Menjaga Citra Pesantren Sebagai Pencetak Generasi Salih



#Wacana — Setiap orang tua pasti mendambakan memiliki anak yang salih dan salihah. Di tengah maraknya berbagai kerusakan yang mengakibatkan generasi mengalami dekadensi moral yang sangat parah. Sehingga, pesantren menjadi pilihan orang tua untuk membantu memberikan pendidikan terbaik anak-anak mereka, terutama pendidikan agama. Di pesantren, semua santri dididik untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia, lisannya senantiasa melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dan memiliki kepribadian Islam (pola pikir dan pola sikap Islam). Inilah yang menjadi harapan orang tua agar kelak ilmu yang dimiliki anak mereka dapat berkontribusi dan bermanfaat baik bagi agama dan negara. 


Namun, apa jadinya tatkala gambaran pesantren yang seharusnya mendidik anak-anak untuk taat pada aturan agama, justru mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh. Dilansir kompas.com (22/01/2025), terbongkar aksi pencabulan yang dilakukan oleh pemilik dan guru di sebuah Pondok Pesantren Ad-Diniyah yang berlokasi di Pondok Kelapa Jakarta Timur. Kedua pelaku telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepada lima orang santrinya yang dilakukan sejak tahun 2019 dan memberikan sejumlah uang serta mengajak korban jalan-jalan agar tidak menceritakan perbuatan tersebut kepada orang lain.


Peristiwa ini menambah deretan panjang kasus pencabulan yang terjadi di pondok pesantren. Pasalnya, hal serupa juga telah terjadi di Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Imam Ashim kota Makassar dan Gowa yang pelakunya adalah pemilik pesantren tersebut. Kebanyakan santri yang menjadi korbannya tidak berani untuk mengadukan apa yang mereka alami kepada pihak luar, sehingga oknum pelaku leluasa melakukan aksi bejatnya kepada para santri. Kejadian ini tentu memberi pengaruh besar pada citra pesantren sebagai pencetak generasi yang salih. Sehingga, image pesantren menjadi buruk akibat perilaku oknum pesantren yang menimbulkan rasa takut dan khawatir para orang tua untuk menyekolahkan anak mereka ke pesantren. Bahkan, ada yang mengusulkan untuk membubarkan pesantren.


Rententan peristiwa yang mencoreng nama baik pesantren ini, tidak lantas kita melupakan kiprah besar pesantren dalam mencerdaskan dan mencetak generasi bangsa yang salih. Apalagi pesantren telah banyak melahirkan para ulama dan para alumni pesantren banyak yang melanjutkan menuntut ilmu agama ke luar negeri dan mereka menjadi ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih. Peran ulama inilah yang akan menerangi umat dengan ilmu, yang merupakan hasil pendidikan dari pesantren. Namun sayangnya, peran besar pesantren dalam membantu mencerdaskan dan mencetak generasi bangsa sebagai calon ulama, tidak mendapatkan perhatian sedikitpun  dari negara. Pesantren dibiarkan secara mandiri membiayai dirinya dan tidak mendapatkan dukungan finasial sedikitpun dari negara. 


Padahal, Pesantren hidup di tengah-tengah masyarakat dan sistem yang memisahkan agama dalam kehidupan (sekularisme). Keberadaan sistem sekuler tentu berdampak besar pada kinerja pesantren. Kebanyakan anak-anak yang dianggap “nakal” oleh orang tuanya, kerap kali menjadikan pesantren sebagai mesin laundry untuk mengatasi kenakalan tersebut sekaligus mensalihkan mereka. Maka wajarlah, karena faktor inilah, kerap kali terjadi kekerasan yang terjadi di pesantren dari kasus bullying dan kasus kekerasan lainnya. Adapun pihak pesantren yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh tersebut adalah oknum. Sedangkan pihak pengurus pesantren yang amanah dan bertanggung jawab jelas jumlahnya lebih besar dari oknum pesantren.


Fakta di atas menjadi bukti nyata ketiadaan rasa aman dalam institusi pendidikan saat ini. Tanpa melihat institusinya, baik sekolah umum maupun pesantren bisa saja terbuka peluang tindak pelaku kejahatan apa pun. Maka, di sinilah perlu kehadiran dan peran negara untuk mewujudkan rasa aman dalam setiap institusi pendidikan serta menjaga generasi dari pelaku kejahatan yang dilakukan oleh pihak sekolah, pesantren, dan pihak lainnya. Sehingga diperlukan upaya sistematis untuk menghentikan kejahatan yang dilakukan oleh oknum pesantren dengan memberikan sanksi yang berat dengan efek jera, sehingga dapat mencegah agar kasus kejahatan tersebut tidak terulang kembali. Bukan hanya sanksi yang diberikan, melainkan juga melakukan perubahan mendasar pada sistem pendidikan di Indonesia dengan mengganti asas sekularisme yang menjadi biang kerok lahirnya budaya kekerasan dan perundungan  yang banyak dilakukan oleh generasi.


Menjadikan sistem pendidikan yang berasaskan akidah Islam adalah solusi jitu. Sebab, Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu memberikan solusi terhadap setiap persoalan kehidupan manusia, termasuk pendidikan yang bertujuan untuk mencetak generasi taat pada Allah Swt., yang menjadikan halal/haram sebagai standar perbuatan dan mampu menyelesaikan setiap persoalannya sesuai dengan syariat Islam serta jauh dari aktivitas buruk. Inilah yang menjadi output sistem pendidikan Islam adalah mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam. 


Sistem pendidikan Islam tidak hanya mengurusi santri/murid, juga mengurusi guru dan lembaga pendidikannya. Para guru dan pengurus sekolah/pesantren akan dibina oleh negara agar mereka memahami visi, misi, strategi, dan kurikulum pendidikan. Negara tidak melarang individu yang ingin membangun sekolah/pesantran, tetapi harus mengikuti kurikulum berbasis akidah Islam yang telah ditetapkan oleh negara. Selain itu, negara akan mengontrol langsung dan proaktif untuk mendata, mengurusi, dan mengevaluasi serta mengawasi semua lembaga pendidikan yang ada di tengah masyarakat. Para guru yang akan mengajar dalam institusi sekolah/pesantren adalah orang-orang pilihan yang memiliki ketaatan kepada Allah dan memiliki kepribadian Islam serta mumpuni dalam bidang keilmuan pendidikan, sehingga bisa menjadi panutan/teladan bagi para murid/santrinya.


Yang terpenting, negara menjadi garda terdepan untuk memberikan fasilitas pendidikan yang berkualitas di seluruh institusi pendidikan termasuk pesantren, tanpa harus mengeluarkan biaya sepersen pun. Karena pendidikan dalam Islam merupakan tanggung jawab negara. Sehingga tidak ada lagi sekolah atau pesantren yang terabaikan karena akan senantiasa turun tangan untuk memfasilitasi dan menjamin pendidikan. Kasus kekerasan, perundungan, pelecehan, dan kasus kejahatan di institusi sekolah atau pesantren akan tertangani karena negara akan bersikap tegas dan memberi sanksi keras kepada pelakunya, sehingga kasus-kasus tersebut tidak akan terjadi lagi. Wallahualam.[]









Posting Komentar

0 Komentar