Hessy Elviyah
#Bekasi — Di negeri yang tanahnya subur ini, ada sekelompok tangan
yang merampas hak rakyat. Mereka bukan sekadar pencuri tanah melainkan penguasa
bayaran yang bermain di balik meja, mengubah hukum menjadi senjata dan keadilan
menjadi dagangan.
Hal ini tampak di Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten
Bekasi. Dua warganya mengaku belum menerima pelunasan secara utuh setelah
pembayaran tanah yang telah mereka jual kepada seorang perantara desa sejak
tahun 2022.
Bahkan salah seorang warga mengaku surat-surat tanah masih ada
padanya dan belum berpindah tangan, tetapi tanah tersebut sudah bersertifikat
pembeli. Kini tanah tersebut telah dikuasai oleh PT Tunas Ruang Pelabuhan
Nusantara (TPRN) untuk pembangunan pelabuhan pendaratan ikan (Pilarind.id,
31/1/2025).
Fakta di atas menunjukkan betapa masyarakat kecil terperdaya oleh
para kapitalis. Begitu pula negara, seolah turut memberikan restu untuk kaum
kapitalis merongrong kaum lemah. Rencana pembangunan pelabuhan tetap berjalan
lancar walaupun urusan dengan warga belum selesai.
Mafia Tanah Tumbuh Subur
Mafia tanah menjadi momok menakutkan bagi masyarakat, terutama bagi
mereka yang terancam kehilangan hak atas tanah yang telah mereka miliki secara
sah. Fenomena ini bukan sekadar masalah hukum atau administratif, tetapi juga
mencerminkan bagaimana sistem ekonomi, politik, dan ideologi suatu negara turut
berperan dalam menyuburkan praktik mafia tanah.
Kapitalisme yang menjadi ideologi negara ini berorientasi pada
kepemilikan pribadi dan keuntungan. Tanah dipandang sebagai komoditas yang
bernilai tinggi yang dapat diperjualbelikan tanpa mempertimbangkan aspek sosial
dan kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, kapitalisme mendorong akumulasi tanah oleh segelintir
pemodal besar yang melihat tanah sebagai investasi, bukan sebagai kebutuhan
rakyat. Mereka membeli tanah dalam jumlah besar kemudian menjualnya dengan
harga berkali-kali lipat setelah terjadi perubahan tata ruang dan
infrastruktur.
Tak hanya itu, dalam sistem kapitalisme yang berorientasi pada
kepentingan kaum pemodal sering kali terjadi kongkalikong antara pejabat
pemerintah dengan pengusaha tanah untuk memuluskan kepentingan kepemilikan tanah
walaupun harus mengorbankan rakyat kecil. Hal ini menyebabkan kondisi rakyat
kecil menderita dan mereka yang berkuasa semakin meraja.
Di samping itu, sekularisme yang menjadi akidah ideologi kapitalisme
berkontribusi pada mengikisnya nilai-nilai moral dalam pengelolaan aset publik
seperti tanah. Sering kali kebijakan yang diambil berdasarkan pada kepentingan
ekonomi dan politik semata, tanpa mementingkan aspek moralitas dan keadilan
sosial. Akibatnya, praktik korupsi, pemalsuan dokumen, dan pemaksaan penggusuran
menjadi hal yang lazim terjadi.
Sementara itu, liberalisme yang merupakan cabang turunan sistem
kapitalisme berkontribusi menciptakan pasar bebas yang tidak memiliki kontrol
ketat dari negara. Hal ini membuka peluang tanah dibeli, dijual, dan dikuasai
oleh pihak-pihak yang memiliki modal besar tanpa memerhatikan hak rakyat kecil.
Begitu pula sistem pemerintahan demokrasi yang lahir pada sistem
kapitalisme turut menumbuh suburkan praktik mafia tanah di negeri ini.
Demokrasi yang diklaim sebagai pemerintahan pro rakyat, tetapi pada faktanya demokrasi
saat ini didominasi oleh oligarki yaitu segelintir elite ekonomi dan politik
yang mengendalikan kebijakan negara.
