Pelajaran Lingkungan dari Korupsi Timah

 



Penulis: Abu Nadzifah (Peneliti Sistem Energi dan Lingkungan)

Muslimah News, ANALISIS — Kasus korupsi dalam Izin Usaha Pertambangan PT Timah periode 2015—2022 menghasilkan angka korupsi yang fantastis, yakni Rp300 triliun. Setelah berbulan-bulan persidangan, tidak kurang dari 10 terdakwa divonis hukuman penjara dan denda, termasuk Harvey Moeis dan Helena Lim.

Namun, vonis penjara dan denda yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta atas para tersangka—yang “hanya” dikenai hukuman paling lama 8 tahun penjara dan paling sebentar 4 tahun penjara—dianggap tidak adil oleh masyarakat. Vonis pidana dianggap terlalu rendah untuk nilai kerugian negara sebesar itu.

Secara total jenderal, kerugian negara akibat korupsi PT Timah ini memang yang paling besar sepanjang sejarah Indonesia. Angka Rp300 triliun ini lebih tinggi dari nilai korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1997 yang sebesar Rp138 triliun. Hanya saja, perlu dicatat bahwa sekitar 90% dari nilai korupsi tersebut, yakni Rp271 triliun, merupakan taksiran kerugian atas dampak kerusakan lingkungan akibat pertambangan ilegal tersebut.

Pada hakikatnya, kerugian sejenis ini merupakan kerugian ekonomi, mengingat tidak ada seorang pun yang memegang aset senilai kerugian tersebut, tetapi negara tetap dirugikan karenanya. Sementara itu, tangible asset dari kasus korupsi ini “hanya” berkisar Rp29 triliun sehingga nilai keseluruhan kerugian negara yang disebabkan secara langsung tidak setinggi korupsi BLBI.

Namun tentu saja, Rp29 triliun juga bukanlah angka yang kecil. Mengingat banyak koruptor lain yang divonis lebih berat dengan nilai korupsi yang jauh lebih kecil, wajar jika masyarakat merasakan ketakadilan dalam vonis korupsi PT Timah. Namun, di balik itu, ada hal menarik yang perlu menjadi sorotan bersama, yakni dimasukkannya kerugian akibat dampak lingkungan dalam besaran nilai korupsi.

Disrupsi Manusia terhadap Lingkungan

Allah Swt. menciptakan alam semesta dengan hukum-hukum tertentu (sunatullah) yang mana setiap komponen alam semesta akan tunduk kepadanya dan tidak bisa mengubah-ubahnya. Dalam kitab Dirasat fil Fikril Islam karya Muhammad Husain Abdullah, juga dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizhamul Islam, sunatullah ini disebut juga sebagai kadar (al-qadar).

“Adapun al-qadar yang di-‘athaf-kan (disambungkan) dengan kata al-qadha di dalam pembahasan al-qadha dan al-qadar, sebenarnya adalah khaasiyaat al-asy-yaa (potensi benda), seperti potensi membakar yang dimiliki api, potensi terbakar pada manusia dan kayu, potensi memotong pada kayu, dan potensi menggilas yang ada pada mobil dan kereta api. Semua potensi semacam itu, ataupun hal-hal yang semisalnya, disebut dengan al-qadar. Potensi-potensi ini berasal dari Allah.” (Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fil Fikril Islam).

Allah Swt. telah menetapkan kadar pada alam semesta—dalam konteks planet Bumi—dalam bentuk daur hidup berkelanjutan. Lautan, daratan, dan atmosfer memiliki daur terpadu dan berkesinambungan satu sama lain secara stabil. Contohnya, air laut menguap melalui mekanisme evaporasi setelah dipanaskan oleh cahaya matahari, membentuk awan di atmosfer, lalu kembali turun sebagai hujan di daratan. Oleh tanah dan pepohonan, air tersebut diserap, mengalami retensi, dan lebihannya mengalir kembali ke laut melalui sungai. Proses ini terjadi secara terus-menerus tanpa terputus.

Daur alami dapat terganggu jika terjadi kadar lain yang menyebabkan disrupsi terhadap proses ini. Contohnya, letusan Gunung Tambora pada 1815. Letusan ini menghamburkan sejumlah besar debu vulkanik ke atmosfer yang menyebabkan sinar matahari terhalang dari mencapai permukaan bumi. Akibatnya, permukaan bumi mengalami penurunan temperatur hingga 0,7 °C dan Bumi bagian utara (termasuk Eropa dan Amerika Utara) mengalami pendinginan ekstrem. Akibatnya, terjadi gagal panen yang menyebabkan kelaparan parah, khususnya di Eropa.

