Rini Sarah
#Wacana — Gas melon langka! Memasuki bulan kedua tahun 2025 ini, gas melon tidak
bisa ditemui di para pengecer lagi. Pasalnya, pemerintah melalui Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melarang penjualan gas melon di tingkat
pengecer. Warga hanya bisa membeli gas tersebut di pangkalan gas LPG
(ekonomi.bisnis.com, 1/2/2025).
Akibatnya, antrean warga mengular di berbagai
pangkalan. Warga rela berjubel di pangkalan gas, bahkan hingga berjam-jam.
Banyak yang kembali ke rumah dengan tangan hampa. Padahal, kebutuhan untuk
memasak tidak bisa ditunda. Warga bukan hanya lelah dan kehilangan waktu saja,
bahkan ada yang kehilangan nyawa. Di Pamulang, dikabarkan ada Ibu berusia 62
tahun meninggal setelah mengantre selama 3 jam (wartakota.tribunnews.com,
3/2/2025).
Menyusahkan
Bukan hanya warga yang susah akibat kebijakan
Menteri Bahlil Lahadalia ini. Pihak pangkalan selaku penyalur resmi gas melon
pun merasa demikian. Dwi, pemilik pangkalan gas di Antasari, mengeluhkan
kerepotannya melayani pembeli. Karena pangkalan itu bukan warung yang biasa
siap setiap saat melayani satu per satu pembeli dengan jumlah pesanan yang
sedikit. Selain itu, Dwi juga mengatakan bahwa sistem pembelian dengan KTP pun
belum jelas buat apa. Beliau juga mengakui ada penurunan pasokan akibat dari
sistem distribusi gas yang belum baik. Saat ini tidak dipasok setiap hari,
sebelumnya dipasok dua hari sekali, lalu menjadi empat hari sekali (disway.id, 3/2/2025).
Di lain pihak, antrean warga juga menyebabkan kemacetan lalu lintas.
Kebijakan baru terkait distribusi LPG
diketahui dari penjelasan Wamen ESDM, Yuliot Tanjung, bertujuan untuk menata
harga gas LPG yang diterima masyarakat agar sesuai dengan batasan harga yang
ditetapkan pemerintah (ekonomi.bisnis.com, 1/2/2025). Memang selama ini harga
gas di pengecer lebih tinggi dari harga di pangkalan, tetapi pemerintah luput
bahwa pangkalan tidak selalu tersedia di dekat rumah warga. Tentu untuk
meraihnya diperlukan biaya minimal transportasi, tenaga, dan waktu. Bisa jadi
curahan pengorbanan itu tidak sebanding dengan selisih harga gas melon di
pangkalan dan pengecer. Apalagi, jika faktanya menjadi kisruh hingga menelan
korban jiwa seperti ini. Kalau kata anak muda, "fixed no debat, ini menyusahkan!"
Mungkin, pemerintah yang notabene mayoritas
beragama Islam lupa pada doa Nabi Muhammad saw., “Dari Aisyah r.a. ia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah saw. berkata di rumahku ini, 'Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku
sesuatu lalu ia menyempitkan, maka sempitkanlah urusannya, dan barangsiapa yang
lemah lembut kepada mereka, maka lemah lembutlah kepada dirinya.’” (HR Muslim dan Ahmad)
Penguasa Pedagang
Penguasa yang menyusahkan rakyat merupakan
konsekuensi logis dari penerapan demokrasi dalam naungan ideologi kapitalisme
sekuler. Mahalnya kontestasi politik demokrasi berakibat pada politik
transaksional dengan penguasa bermental pedagang. Semua lini politik, baik itu
pemerintah, partai politik, bahkan rakyat sendiri hanya akan bergerak jika ada
ada uang. Walhasil, penguasa ber-mindset
pelayan umat akan hilang. Timbullah relasi penguasa dan rakyat laksana pedagang
dan pembeli.
Dalam kasus kisruh gas melon ini tampak nyata
relasi itu. Pemerintah selaku penerap berbagai kebijakan dalam sektor energi
tidak pernah serius dalam mengurus sektor ini. Banyak sumber-sumber energi yang
diserahkan dalam pengelolaan swasta dengan salah satu alasan bahwa negara tak
mampu untuk memodali hingga butuh investasi (swasta). Dalam distribusi pun
sama, pemerintah akhirnya lebih senang melakukan impor daripada mengupayakan
swasembada. Karena itu dipandang lebih mudah dan bisa jadi sumber cuan. Lalu,
agar tidak terbebani sedikit demi sedikit pemerintah mencabut subsidi dengan dalih
pengaturan agar subsidi tepat sasaran.
