EDITORIAL — Pada 28 Februari nanti, masa kerja pemerintahan Prabowo-Gibran tepat memasuki 100 hari. Sudah banyak pihak yang memberikan penilaian atas 8 Program Hasil Terbaik Cepat (quick win) yang mereka canangkan yang disebut-sebut sebagai program prioritas dan pro rakyat dari misi Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045.
Sebagian pihak mengeklaim kinerja pemerintah pada periode awal ini cukup berhasil membawa perbaikan. Oleh sebab itu, mereka optimis pemerintahan baru sekuel 10 tahun kepemimpinan Jokowi ini akan mampu mewujudkan semua janji yang digembar-gemborkan pada saat pesta demokrasi.
Namun, tidak sedikit yang berpandangan 100 hari kinerja pemerintahan pasangan ini justru jauh dari yang diharapkan. Alasannya, banyak kebijakan yang dianggap menzalimi rakyat, tetapi dikemas dan diiklankan media partisan seolah-olah pro kepentingan rakyat. Bahkan, mereka memandang penguasa sudah mati rasa karena tidak peduli atas berbagai penderitaan rakyat yang ada di depan mata mereka.
Pencitraan dan Populis Otoritarian
Mereka yang memandang positif kinerja pemerintah, disandarkan pada hasil survei Litbang Kompas pada 4—10 Januari 2025. Infonya, survei ini melibatkan 1.000 responden yang dipilih secara acak dan tersebar di seluruh Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 80,9% masyarakat puas atas kinerja 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Sedangkan sisanya (19,1%) mengaku tidak puas.
Hanya saja, meski hasil survei menunjukkan demikian, nyatanya banyak problem yang mengiringi program yang dibangga-banggakan tersebut, terutama pada program-program yang menyangkut kebutuhan masyarakat banyak. Pemerintah dalam hal ini dituding lebih banyak melakukan trial and error, dan kerap melakukan test the water yang sering kali malah memicu kontroversi publik.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, maupun program-program andalan lainnya, seperti pemeriksaan kesehatan gratis, penuntasan TBC, pembangunan rumah sakit lengkap di daerah, renovasi 22 ribu sekolah, membangun sekolah unggulan terintegrasi, membangun lumbung pangan nasional daerah dan desa dengan intensifikasi lahan pertanian seluas 80 ribu hektare, hingga cetak sawah baru 150 ribu hektare, dukungan sarana prasarana pendukung, dll., semuanya bersifat pragmatis, sarat pencitraan, dan sangat populis otoritarian. Sedikit pihak bisa jadi merasakan manfaatnya. Akan tetapi, dalam konteks solusi problem bangsa secara keseluruhan, apalagi dalam waktu jangka panjang, semuanya masih dipertanyakan, apalagi faktanya belum semua terealisasikan.
Begitu pun untuk program-program lain yang sempat dijanjikan. Seperti kenaikan gaji ASN (terutama guru, dosen, dan tenaga kesehatan), TNI/Polri dan pejabat lain, juga penghapusan utang UMKM, petani dan nelayan, serta peningkatan UMR dan daya beli masyarakat, dll. Semuanya tampak menggiurkan, tetapi sulit diwujudkan, mengingat ada problem besar yang benar-benar menjadi penghalang, salah satunya soal pendanaan.
Contohnya Program MBG, sejak masih berupa wacana hingga diluncurkan, tampak sangat tidak matang. Awalnya, Badan Gizi Nasional menyebut program ini akan menyasar sebanyak tiga juta anak pada tiga bulan pertama. Faktanya, hanya mampu mencapai 600 ribu anak di 26 wilayah kabupaten kota di Indonesia.
Alokasi dananya pun terus berkurang, mulai dari Rp15 ribu per anak, menjadi hanya Rp10 ribu per orang. Wajar jika hal ini berpengaruh terhadap komposisi makanan yang disajikan. Alih-alih memenuhi nilai gizi ideal sebagaimana dibutuhkan, menu yang disajikan pun benar-benar memprihatinkan.
Pemerintah saat ini juga ketar ketir soal pendanaan di tengah APBN yang selalu defisit dan tingginya tumpukan utang. Dana APBN yang bisa dialokasikan untuk MBG hanya sebesar Rp71 triliun, itu pun hanya cukup untuk pelaksanaan program hingga Juni 2025. Alhasil, pemerintah harus mencari dana tambahan agar janji politiknya bisa diwujudkan, mulai dari menggaet swasta melalui skema kerja sama, hingga mendorong masyarakat memenuhi kebutuhan secara swadaya.
