Masa Depan Gaza di Tengah Arogansi Amerika

 



#EDITORIAL — Statement Trump yang ingin mengambil alih dan membeli Gaza, kembali hangat dibincangkan berbagai media internasional, seperti Al-Jazeera, Midlle East Monitor, RTE, Reuters, dll. Statement ini terakhir ia ungkap kepada wartawan di atas pesawat Air Force One dalam perjalanannya ke New Orleans untuk menghadiri kejuaraan Super Bowl National Football League pada Ahad (9-2-2025).

Ungkapan ini kemudian disusul dengan statement-nya yang tidak kalah kontroversial. Dalam wawancaranya dengan jurnalis Bret Baier dari Fox News Channel pada Selasa (11-2-2025) ia mengatakan, Jalur Gaza adalah lokasi “pengembangan real estate untuk masa depan”. Ia pun menegaskan, berdasarkan rencana ini warga Palestina tidak memiliki hak untuk kembali ke Gaza. Mereka tidak punya pilihan lain selain meninggalkan wilayahnya setelah mengalami kehancuran total akibat perang.

“Memahami” Arogansi Amerika

Trump memang berdalih bahwa rencananya ini adalah demi rakyat Gaza. Ia mengatakan, kehidupan mereka akan “jauh lebih baik” di tempat lain dibanding dengan tetap tinggal di reruntuhan Gaza. Namun, siapa yang bisa percaya? Sepak terjang AS di Gaza ini tentu tidak kosong dari kepentingan ekonomi dan politik nasional jangka panjang Amerika sebagai negara adidaya yang ingin hegemoninya tetap terjaga.

Terkait hal ini Andrew Roth dalam tulisannya berjudul Trump Says Palestinians Will Have No Right to Return to Gaza Under His Plan (dimuat The Guardian, 10-2-2025) menyatakan bahwa semua statement Trump ini justru menunjukkan adanya dukungan efektif AS terhadap proyek pembersihan warga Gaza di Palestina. Artinya, nonsens jika AS benar-benar berniat tulus untuk menolong warga Gaza.

Sebagai kampiun negara kapitalis, AS selama ini, memang dikenal sebagai negara yang memiliki visi ekspansionis, baik secara politik, militer, ekonomi, maupun fisik. Di bawah kepemimpinan Trump, hal ini tampak dari visi ‘America First’ yang ia tempatkan sebagai jangkar dari kebijakan politik ekonominya, terutama dalam kerangka menghadapi ancaman poros kekuatan baru yang dimotori negara-negara seperti Cina, Rusia, Iran, dan Venezuela.

Itulah kenapa akhir-akhir ini Trump berseteru dengan Kanada, Denmark, dan Panama. Ia dengan arogan mengancam akan menganeksasi Kanada dan Greenland (yang saat ini di bergabung dengan Denmark) lalu memaksa keduanya untuk menjadi negara bagian Amerika. Begitu pun kepada Panama, AS berani mengancam akan mengambil alih kendali Terusan Panama. Semuanya adalah demi alasan menjaga keamanan nasional dan ekonomi Amerika yang makin terancam karena munculnya poros kekuatan baru di dunia.

Trump berharap dengan ancaman tersebut, baik Kanada, Greenland, maupun Panama akan lebih memperhatikan kepentingan Amerika dalam hubungan ekonomi dan politiknya. Selama ini AS disebut-sebut telah menanggung defisit perdagangan dan subsidi akibat hubungannya dengan Kanada. Dalam pandangan Trump, Kanada, teman geografis terdekat Amerika, selama ini telah menumpang pada payung pertahanan AS.  Oleh karenanya, kalau tidak menjadi negara bagian Amerika, Kanada harus mau membuat kesepakatan perdagangan baru yang lebih menguntungkan produsen AS daripada sebelumnya.

Adapun tekanan Trump ke Greenland dimaksudkan agar Denmark memberi akses yang lebih besar ke mineral tanah jarang yang melimpah ruah di pulau yang luasnya melebihi pulau Papua tersebut. AS pun berharap bisa mendapat rute laut yang terbuka dengan mencairnya es kutub di wilayah Greenland.

Lalu tekanannya ke Panama, dimaksudkan agar kapal-kapal AS  bisa mendapat kemudahan akses berupa diskon tarif ke Terusan Panama. Maklum terusan ini merupakan jalur atau rute utama bagi pemindahan barang-barang antara Samudra Atlantik dan Pasifik.

Menjajah Gaza(?)