Dalam kasus gas melon ini alasan menekan
subsidi kembali mengemuka. Menurut Abu Nadzifah, Pengamat Sistem Energi,
pemerintah melakukan kebijakan pembatasan pembelian LPG hanya di
pangkalan lalu memverifikasinya dengan NIK bertujuan untuk menekan pembengkakan
anggaran dalam APBN. LPG memang perlu subsidi karena mayoritas disuplai oleh
impor. Pada 2022, Indonesia telah mengimpor 6,7 juta ton LPG. Sedangkan,
kebutuhan domestik mencapai 8,5 juta ton. Artinya, hanya 1,8 juta ton yang
mampu disediakan di dalam negeri (muslimahnews.net).
Abu Nadzifah mengemukakan bahwa agar tidak
tergantung impor pemerintah seharusnya mengusahakan adanya energi alternatif
sebagai pendukung LPG. Memang LPG adalah energi paling ideal bagi kebutuhan
rumah tangga, dari sifatnya yang memudahkan dalam distribusi, karena bisa
menjadi cair dalam suhu ruang hingga bisa dimasukkan ke dalam tabung dan ringkas
ketika ditransportasikan, lalu kalorinya pun besar. Hanya saja, ketersediaannya
terbatas karena LPG adalah hasil sampingan dari pengolahan minyak bumi. Oleh
karena itu, kita memang memerlukan energi alternatif untuk mendukungnya. Energi
itu bisa kita dapatkan dari energi listrik, gas alam yang terdapat di Indonesia, dan gas alam
terkompresi/CNG.
Untuk listrik, gas alam, atau CNG secara sifat
sangat layak untuk menjadi energi alternatif. Hanya saja distribusinya harus
memakai jaringan. Energi listrik sendiri masih dianggap energi yang mahal dan
kompor listrik tidak portabel hingga menyusahkan para pedagang keliling. Untuk
gas alam memang susah untuk mengompresinya. Perlu suhu yang sangat dingin untuk
menjadi cair (-169°C) dan tekanan yang sangat besar (20125 bar setara 200-250
kali lebih tinggi dari udara atmosfer) untuk mengompresnya hingga bisa
dimasukkan ke dalam tabung. Oleh karena itu, biasanya gas alam didistribusikan
lewat jaringan pipa, seperti di Amerika Serikat atau Eropa.
Sejauh ini, pemerintah tidak pernah
serius mengambil opsi alternatif, yakni dengan menyelesaikan berbagai titik kritis
dalam setiap opsi. Pemerintah justru tetap saja mengimpor LPG, lalu mengurangi
subsidi agar APBN tidak terlalu tertekan.
Penguasa Pengurus
Dari persoalan di atas, hendaknya kita ambil
pelajaran bahwa urusan umat tidak akan selamat jika dilakukan dalam atmosfer
relasi penguasa dan rakyat laksana pedagang dan pembeli tadi. Relasi seperti
ini harus bertransformasi menjadi relasi pengurus dan “gembalanya”. Relasi
penguasa dan rakyat yang seperti itu hanya lahir dari sistem Islam.
Islam sebagai ideologi sempurna telah mengatur
urusan ini. Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin
adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan rakyat dan dia bertanggung
jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR
Muslim)
STugas pemimpin adalah menunaikan politik, yakni memelihara urusan
rakyat. Seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, ia bertugas
untuk melaksanakan suatu urusan dengan sesuatu yang paling baik. Penguasa yang
tidak melakukannya dicela oleh Rasulullah. Beliau bersabda, “Sungguh seburuk-buruk pemimpin adalah
al-Huthamah (yang menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi mereka).” (HR Muslim)
Dalam permasalahan energi ini, penguasa dalam
sistem Islam akan mengurusnya dengan syariat Islam. Karena dengan menerapkan
syariat Islam kafah akan melahirkan sebaik-baik pengurusan urusan umat. Dalam
syariat Islam, energi merupakan barang milik umum. Barang ini tidak boleh
dikuasai swasta dan harus dikelola oleh pemerintah. Dengan demikian, seluruh
kapasitas produksi dikelola oleh pemerintah. Pihak swasta hanya akan dijadikan
penyedia jasa yang dibayar pemerintah jika dibutuhkan bantuannya. Hasil dari
produksi ini didistribusikan kepada rakyat.
Dari segi geopolitik, negara Islam juga akan
mempersatukan wilayah-wilayah penghasil energi menjadi satu kesatuan. Walhasil,
SDA yang ada di Semenanjung Arab adalah milik seluruh kaum muslimin di dunia.
Bukan hanya milik UEA, KSA, atau bangsa Arab saja. Jika ini berlaku, konsep
“impor” energi dari luar negeri tidak akan berlaku.
Insyaallah, jika hal ini dilakukan diiringi
inovasi-inovasi teknis dalam sektor energi, kelangkaan dan kisruh dalam sektor
energi akan terselesaikan. Karena investasi swasta dan nasionalisme sebagai
biang kisruh energi bisa dihilangkan. Lalu, dengan pemerintah yang
menerapkan inovasi teknis energi, salah satunya adalah diversifikasi energi,
akan mewujudkan ketahanan energi bagi negara. Hingga kita tidak tergantung lalu
berada dalam ketiak negara penyuplai. Allahu Akbar!
0 Komentar