transaksional.
Dari
penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa umat saat ini mengalami kejumudan
berpikir. Seperti lingkaran setan yang tiada ujungnya, mereka sesungguhnya
tidak benar-benar menemukan solusi tuntas untuk menyelesaikan berbagai
persoalan bangsa. Sistem saat ini telah membajak pemikiran para pemuda maupun
ulama, sehingga mereka menjadikan Barat sebagai kiblat.
Hal
tersebut terjadi lantaran mereka telah jauh meninggalkan hukum Islam yang
berasal dari Allah Swt. yang seharusnya menjadi pedoman hidup sebagai
konsekuensi dari syahadat mereka.
Perubahan
ke arah kebaikan tidak mungkin dicapai hanya dengan idealisme semu. Karena
sebagai bangsa dengan mayoritas muslim, seharusnya menjadikan akidah Islam
sebagai sandaran hidup merupakan bekal. Tanpanya, dipastikan hidup seperti
terombang-ambing tanpa arah, seperti yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Nyatanya,
demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem final saat ini telah
menghancurkan kehidupan umat. Jargon dari rakyat—untuk rakyat, faktanya tidak benar-benar bisa diterapkan. Yang terjadi
adalah dari rakyat yang memiliki modal untuk rakyat yang mengeluarkan modal
besar. Maka untuk rakyat kelas menengah dan jelata harus rela dengan
penghidupan yang sempit dan serba kekurangan.
Namun
sesungguhnya, kenyataan tersebut merupakan sebuah keniscayaan ketika umat
meninggalkan hukum Allah Swt. (Al-Qur'an dan Sunah) untuk mengatur kehidupan. Hukum Allah Swt. hanya
dijadikan rujukan untuk hal-hal seperti shalat, zakat, puasa, zakat, waris,
nikah, dan haji. Hukum Allah Swt. hanya
disimpan di pojok-pojok masjid. Padahal, Islam adalah sebuah ideologi yang
mengatur kehidupan manusia di segala lini kehidupan termasuk pemerintahan
sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad saw..
Dalam
sahihnya, Imam Muslim dari Ibnu Umar berkata bahwa aku mendengar Rasul saw.
bersabda yang artinya, “Siapa saja melepaskan tangan dari ketaatan kepada
Allah, maka dia pasti akan bertemu Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak
memiliki hujjah bagi-Nya. Dan siapa saja mati dan tidak ada bai'at di
pundaknya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah."
Allah
Swt. berfirman dalam surah al-Maidah ayat 48 yang artinya,
“Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa-apa yang telah Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu.”
Oleh
sebab itu, agar penguasa dan umat bisa keluar dari kegelapan dan kejumudan,
serta memiliki pemikiran yang cemerlang untuk mendapatkan jalan keluar
menyelesaikan krisis multidimensi saat ini, menjadikan Islam sebagai pedoman
hidup adalah solusinya. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar