Polemik LPG: Butuh Solusi Sistemik




#Tangsel — Antrean mengular. Bukan untuk BBM, makan siang gratis, atau sembako murah, melainkan untuk mendapatkan LPG 3 kg. Hal ini merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang melarang pengecer menjual LPG bersubsidi tersebut. Mulai 1 Februari 2025, masyarakat hanya dapat membeli LPG 3 kg di pangkalan resmi Pertamina dengan harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan. Kebijakan ini berdampak pada terbatasnya akses masyarakat terhadap LPG, sehingga menyebabkan antrean panjang di berbagai pangkalan, bahkan mengakibatkan korban jiwa. Di Pamulang, Tangerang Selatan, seorang nenek meninggal dunia akibat kelelahan saat mengantre. Selain itu, kericuhan juga terjadi, seperti di Pondok Aren, di mana antrean yang tidak tertib memicu ketegangan hingga aparat harus turun tangan untuk menenangkan situasi (sumsel.tribunnews.com, 03/02/2025).


Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa perubahan mekanisme distribusi LPG bersubsidi memang membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak mengurangi volume atau subsidi LPG 3 kg dan tidak berniat mempersulit masyarakat dalam mengaksesnya (jpnn.com, 03/02/2025). Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan ini justru memperburuk kondisi dan menambah beban masyarakat.


Polemik LPG: Mengapa Terus Terjadi?


Ironisnya, meskipun Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, masyarakat tetap mengalami berbagai persoalan terkait LPG, mulai dari harga yang terus naik, kelangkaan, hingga distribusi yang bermasalah. Indonesia masih bergantung pada impor LPG karena statusnya sebagai negara pengimpor minyak. LPG sendiri berasal dari minyak bumi, dan Indonesia masih mengimpor sebagian besar kebutuhan energinya. Hingga 2019, sekitar 75% kebutuhan LPG nasional masih dipenuhi melalui impor. Ketua KPPU, Fanshurullah Asa, mengungkapkan bahwa selama periode 2019-2024, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp460,8 triliun untuk subsidi LPG 3 kg, dengan 75% atau sekitar Rp370 triliun digunakan untuk impor gas (ekonomi.bisnis.com, 04/07/2024).


Padahal, Indonesia memiliki cadangan gas bumi terbesar di Asia Tenggara, termasuk sumber daya baru yang ditemukan di Wilayah Kerja South Andaman dan Geng North. Menurut Rystad Energy, cadangan gas Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 100 trillion cubic feet (TCF), yang hampir setengah dari total cadangan gas Asia Tenggara (liputan6.com, 24/01/2024). Dengan potensi besar ini, mengapa kebutuhan energi dalam negeri masih belum terpenuhi secara mandiri?


Akar Masalah Polemik LPG


Persoalan utama dalam distribusi LPG adalah penerapan sistem ekonomi kapitalis yang lebih mengutamakan keuntungan dibandingkan kesejahteraan rakyat. Negara menyerahkan pengelolaan sumber daya kepada pihak swasta, bahkan 85% ladang migas dikuasai oleh asing dengan perjanjian yang kurang menguntungkan (MNews.com, 04/01/2022). Akibatnya, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan karena kebijakan yang dibuat lebih berpihak pada korporasi daripada kebutuhan rakyat.


Islam Solusi Sistemik Polemik LPG


Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk energi. Negara wajib memastikan distribusi minyak dan gas dapat diakses dengan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam harus dialokasikan untuk membiayai sektor-sektor penting lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.


Islam juga menetapkan bahwa sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti minyak bumi, gas alam, dan mineral, harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah ﷺ, “Kaum muslim berserikat pada tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud). Hadis ini menjadi pedoman pengelolaan harta milik umum yang jumlahnya melimpah dan dibutuhkan masyarakat yaitu tidak boleh dikelola, dimiliki, atau dikuasai oleh individu, swasta, apalagi asing (Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam, 2004).


Dalam pengelolaan LPG, seharusnya tidak ada perbedaan antara LPG bersubsidi dan nonsubsidi. Seluruh rakyat berhak mendapatkan energi dengan harga yang wajar tanpa harus menghadapi kelangkaan atau antrean panjang. Pengelolaan yang berbasis kepentingan publik akan memastikan distribusi yang adil dan menghilangkan ketimpangan sosial.


Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, persoalan LPG dapat diselesaikan secara mendasar. Negara tidak boleh menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas komersial yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Sebaliknya, pengelolaan yang adil akan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan memastikan hak mereka atas energi yang seharusnya mudah diakses.[]


Noor Hidayah

Posting Komentar

0 Komentar