Adapun terkait Palestina, selain dorongan nafsu menjajah, Trump tampak sangat berambisi untuk dikenang sebagai penguasa yang berpengaruh dan memberi warisan sejarah bagi dunia. Lihat saja, saat pemimpin lain begitu pesimis merealisasikan proyek solusi dua negara untuk krisis Palestina, ia malah berkoar-koar bisa melakukannya. Ternyata caranya adalah dengan mengambilalih Gaza yang dikenal sebagai medan perlawanan utama umat Islam atas eksistensi Zion*s bentukan Amerika. Mungkin dalam pikiran Amerika, penguasaan total atas Gaza akan memuluskan rencana solusi dua negara di Palestina.

Soal rencana pengambilalihan Gaza ini sebetulnya sudah tampak sejak AS terus mendesak Zion*s dan Ham*s untuk melakukan gencatan senjata. Namun apa targetnya, secara clear baru diungkap pertama kali oleh Trump saat kunjungan Netanyahu ke Washington DC pada 4-2-2025 lalu. Saat itu, Trump mengatakan akan terlibat dalam proses rekonstruksi dsn pengembangan ekonomi yang merupakan bagian tahap ketiga proses gencatan senjata.

Saat itu, Trump menyampaikan, di samping akan melakukan pembongkaran dan membangun kembali Gaza yang sudah hancur total akibat perang, ia juga berencana untuk merelokasi dua juta penduduk Gaza ke wilayah-wilayah Timur Tengah melalui proyek yang disebutnya sebagai Riviera of The Middle East. Ia juga menyatakan siap membuka negaranya untuk menerima pengungsi Gaza yang akan ditangani berdasarkan permintaan individual.

Di sinilah tampak ambisi Trump atau AS untuk menegaskan kekuasaannya atas Gaza dan mengontrol secara langsung politik kawasan yang inheren dalam skenario panjang menciptakan krisis Palestina. Bahkan, Trump berani mendikte negara-negara Arab untuk berjalan sesuai dengan skenario yang dibuatnya. Rencana inilah yang sempat memicu kemarahan rakyat Gaza dan menyatakan bahwa rencana ini merupakan deklarasi perang.

Adapun respons para pemimpin Arab, mereka pun menyatakan keberatannya, tetapi dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang secara terbuka mengaitkan pada kepentingan nasionalnya seperti yang disampaikan Raja Yordania. Ia mengatakan, setiap solusi tidak boleh mengorbankan keamanan dan stabilitas Yordania maupun kawasan.

Ada yang bersembunyi di balik pembelaan atas hak rakyat Palestina untuk merdeka, seraya menyebut rencana Trump sebagai pelanggaran atas hukum regional dan internasional. Mereka juga mengingatkan bahwa rencana AS ini akan menjadi ancaman terhadap stabilitas kawasan dan merusak peluang perdamaian serta koeksistensi.

Liga Arab dan OKI bahkan mengingatkan AS bahwa rencana tersebut tidak berkontribusi pada pencapaian solusi dua negara. Padahal, menurut mereka, solusi ini tetap menjadi satu-satunya jalur yang layak untuk mencapai perdamaian dan keamanan antara Palestina dan negara (ilegal) Yahudi, serta kawasan yang lebih luas lagi.

Tentu saja satu-satunya pihak yang bergembira atas rencana AS adalah entitas Zion*s sendiri. Netanyahu bahkan menyebut gagasan Trump ini sebagai ide segar dan berani yang berpotensi mengubah segalanya di Gaza. Selain memuji, ia pun menyatakan siap mengimplementasikan gagasan yang oleh Trump disebut sebagai pembangunan paling besar dan spektakuler di planet bumi ini.

Menilik Masa Depan Gaza

Mencermati apa yang terjadi di Gaza, tampak jelas bahwa meski berangkat dari realitas kekalahan telak pihak Zion*s atas para mujahidin di Gaza, tetapi gencatan senjata ternyata telah menjadi bagian dari tipu daya Amerika. Amerika seakan mendapat legitimasi untuk masuk lebih dalam atas nama bantuan rekonstruksi yang menjadi bagian diktum dari gencatan senjata di Gaza.

Nyatanya, gencatan senjata ternyata tidak mampu menghentikan kekejaman pihak Zion*s kepada muslim Gaza. Bahkan sepanjang pemberlakuan gencatan senjata ini, pihak Zion*s meluaskan manuvernya ke wilayah Tepi Barat dan wilayah sekitar Palestina. Tercatat hingga hari ini (12-2-2025) korban tewas warga Gaza saja sudah mencapai 100 orang dan 901 warga lainnya luka-luka. Tidak hanya itu, pihak Zion*s pun menghalang-halangi masuknya bantuan ke wilayah Gaza.