Namun, hingga saat ini belum ada sambutan masif dari mereka. Justru yang ada adalah keluhan dari UMKM yang menjadi vendor MBG karena sistem pembayarannya menggunakan sistem reimburse (penggantian dana) mingguan. Alih-alih menguntungkan, sistem ini justru berpotensi menghambat perputaran dana usaha UMKM yang bermodal kecil.
Lalu yang cukup kontroversial dan menampakkan kurangnya gagasan adalah munculnya wacana menjadikan uang zakat sebagai sumber pendanaan. Hal ini disusul statemen nyeleneh Kepala BGN, Dadan Hindayana yang menyebut bahwa serangga dan ulat bisa menjadi alternatif sumber protein yang dapat digunakan dalam menu makanan lokal pada program makan siang gratis. Hebat bukan??
Dampak Kepemimpinan Sekuler
Karut-marut program hasil terbaik cepat 100 hari ini terjadi di tengah berbagai kebijakan struktural yang terus mengimpit kehidupan rakyat. Namun, semua tampak aman karena dibungkus glorifikasi media dan hasil survei lembaga survei partisan tentang selaksa keberhasilan. Selain Litbang Kompas yang surveinya begitu positif, Indikator Politik Indonesia pun tidak ketinggalan melakukan survei bertajuk Evaluasi Publik atas Kinerja 100 Hari Prabowo-Gibran dan Kabinet Merah Putih yang hasilnya tidak kalah mencengangkan.
Survei yang dilakukan pada 16–21 Januari 2025 ini menyimpulkan ada tujuh menteri atau pejabat setingkat menteri yang dianggap memiliki performa terbaik di hadapan masyarakat. Mereka adalah Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan AHY, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Menteri Agama Nasaruddin Umar, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman; dan Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.
Disebut mencengangkan karena semua sosok yang disebut ini memiliki catatan tersendiri dalam performa kepemimpinannya. Erick Thohir, misalnya, justru dinilai telah menjadikan BUMN menjadi terlalu politik karena ia isi oleh orang-orang politik. Di bawah kepemimpinannya juga BUMN makin kental orientasi bisnis, padahal tugasnya mengurus layanan publik.
Begitu pun dengan Sri Mulyani. Ia justru dinilai paling bertanggung jawab atas semua masalah keuangan di negeri ini, mulai dari tumpukan utang, defisit APBN dan berbagai kebijakan ekonomi yang memberatkan rakyat. Ia bahkan sempat disebut Said Didu sebagai “Ratu Palak” akibat kebijakannya terkait pajak, termasuk kenaikan PPN 12% yang memicu kontroversi. Meski kemudian objeknya direvisi, tetap saja dampak buruk kebijakannya kadung dirasakan masyarakat banyak.
Demikianlah watak sistem kepemimpinan sekuler kapitalistik. Gap antara penguasa dengan rakyat bisa sedemikian lebar. Apa yang dilakukan penguasa bisa jauh berbeda dengan apa yang diharapkan rakyat, karena penguasa dalam sistem kepemimpinan ini memang tidak bertindak sebagai pengurus rakyat. Namun dengan modal kekuatan politik yang dimilikinya, semua bisa tampak baik-baik saja. Rakyat yang mayoritas pemikirannya masih pragmatis pun sangat mudah dikecoh dengan berbagai program pencitraan dan populis, sehingga bahaya kepemimpinan bercorak sekuler kapitalistik ini tidak mampu mereka baca.
Hari ini, betapa banyak persoalan mencuat ke permukaan yang sejatinya menjauhkan masyarakat dari mimpi kesejahteraan. Kapitalisasi layanan publik, krisis ekonomi, politik, dan moral makin hari makin menguat. Kasus-kasus kriminal, termasuk korupsi, judol dan pinjol makin ugal-ugalan namun tidak pernah tuntas terselesaikan.
Berbagai bencana pun terjadi di mana-mana, sedangkan mitigasi benar-benar seadanya. Rakyat sendirian berjibaku dengan kesusahan hidup akibat kian sulitnya lapangan kerja dan biaya kebutuhan yang makin serba mahal. Negara alih-alih hadir sebagai pengurus urusan mereka, melainkan justru menjadi sumber masalah dan sumber kezaliman bagi rakyatnya.
Negara juga tidak hadir sebagai pelindung atau junnah bagi umat. Melainkan bertindak sebagai penjaga kepentingan para pemilik modal. Itulah yang tampak dari kisruh pagar laut dan perampasan ruang hidup yang saat ini sedang merebak. Atau tampak dari berbagai kasus proyek mercusuar yang tidak jarang berakhir tanpa juntrungan dan malah meninggalkan jejak tambahan hutang. Nampak negara telah kalah oleh kekuatan para konglomerat, bahkan kerap memosisikan diri sebagai pelayan bagi kepentingan mereka.
Sungguh kekuasaan dalam sistem sekuler kapitalistik memang tidak mengenal kata “dosa”. Mereka alergi terhadap agama yang berbicara soal bernegara. Wajar jika mereka memimpin dan memerintah benar-benar seenak perutnya. Mereka tidak takut jika setiap kesedihan, air mata, dan tangis satu per satu rakyatnya akan menjadi sesalan di akhirat kelak. Mereka juga tidak takut jika setiap maksiat yang dilakukan rakyatnya, serta setiap nyawa yang hilang karena putus asa akan menuntut tanggung jawabnya.
Kepemimpinan Islam
Fakta di atas berbeda jauh dengan sistem kepemimpinan Islam. Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullaahu, seorang mujtahid mutlak abad ini dalam kitabnya yang berjudul Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Jilid 2 dengan gamblang menjelaskan bahwa syarak menetapkan fungsi kepemimpinan adalah pengurus alias pelayan sekaligus pelindung umat. Beliau juga menjelaskan tentang profil kepemimpinan yang wajib dimiliki seorang penguasa, sekaligus memaparkan bagaimana hubungan yang harus terjalin antara pemimpin dengan rakyatnya.
Beliau mengatakan, selain harus memenuhi syarat sah kepemimpinan, tanggung jawab umumnya sebagai seorang pemimpin mengharuskan dirinya memiliki karakter yang melekat berupa kepribadian Islam yang kuat, yakni memiliki akliyah hukmin atau akliah negarawan (yakni paham tugas pemerintahan dan terampil menjalankannya) sekaligus memiliki nafsiyah haakim (yakni memiliki sifat-sifat pemimpin seperti adil, berwibawa, berani, bijaksana, tulus dan empati terhadap rakyatnya). Pada saat yang sama, seorang pemimpin juga wajib memiliki ketakwaan yang tinggi sekaligus sifat lemah lembut kepada rakyat yang mencegah dirinya untuk bersikap otoriter atau sewenang-wenang serta bersikap zalim kepada rakyatnya.
Adapun terkait tanggung jawab umum dalam hubungannya dengan rakyat, syarak telah menetapkan setidaknya dua hal. Pertama, seorang pemimpin wajib untuk melingkupi kehidupan rakyatnya dengan nasehat. Kedua, mengharamkan mereka untuk menyentuh harta milik umum yang bisa menyusahkan rakyatnya.
Dengan demikian, suasana amar makruf nahi mungkar yang dihidupkan oleh penguasa akan mencegah mereka dan rakyatnya untuk berbuat maksiat. Termasuk mencegah penguasa untuk merampok kekayaan milik umat sebagaimana yang lumrah dalam sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan sekarang, seperti menggadai aset umat, atau memalak mereka dengan berbagai pungutan pajak.
Hanya saja tanggung jawab kepemimpinan umum sebagaimana dijelaskan Islam ini memang tidak mungkin mewujud dalam sistem yang tegak sekarang. Kepemimpinan ideal seperti ini hanya mungkin tegak dalam sistem yang menerapkan Islam secara kafah sebagaimana telah terjadi ketika Khilafah tegak sepanjang belasan abad. Saat itu kehidupan umat sedemikian sejahtera penuh berkah, dan peradaban Islam tampil sebagai peradaban cemerlang di bawah kepemimpinan Khilafah yang berposisi sebagai negara adidaya.
Khatimah
Hari ini, umat memiliki kewajiban untuk mewujudkan kembali model kepemimpinan ideal yang sudah ditetapkan oleh syariat Islam ini. Namun perjuangan berat ini hanya mungkin dilakukan bersama kelompok dakwah ideologis yang terbukti konsisten menapaki jalan perjuangan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Kelompok dakwah ini hanya akan menjalankan amal dakwah dengan landasan akidah. Mereka berjalan di atas koridor hukum syarak dengan keyakinan penuh bahwa janji Allah akan kembalinya Khilafah akan segera mewujud dalam waktu dekat, insyaallah. Mereka ada di sekitar kita dan menunggu peran serta kita. [MNews/SNA-GZ]
0 Komentar