Anggun Mustanir
#TelaahUtama — Revisi UU Minerba atau Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara akhirnya disahkan. Revisi tersebut merupakan usul inisiatif DPR. Karena revisi ini, polemik mencuat dari berbagai kalangan. Hal tersebut disebabkan karena membuka akses konsesi tambang bagi perguruan tinggi, usaha kecil dan menengah (UKM), koperasi, hingga organisasi kemasyarakatan keagamaan (tempo.co, 2/2/2025).
Sebelumnya, Budi Djatmiko selaku Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Indonesia menyebut bahwa yang mengusulkan agar universitas diberikan hak untuk mengelola tambang adalah lembaganya. APTISI memberikan usulan pertama kepada Jokowi pada tahun 2016. Karena tidak mendapat respon, kemudian mereka mengusulkan kepada Prabowo Subianto. Usulan tersebut dirumuskan dalam dokumen berjudul Usulan APTISI: Peta Jalan Pendidikan Bahagia Menuju Indonesia Emas 2045 (bbc.com, 21/1/2025).
Usulan APTISI untuk ikut mengelola tambang merupakan wujud dari kesalahan berpikir pendidik. Idealnya, kampus atau perguruan tinggi merupakan tempat mendidik generasi penerus bangsa agar menjadi pribadi unggul di masa depan. Alih-alih mencetak generasi cemerlang, pendidik justru mendorong perguruan tinggi memiliki konsep entrepreneur university, yakni perguruan tinggi tidak hanya berperan dalam pendidikan tetapi dalam riset dan juga pengelolaan industri.
Selain tidak sejalan dengan konsep tri dharma perguruan tinggi, kebijakan tersebut dikhawatirkan akan memberangus pemikiran kritis perguruan tinggi dan merupakan bentuk penghinaan terhadap marwah perguruan tinggi sebagai entitas peradaban. Menurut Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM UU Minerba, Dr. Eng. Ir. Lucas Donny Setijadji berpendapat mestinya perguruan tinggi memaksimalkan perannya dalam mencetak SDM unggul dan berkualitas. Selain itu, butuh peran pemerintah dalam memberikan payung hukum serta dana untuk memfasilitasi mahasiswa dalam melakukan penelitian dan riset, bukan malah berbisnis.
Dalam kitab Al-Mughnî, karya Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisî, pada bab pembahasan tentang Ihyâ’al-Mawât, galian hasil usaha pertambangan yang banyak dibutuhkan dan dimanfaatkan oleh manusia tanpa banyak biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan, dan lainnya, tidak boleh dikuasai individu. Bahan-bahan tersebut menjadi milik kaum muslim. Jika dikuasai segelintir orang, maka akan merugikan umat. Bahan galian tambang tersebut harus dikelola oleh negara. Hasilnya dikembalikan dan didistribusikan bagi kepentingan umum.
Dalam kitab Al-Fiqh al-Islâmî wa-Adillatuh, kata ma‘âdin (bentuk jamak dari ma‘din) berarti bahan galian tambang. Menurut beliau, bahan galian tambang merupakan benda yang terdapat di dalam perut bumi, ciptaan Allah Swt. yang masih asli dan murni.
Bahan galian tambang merupakan sumber daya alam yang penting dan harus diperhatikan. Hal itu juga dijelaskan dalam Al-Qur'an dan al-Hadis bahwa betapa krusial pembangunan industri dari pengelolaan kekayaan alam berupa bahan galian tambang yang berasal dari perut bumi. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhânî, hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan merupakan milik umum dan harus dikelola oleh negara. Hasilnya harus diberikan kembali pada rakyat dengan harga murah atau berbentuk subsidi untuk berbagai kebutuhan pokok masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Dalam aturan Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga: Pertama, kepemilikan individu. Kedua, kepemilikan umum. Ketiga, kepemilikan negara. Dari ketiganya, bahan galian tambang adalah hak kepemilikan umum dan haram diserahkan kepemilikannya kepada individu/korporasi/kelompok. “Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api." (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Sementara itu, pendidikan dalam aturan Islam adalah proses belajar seorang hamba agar semakin beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.. Tentu saja, dalam Islam sosok Rasulullah Muhammad saw. adalah anutan (role model) seluruh peserta didik maupun pendidik. Allah Swt. berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 21 yang artinya, “Sungguh pada diri Rasulullah saw. itu terdapat suri teladan yang baik.”
Pada masa Kekhilafahan Islam, pendidikan Islam mengalami masa kegemilangan dan kecemerlangan yang luar biasa. Saat itu, banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan Islam dan majelis ilmu pengetahuan. Saat itu juga banyak lahir para ulama dan ilmuwan yang sangat ahli dalam berbagai disiplin ilmu dan bidang. Sebut saja Ibnu Sina (pakar kedokteran), al-Khawarizmi (pakar matematika), al-Idrisi (pakar geografi), az-Zarqali (pakar astronomi), Ibnu al-Haitsam (pakar fisika), Jabir Ibnu Hayyan (pakar kimia), dll. Literasi masyarakat saat itu lebih tinggi dibandingkan Eropa. Perpustakaan Umum di Cordova (Andalusia) memiliki lebih dari 400 ribu buku. Kala itu, membaca merupakan tradisi para ulama.
Sistem pendidikan Islam mempunyai visi yang jelas, yaitu mencetak generasi dengan pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam (syakhsiyah islamiyah). Kurikulumnya berlandaskan akidah Islam. Selain itu, pendidikan juga ditopang oleh ekonomi Islam yang kuat dan menyejahterakan dengan kebijakan yang bersumber pada syariat Islam. Negara menjamin masyarakat tanpa pandang bulu dapat merasakan hak pendidikan murah bahkan gratis.
Dalam mengeksplorasi SDA, negara akan mendukung sepenuhnya dengan dana dan fasilitas memadai. Dalam sistem Islam, riset berkaitan dengan kekuatan sistem politik Islam. Negara akan mewujudkan riset yang mandiri dan berdaulat. Sistem Islam memiliki visi dan misi riset yang berlandaskan akidah Islam mencakup bidang saintek, tsaqafah Islam, dan juga militer. Hasilnya akan dipersembahkan untuk kaum muslim sebagai sarana percepatan dan kemudahan negara d
menjalankan peran dan fungsi politiknya dalam mengurusi urusan umat.
Dengan ketegasan batasan kepemilikan seperti penjelasan di atas, maka tidak ada celah sedikit pun bagi individu, swasta, oligarki politik atau pemilik modal untuk merampas hak masyarakat umum atas tambang dan sumber daya alam. Melalui sistem pendidikan yang unggul dan sistem perekonomian yang kuat dan handal, negara juga akan mencetak generasi unggul, berakhlak terpuji dan tangguh.
Pengelolaan SDA dan pendidikan merupakan tugas utama penguasa. Sehingga, hasil dari pendidikan yang melahirkan banyak ahli akan mengelola SDA untuk kemaslahatan umat. Bukan dengan mengalihkan kewajiban penguasa yang akhirnya para pendidik dan peserta didik justru akan abai dan tidak peduli terhadap kebijakan penguasa.
“…Tidaklah para pemimpin mereka enggan berhukum dengan Kitabullah dan memilih-milih hukum yang telah Allah turunkan (sebagian diambil, sebagian dibuang), kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka.” (HR Ibnu Majah dengan sanad hasan)
WalLahu a’lam bish-shawwab.
0 Komentar