Tentu saja, semua ini mesti menjadi pelajaran bagi umat Islam, bahwa menyerahkan urusan umat pada musuhnya hanya akan membawa kemudaratan. Tidak mungkin ada kebaikan yang mereka sisakan untuk masa depan umat Islam. Mereka justru akan bekerja sama dengan sekutu-sekutunya untuk memastikan umat Islam tetap ada dalam cengkeraman dan setiap peluang kebangkitan akan segera dihancurkan.

Ke depan akan ada banyak jebakan yang disiapkan di hadapan umat Islam. Namun, jebakan yang paling berbahaya sejatinya adalah paham nasionalisme yang selama ini merusak persatuan hakiki berdasar akidah Islam. Paham inilah yang sejatinya telah melegalkan pembunuhan lebih dari 48 ribu dan terusirnya jutaan warga Gaza terhitung sejak Oktober 2023. Bahkan paham ini pula yang bertanggung jawab terhadap terbunuhnya ratusan ribu warga Palestina sejak aneksasi Zion*s pada tahun 1948.

Sayangnya kebanyakan kaum muslimin dan para pemimpin mereka tidak sadar bahwa paham itulah yang telah membawa penderitaan. Sampai-sampai tangan dan kaki mereka terbelenggu untuk menolong saudaranya dan mengusir musuh-musuhnya hanya karena dibatasi sekat imajiner bernama negara bangsa. Dengan paham itu pula mereka malah turut serta memperpanjang penderitaan itu dengan mengambil solusi dari musuh-musuhnya.

Sungguh, satu-satunya harapan bagi warga Gaza atau Palestina hanya ada pada solusi Islam. Solusi itu adalah mobilisasi tentara umat yang ada di seluruh dunia yang akan berjihad melawan Zion*s, Amerika dan sekutu-sekutunya. Namun, seruan jihad ini tidak mungkin datang dari para penguasa muslim hari ini yang terbukti hanya peduli dengan kedudukannya. Seruan ini hanya mungkin terwujud jika ada komando seorang khalifah yang diberi tanggungjawab oleh Allah sebagai raain (pengurus) dan junnah (penjaga) umat.

Saat ini, khalifah dengan sistem pemerintahannya yang bernama Khilafah belum hadir di tengah umat setelah eksistensinya dihancurkan musuh pada 1924. Perjuangan untuk mewujudkannya kembali memang bukan perkara mudah. Terlebih di tengah gelombang sekulerisasi dan deideologisasi Islam yang tengah gencar diaruskan di tengah umat Islam.

Khilafah sendiri adalah institusi politik (negara) penerap Islam kafah. Sementara kesiapan umat menerapkan Islam kafah adalah dampak dari keimanan yang tertancap kuat. Oleh karena itulah, perjuangan menegakkan Khilafah harus dimulai dengan pembenahan aspek akidah yang dipahami sebagai akidah siyasiyah, yakni akidah yang melahirkan aturan kehidupan, bukan sekadar akidah ruhiyyah yang hanya dipahami mengatur urusan keyakinan dan moral.

Khatimah

Perjuangan Khilafah saat ini sejatinya sudah masuk ke tahap yang paling kritis. Para pengemban dakwahnya sudah terjun ke tengah umat untuk meluaskan kesadaran, melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik, serta mengadopsi berbagai kemaslahatan umat demi mewujudkan prasyarat tegaknya Khilafah. Prasyarat itu adalah terbentuknya dukungan mayoritas umat yang teropini dengan Islam berdasarkan kesadaran yang lurus tentangnya.

Kesadaran ini terus menelusup ke tengah umat, menyentuh akal dan nurani mereka, hingga gelombang kesadaran makin kuat dan kian tidak tertahankan di berbagai penjuru dunia. Ujian dan tantangan pun terus dihadapi, tetapi sebagaimana sunatullahnya, ada di antara para pejuangnya yang futur dan mundur ke belakang, tetapi tidak sedikit yang berusaha istikamah bertahan dan bersabar menunggu kemenangan itu datang.

Semoga, kita termasuk orang-orang yang selamat hingga ujung perjuangan, hingga tegaknya khilafah yang dijanjikan bisa kita saksikan, dan kelak di akhirat kita punya hujjah ketika kaum muslim Gaza menyampaikan dakwaan. Jikapun usia kita tidak sampai, setidaknya kita tercatat sebagai hamba Allah Swt. yang serius berjuang hingga titik darah dan hela nafas penghabisan. [MNews/SNA]

Posting Komentar

0 Komentar