Lebih jauh, pemilihan pemimpin di sistem ini kerapkali bergantung
pada modal besar. Para pengusaha properti dan mafia tanah kerap mendanai
kampanye politik sebagai investasi jangka panjang. Setelah kandidat yang mereka
usung berkuasa, mereka mendapatkan kemudahan menguasai tanah rakyat dengan
kebijakan yang berpihak kepada mereka.
Hal ini semakin diperparah dengan sistem demokrasi yang korup. Hukum
seringkali berpihak kepada mereka yang memiliki uang dan kekuasaan. Mafia tanah
dapat dengan mudah mengamankan kepentingan mereka dengan menyuap aparat penegak
hukum, mengatur keputusan pengadilan bahkan memanipulasi administrasi
pertanahan.
Dalam banyak kasus, pemerintah dalam sistem demokrasi menggunakan
dalih pembangunan untuk menggusur masyarakat dari tanah mereka. Mafia tanah
memanfaatkan ini dengan membeli tanah masyarakat dengan harga rendah kemudian
dijual kembali dengan harga selangit setelah mendapatkan ijin perubahan tata
ruang.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan mendasar dalam
sistem ekonomi, politik dan hukum yang diterapkan. Tanah harus dikelola dengan
prinsip keadilan sosial, moralitas harus menjadi pijakan dalam setiap
pengambilan kebijakan, dan mengubah sistem pemerintahan demokrasi yang sarat
dengan praktik korup. Jika tidak, maka mafia akan terus menggurita,
mengorbankan hak-hak rakyat kecil demi keuntungan segelintir pihak.
Kembali pada Islam
Islam mempunyai pandangan berbeda dengan sistem kapitalisme terkait
tanah. Dalam perspektif Islam, tanah bukan sekedar aset ekonomi yang dapat
diperjualbelikan secara bebas. Akan tetapi, tanah merupakan bagian dari
kepemilikan yang diatur oleh hukum syariat yang adil.
Dalam kitab Nidzomul al-Iqtishadi fi al-Islam karya Syekh
Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa tanah dibagi menjadi tiga jenis utama. Pertama,
kepemilikan individu (al-Milkiyah al-Fardiyyah). Islam membolehkan
individu untuk memiliki tanah melalui ihya al-mawat (menghidupkan tanah
yang mati), melalui warisan, jual beli atau hibah yang sah dalam Islam.
Kedua, kepemilikan umum (al-Milkiyah al-'Ammah).
Tanah yang mengandung sumber daya alam yang besar (seperti hutan, tambang, atau
tanah yang mengandung sumber mata air utama). Ketiga, kepemilikan negara
(al-Milkiyah ad-daulah). Tanah yang diperoleh dari peperangan (tanah kharaj),
tanah mati yang dihidupkan oleh negara, dan tanah yang dicabut dari individu
karena tidak dikelola.
Hukuman Bagi Mafia Tanah
Islam memiliki sanksi yang tegas kepada mereka yang bertindak curang
dalam kepemilikan tanah. Misalnya, pemalsuan dokumen yang sering
terjadi/dilakukan oleh mafia tanah. Dalam Islam tindakan tersebut termasuk tazwir
(penipuan) yang diancam dengan hukuman keras. "Barangsiapa yang menipu kami, maka ia
bukan golongan kami." (HR Muslim)
Pelaku pemalsuan dokumen bisa dikenai hukuman ta'zir yaitu
hukuman yang ditentukan oleh kepala negara (khalifah) sesuai dengan tindak
kejahatannya mulai dari membayar denda hingga hukuman yang berat.
Selain itu, hukuman bagi pejabat yang bekerja sama dengan mafia
tanah akan dihukum berdasarkan hukum ghulul (pengkhianatan terhadap
amanah publik). Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang kami angkat
untuk mengurusi suatu pekerjaan, kemudian ia menyembunyikan satu jarum atau
lebih, maka itu adalah ghulul yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat."
(HR Muslim)
Hukuman bagi pejabat yang terlibat dalam kasus mafia tanah bisa
berupa pemecatan, penyitaan harta, hingga hukuman fisik sesuai dengan
kejahatannya.
Demikianlah jika sistem Islam diterapkan. Mafia tanah dapat
diberantas tuntas dan keadilan bagi rakyat akan terwujud. Insyaallah. Wallahualam.[]
0 Komentar