Pendidikan Anak Bangsa kian Suram, Imbas Efisiensi Anggaran

 


Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) no. 1/2025 tentang efisiensi belanja pelaksanaan APBN dan APBD 2025, pemerintahan Prabowo-Gibran melakukan pemotongan anggaran belanja negara guna menghemat triliunan rupiah. Target efisiensi anggaran tersebut hingga Rp316 triliunan melalui pemangkasan pada belanja barang dan modal semisal perjalanan dinas, alat tulis kantor (ATK), studi banding, acara seremonial, seminar dan acara-acara tersier lainnya. Sekalipun di awal rencana pemangkasan anggaran negara menuai banyak respon positif, nyatanya efisiensi anggaran tidak hanya berdampak pada kebutuhan kementerian/lembaga nonpokok tetapi sampai kepada kebutuhan dasar negara seperti pendidikan dan kesehatan. 


Dalam konteks pendidikan, efisiensi anggaran berimbas pada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendidasmen) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiksaintek). Anggaran Kemendidasmen mengalami perampingan sebesar Rp7,2 triliun dari pagu anggaran 2025 Rp33 triliun dipangkas menjadi Rp26,2 triliun. Sedangkan anggaran Kemendiksaintek dikurangi sebesar Rp14,3 triliun dari pagu anggaran 2025 Rp56,5 triliun menjadi Rp42,3 triliun.  


Pemangkasan anggaran Kemendidasmen meliputi pengeluaran nonpokok semisal ATK 90%, percetakan dan suvenir 75,9%, sewa akomodasi 73,3%, kegiatan seremonial 56,9%, perjalanan dinas 53,9%, hingga dana rapat dan seminar 45%. Sayangnya, pengurangan dana tersebut juga mencakup honor output kegiatan dan jasa profesi 45%, infrastruktur 34,3%, bantuan pemerintah 16,7% serta pemeliharaan dan perawatan gedung sekolah 10,2%. Sekalipun dikatakan efisiensi yang dimaksud tidak akan mengganggu program-program strategis seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Indonesia Pintar (PIP), dan tunjangan sertifikasi guru, tetapi tetap saja berdampak pada biaya pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah. 


Sedangkan pemangkasan anggaran Kemendiksaintek lebih banyak menyasar pos belanja tunjangan dosen PNS dan dosen paruh waktu sebanyak 25%, bantuan operasional kampus negeri dan swasta masing-masing 50%, Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (BPPTNBH) sebesar 50%, dan program Sekolah Unggul Garuda sebanyak 60%. Mirisnya efisiensi anggaran berlaku pula pada berbagai program beasiswa semisal beasiswa KIP-K (Kartu Indonesia Pintar-Kuliah) sebesar 9%, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) 10%, beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIk) 10%, beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB) 25%, serta beasiswa dosen dan tenaga pendidikan sebanyak 25%. Tidak hanya pemotongan anggaran untuk pos beasiswa, pemangkasan juga terjadi pada biaya riset kampus. 


Di sisi lain, efisiensi anggaran APBN dan APBD 2025 justru tidak berimbas pada lembaga nonpokok yang dipenuhi para tikus berdasi semisal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemangkasan anggaran dimaksudkan untuk memberi dana segar bagi program-program prioritas, salah satunya Makan Bergizi Gratis (MBG). Padahal pemerintah koar-koar menyebut MBG sebagai program pamungkas untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguatan gizi anak-anak negeri. Namun nyatanya untuk menopang MBG, pemerintah justru tega menyunat biaya operasional pendidikan yang hingga kini masih belum bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.   


Perlu kita garis bawahi bahwa pemangkasan anggaran pendidikan yang masuk ke ranah kebutuhan pokok jelas dapat memberi dampak serius untuk masa depan generasi bangsa. Untuk efisiensi anggaran pendidikan terdapat setidaknya 6 (enam) dampak serius yang kemungkinan besar terjadi. Pertama, terjadinya penurunan kualitas pendidikan dasar dan menengah yang kondisinya sudah memprihatinkan. Minimnya anggaran dalam kebutuhan dasar operasional semisal infrastruktur dan pemeliharaan gedung sekolah tentu saja akan berdampak secara langsung pada standar pembelajaran.  