Dari sini, jelas bahwa dalam alam semesta yang diatur oleh Allah Swt. untuk mengikuti daur hidup tertentu, terdapat kadar-kadar lain yang dapat menyebabkan disrupsi terhadap daur hidup alami tersebut. Lalu bagaimana dengan aktivitas manusia?

Pada dasarnya, setiap aktivitas manusia akan menyebabkan disrupsi terhadap daur hidup di alam semesta. Namun demikian, dalam kapasitas tertentu, alam semesta memiliki daya lenting untuk menanggulangi disrupsi ini. Dengan kata lain, alam semesta dapat secara alami mengembalikan daur hidup yang terdisrupsi ini ke kondisi semula.

Sebagai contoh, penebangan pepohonan di hutan untuk kebutuhan kayu bakar atau bahan bangunan, jika dilakukan secukupnya dan jalur reproduksi tidak terganggu, pepohonan tersebut dapat tumbuh kembali dalam waktu yang cukup. Kondisi ini disebut sebagai natural sustainable capacity (kapasitas lestari alami).

Namun, ketika aktivitas manusia melebihi daya lenting alami tersebut, alam semesta pun akan mengalami kerusakan yang tidak bisa diperbaiki tanpa intervensi manusia, yang notabene melakukan disrupsi tersebut. Penebangan hutan yang melebihi kapasitas lestari alami tidak akan bisa dikompensasi oleh alam semesta secara alamiah. Alhasil, diperlukan adanya intervensi eksternal oleh manusia untuk mengembalikan kondisi alam seperti semula. Kondisi ini disebut sebagai maximum sustainable capacity (kapasitas lestari maksimum).

Adakalanya aktivitas manusia sedemikian berlebih hingga melampaui kapasitas lestari maksimum dari alam semesta. Hal ini meniscayakan bahwa sekalipun manusia melakukan intervensi, kerusakan yang ditimbulkannya sudah terlampau parah sehingga kondisi alam tidak bisa kembali ke kondisi semula. Pada kondisi ini, kerusakan yang disebabkan oleh manusia bisa dianggap sebagai kerusakan antropogenik permanen.

Dengan kebutuhan hidup manusia pada abad 21, aktivitas manusia berbentuk proses industri dalam berbagai wujudnya, baik peternakan, pertanian, pertambangan, energi, dan sebagainya, telah menyebabkan berbagai disrupsi parah terhadap lingkungan. Hal ini khususnya terjadi pasca-Revolusi Industri, yakni ketika penyempurnaan konsep mesin uap berhasil mengubah cara manusia beraktivitas secara keseluruhan.

Ketika efisiensi kerja manusia makin tinggi, daya dukung kehidupan kian bertambah, dan populasi manusia bertambah berkali lipat, daya rusak yang disebabkan manusia ke lingkungan pun bertambah besar. Pada akhirnya, manusia abad 21 tidak bisa melepaskan kehidupannya dari aktivitas industri yang masif. Meski dalam pelaksanaannya, aktivitas industri ini tidak lepas dari dampak lingkungan disruptif yang—sayangnya—nyaris tidak pernah diperhatikan secara serius.

Kerugian ekonomi akibat kerusakan lingkungan, sebagaimana yang didakwakan pada kasus korupsi PT Timah, merupakan satu contoh dampak dari disrupsi manusia yang melebihi kapasitas lestari alami. Belum bisa dievaluasi apakah dampak lingkungan dalam kasus korupsi ini masih dalam kapasitas lestari maksimum ataukah sudah masuk pada kerusakan antropogenik permanen. Akan tetapi, dari besaran nilainya, jelas bahwa kerusakan yang dihasilkan tidaklah main-main. Khususnya bahwa industri pertambangan, terutama pertambangan mineral, melibatkan berbagai proses kimiawi yang dapat berdampak buruk pada lingkungan sekitar jika tidak ditanggulangi.

Kerusakan Alam dalam Kapitalisme

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Allah Swt. telah menciptakan alam semesta dengan kadar-kadar tertentu. Firman-Nya, “Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut kadar (ukuran).” (QS Al-Qamar: 49).

Allah Swt. menganugerahi manusia akal yang mampu mengamati kadar-kadar di alam semesta ini dan untuk mempelajari bagaimana mekanisme alam semesta bekerja. Oleh sebab itu, sesungguhnya manusia dapat mengetahui sejauh apa mereka bisa menyebabkan disrupsi pada daur hidup alami tanpa menghasilkan kerusakan. Kalaupun manusia membutuhkan lebih dari kapasitas lestari alami, manusia dapat mengetahui apa saja tindakan interventif yang diperlukan agar kondisi alam semesta tetap berada dalam kapasitas lestari maksimum.

Sayangnya, manusia dalam peradaban sekuler kapitalistik tidak terlampau peduli akan masalah ini. Ideologi kufur kapitalisme hanya memedulikan profit jangka pendek, sedangkan dampak lingkungan jangka panjang dan merugikan banyak pihak tidak mereka pikirkan, kecuali hanya retorika dan tindakan-tindakan remeh, tidak serius. Sesungguhnya, mereka inilah yang telah berbuat kerusakan (fasad) di muka bumi.

Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia, agar Allah menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41).

Pemanasan global, perubahan iklim, pencemaran sumber daya air, erosi tanah, banjir, polusi mikroplastik, hujan asam, lahan mati, dan sebagainya, merupakan beberapa bentuk fasad yang disebabkan manusia melebihi kapasitas lestari alami, dan tidak ada upaya serius untuk menanggulanginya sehingga tidak mencapai titik kerusakan antropogenik permanen.

Pertambangan timah, sebagai salah satu pertambangan mineral, rawan menyebabkan berbagai dampak lingkungan, seperti degradasi ekosistem, pencemaran sumber daya air, kehilangan habitat dari berbagai satwa, bahkan termasuk dampak kesehatan terhadap warga sekitar tambang. Ketiadaan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang memadai, buruknya penerapan dan pengawasan AMDAL, serta korupsi izin pengelolaan yang terang-terangan mengabaikan AMDAL, turut berkontribusi pada besarnya fasad yang dihasilkan sehingga menyebabkan kerugian ekonomi negara dalam jumlah sangat besar.

Lantas, mengapa industri kapitalis tidak peduli mengenai dampak lingkungan? Prinsip dasar dalam industri kapitalis adalah mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan modal seminimal mungkin. Dalam proses industri, pengelolaan limbah dan pemeliharaan lingkungan merupakan aspek dalam proses bisnis industri yang paling mungkin untuk dipangkas dari biaya modal, khususnya bahwa pengelolaan limbah bisa dikatakan cukup mahal. Dari pemangkasan biaya pengelolaan limbah dan pemeliharaan lingkungan inilah, modal produksi industri dapat ditekan sehingga harga produk hasil tambangnya lebih kompetitif di pasar bebas.

Dari sini, sangat jelas bahwa ideologi kufur kapitalisme adalah biang kerok utama fasad yang mendisrupsi daur hidup alami secara luar biasa dahsyat. Prinsip ekonomi yang dianut kapitalisme mengabaikan aspek fundamental dari keberlanjutan lingkungan hidup. Kaum kapitalis tidak peduli atas disrupsi yang disebabkannya terhadap alam semesta. Bahkan, sekalipun cara-cara kotor harus mereka tempuh, mereka akan melakukannya demi menekan modal dan memaksimalkan keuntungan.

Allah Swt. berfirman, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqarah: 11—12).

Tanggung Jawab Lingkungan dalam Islam

Islam mengatur interaksi antara manusia dan alam semesta dengan begitu sempurna. Pada dasarnya, Allah Swt. telah menundukkan alam semesta agar bisa dimanfaatkan oleh manusia, sebagaimana firman-Nya, “Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan malam dan siang bagimu.” (QS Ibrahim: 32—33).

Namun, walau alam semesta dan isinya dapat dimanfaatkan oleh manusia, manusia tidak boleh memanfaatkannya sembari menyebabkan kerusakan. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-A’raf: 56).

Dengan kata lain, hak untuk memanfaatkan alam semesta dan isinya dibatasi dengan larangan untuk berbuat kerusakan. Jika diterjemahkan dalam konteks riil, manusia hanya boleh memanfaatkan alam semesta sebatas kapasitas lestari maksimum dan tidak boleh lebih daripada itu. Apa pun tindakan manusia yang mendisrupsi lingkungan lebih dari kapasitas lestari alami, maka manusia wajib melakukan intervensi untuk menjaga kondisi lingkungan agar pemanfaatan alam semesta tidak melebihi kapasitas lestari maksimum.

Selain itu, berbagai jenis SDA, seperti mineral, migas, dan sumber energi, hanya boleh dikelola oleh negara atau yang dipekerjakan oleh negara. Ini karena SDA tersebut adalah kepemilikan umat (milkiyyah ‘ammah) sehingga tidak boleh sama sekali dimiliki oleh swasta. Rasulullah ﷺ bersabda, “Umat Islam berserikat dalam tiga perkara, yakni air, api, dan padang gembalaan.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Dari sini, industri swasta tidak bisa mengutak-atik proses bisnis yang membahayakan lingkungan demi memaksimalkan profit. Peran maksimal pihak swasta adalah sebagai ajir yang dipekerjakan negara untuk melaksanakan proses penambangan, yang mana proses ini harus tunduk pada aturan syariat.

Demikianlah, betapa Islam secara fundamental mengatur aspek pemanfaatan alam semesta sehingga tidak menyebabkan fasad di muka bumi. Bagaimana aplikasinya? Sebagai contoh, di industri pertambangan timah. Tatkala diatur dengan syariat Islam, industri pertambangan timah tidak bisa memangkas biaya pengolahan limbah dan pemeliharaan lingkungan dari modal dasarnya.

Semua potensi tambang yang telah diidentifikasi harus dievaluasi, baik mengenai aliran pertambangannya, seberapa besar tanah yang harus digali, seberapa kebutuhan airnya, konsentrasi limbah yang dihasilkan, kapasitas water treatment yang dibutuhkan, upaya meminimalkan gangguan ke ekosistem di sekitar tambang, ke mana limbah sisa proses tambang harus dibuang, maupun hal lainnya. Sebagai ajir, pelaku industri tambang tidak akan diberi kontrak kerja oleh negara jika tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut.

Di satu sisi, perhatian terhadap dampak lingkungan memang akan berkorelasi dengan naiknya biaya penambangan sehingga harga barang tambang pun akan lebih mahal. Namun, hal ini masih bisa dikompensasi dengan skema pembiayaan yang tidak tergantung pada lembaga ribawi, tidak pula dijual di pasar yang harganya dikendalikan oleh kartel. Alhasil, potensi efek domino dari kenaikan harga barang tambang akibat pengelolaan yang lebih berkelanjutan masih dapat dikendalikan.

Khatimah

Kasus korupsi PT Timah seharusnya bisa menjadi pelajaran dan membuka mata umat Islam akan kebobrokan ideologi kufur kapitalisme dalam memelihara keberlanjutan alam semesta. Kapitalisme, yang hanya memikirkan profit sembari mengorbankan alam semesta dan mayoritas manusia yang hidup di dalamnya, tidak layak menjadi pengatur kehidupan umat manusia. Akuntabilitas dalam kapitalisme hanya lip service untuk mengesankan mereka bertanggung jawab, walau realitasnya mereka tidak pernah berubah; hanya sekumpulan manusia rakus yang rela merusak daur hidup alam semesta demi profit segelintir orang.

Sungguh, hanya Islam satu-satunya din dan ideologi yang mampu mengatur secara sempurna interaksi manusia dengan alam semesta. Islam menegaskan adanya tanggung jawab manusia terhadap lingkungan, bahwasanya hak mereka dibatasi dengan kewajiban dan ada limit disrupsi maksimal yang bisa dilakukan. Seluruhnya bersifat integral-holistik dengan aspek-aspek lain yang diatur syariat Islam, termasuk ekonomi dan politik.

Oleh karenanya, pengaturan syariat atas interaksi manusia dan lingkungan mustahil dapat terlaksana dalam sistem demokrasi yang merupakan turunan dari kapitalisme. Pengaturan interaksi manusia dan lingkungan berdasarkan Islam hanya mungkin diterapkan dalam sistem yang juga diturunkan dari ideologi Islam, yakni Khilafah Islamiah ‘ala minhajin nubuwwah. Wallahualam bissawab. [MNews/GZ]

Posting Komentar

0 Komentar