Kedua, efisiensi anggaran memicu bertambahnya angka putus sekolah. Pemotongan anggaran beasiswa semisal KIP-K akan mengurangi akses pendidikan tinggi bagi masyarakat menengah ke bawah. Tercatat saat ini 844.147 penerima beasiswa KIP-K yang 663.821 di antaranya tidak bisa dibayarkan karena efisiensi anggaran (mojok.co, 13/02/2025). Kondisi ini tentu saja akan meningkatkan jumlah pekerja kasar dan justru menurunkan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya bisa menambah jumlah pengangguran. 


Ketiga, pemotongan anggaran kian menyulitkan akses pendidikan terutama di wilayah terpencil. Hal ini terjadi karena pengurangan anggaran memperlambat pembangunan dan pembaharuan gedung-gedung sekolah daerah terpencil. Kondisi semacam ini kemudian menghambat pemerataan pendidikan di seluruh negeri disebabkan oleh infrastruktur yang tidak memadai. Dari sini tidak mengherankan jika pada akhirnya banyak sekolah dan kampus yang terpaksa melakukan kegiatan pembelajaran seadanya.  


Keempat, ketimpangan pendidikan yang terjadi terutama antara daerah perkotaan dan wilayah terpencil. Ketimpangan pendidikan juga sangat mungkin terjadi antara si kaya dan si miskin dikarenakan akses pendidikan yang kian sempit. Si kaya akan tetap mampu memperoleh pendidikan tinggi nan berkualitas, sedangkan si miskin akan kian kesulitan mengangkes sektor pendidikan. Terlebih lagi dengan berkurangnya dana bantuan operasional kampus meniscayakan perguruan tinggi untuk menaikkan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang pastinya akan makin memberatkan peserta didik. 


Kelima, pemecatan tenaga pendidik honorer secara massal. Sekalipun pemerintah melarang adanya pemecatan guru ataupun dosen honorer, tetapi tidak bisa kita pungkiri bahwa keberadaan keduanya sangat bergantung pada alokasi dana operasional pendidikan. Dari sini terbayang  kesulitan demi kesulitan yang harus dihadapi pihak sekolah dan kampus untuk tetap mempertahankan para pendidik. 


Dampak terakhir yang paling krusial adalah potensi pembodohan massal bangsa ini bukan hanya karena sulitnya akses pendidikan bagi masyarakat luas tetapi juga menurunnya angka pendidik. Ke depannya, generasi muda bangsa ini akan kian enggan untuk mengabdikan dirinya menjadi tenaga pendidik, salah satunya karena besaran pendapatan yang sulit untuk mencukupi kebutuhan perut mereka. Terlebih lagi pemangkasan biaya operasional kampus yang berdampak langsung pada penurunan biaya riset akan menurunkan produktivitas akademis negeri ini. Pada akhirnya anak-anak bangsa tidak lagi mampu menciptakan inovasi dan justru harus bertekuk lutut pada industri. 


Salah kaprah pemerintah dalam melakukan efisiensi anggaran pendidikan sejatinya terjadi karena pendidikan dianggap tidak penting dan pendidikan tinggi dianggap sebagai kebutuhan tersier semata. Sistem pendidikan kapitalis yang dianut negeri ini lebih mementingkan peserta didik sebagai komoditas tenaga pekerja sektor industri ketimbang sebagai investasi jangka panjang pembentuk peradaban bangsa. Padahal jelas SDM yang unggul akan mempengaruhi produktivitas dan arah kehidupan serta kemajuan negeri ini. Penurunan kualitas pendidikan sebagai dampak dari penurunan anggaran harus dibayar mahal oleh bangsa ini di kemudian hari. 


Islam sendiri memberi posisi penting bagi pendidikan dan mewajibkan umat manusia berlomba-lomba menuntut ilmu. Ilmu layaknya pelepas dahaga yang mampu menciptakan generasi emas nan unggul serta membangun peradaban besar. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw, "Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat hendaklah ia menguasai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat) hendaklah ia menguasai ilmu." (HR Ahmad)

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar