Poligami Diributkan, Kekerasan terhadap Perempuan Jadi Alasan

 

Syifa’ Nafisah


#Wacana — Isu mengenai poligami di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) kembali mencuat saat ini. Terlebih setelah Penjabat (Pj) Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Teguh Setyabudi, baru-baru ini menerbitkan aturan terkait praktik poligami untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKJ. Aturan terkait poligami itu tercantum dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No. 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian. Pergub itu diterbitkan pada 6 Januari 2025. Dalam Pergub itu, dijelaskan bahwa izin untuk beristri lebih dari satu orang dan izin untuk perceraian harus diperoleh dari atasan (Kumparan.com, 20/01/2025).


Pemerintah Provinsi Jakarta mencatat sebanyak 116 aparatur sipil negara (ASN) melaporkan kasus perceraian sepanjang tahun 2024. Penjabat Gubernur Jakarta Teguh Setyabudi mengatakan tingginya angka perceraian ASN di lingkungan Pemprov Jakarta ini menjadi salah satu tujuan penerbitan Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur tentang tata cara pemberian izin perkawinan dan perceraian bagi ASN (Tempo.co, 20/01/2025).


Sedangkan di kesempatan yang berbeda, Gubernur terpilih Jakarta, Pramono Anung menegaskan hal yang berbeda dengan Pergub No. 2 tahun 2025. Pramono menyampaikan ketentuan ini tidak berlaku bagi ASN di lingkungan pemerintahan. Pramono secara tegas menolak praktik poligami. Mengapa poligami diharamkan Pramono? Tidak sepakat dengan poligami, Pramono menganggap aturan Pergub tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi yang ingin diterapkannya. Pramono memastikan, selama masa jabatannya, tidak akan ada izin untuk praktik poligami bagi ASN. Kendati telah diatur ketat, Pramono tanpa kompromi tetap mengharamkan ASN untuk memiliki istri lebih dari satu di lingkungan kerjanya itu (Kompas.com, 03/02/2025).


Berbeda lagi dengan argumen dari Komnas Perempuan tentang Pergub No. 2 tahun 2025 ini. Komnas Perempuan pun menanggapi aturan poligami ASN tersebut. Lewat keterangan resminya, Komnas Perempuan mengatakan bahwa syarat-syarat yang dicantumkan justru mendiskriminasi perempuan. Komnas Perempuan menjelaskan, praktik poligami juga menjadi salah satu faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan. Sebab, poligami biasanya diawali dengan perselingkuhan. Perselingkuhan kerap menyebabkan tekanan psikologis terhadap perempuan dan penelantaran oleh suami. “Perkawinan poligami kerap diawali dari perselingkuhan, yang mengakibatkan penderitaan psikologis dan juga penelantaran pada pasangan, termasuk dan tidak terbatas pada pemberian nafkah. Tindakan serupa ini merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam bentuk kekerasan fisik dan penelantaran,” jelas Komnas Perempuan (Kumparan.com, 20/01/2025).


Dari data Badan Peradilan Agama (Badilag) pada 2023, mencatat ada 391.296 pengajuan perceraian. Terhitung 701 di antaranya karena alasan poligami, 32.646 karena alasan ditinggalkan salah satu pihak, dan 240.987 karena perselisihan terus menerus. BPS mencatat jumlah perceraian akibat poligami di Indonesia cenderung menurun dalam 5 tahun (2018-2023) terakhir. Tertinggi pada tahun 2019 sebanyak 1.330 kasus dan terendah pada 2023 sebesar 738 kasus. Padahal, kasus perceraian yang lebih tinggi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat karena judi online sebanyak 1.572 pada tahun 2023. Terdapat 5.174 kasus perceraian akibat faktor KDRT di Indonesia pada 2023.


Artinya, terjadinya perceraian yang tertinggi  bukan karena poligami, tetapi karena kasus KDRT. Sehingga, klaim yang mengatakan bahwa poligami menjadi penyebab KDRT dan perkawinan poligami biasanya diawali perselingkuhan adalah suatu klaim yang tidak berdasar dan semakin menyudutkan syariat Islam. Termasuk pejabat pemerintahan yang membuat peraturan pelarangan terhadap poligami, bahkan “mengharamkan” poligami. Selain itu, menganggap poligami merupakan kekerasan fisik terhadap perempuan karena akan menelantarkan istri dan tidak menafkahinya, semua itu klaim semata. 


Ini adalah kesesatan berpikir yang terjadi di dalam sistem liberalisme saat ini, menjadikan akal manusia sebagai landasan berpikir dan menentukan hukum terhadap suatu perbuatan. Secara metodologis (ushul fiqih), cara berpikir itu salah, sebab tindakan itu berarti menjadikan akal sebagai satu-satunya alat untuk mengetahui status hukum syara’. Padahal, akal tidak dapat secara independen memutuskan halal-haramnya sesuatu hanya bertolak dari fakta-fakta empiris semata. Akal tugasnya adalah memahami teks wahyu, bukan untuk menyimpulkan status hukum secara mandiri terlepas dari teks.


Kehidupan dalam sistem sekularisme saat ini meniadakan peran agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga hukum Allah berada di bawah hukum negara atau hukum manusia. Termasuk dalam masalah poligami yang dibolehkan oleh Allah dan merupakan syariat Islam, tetapi dalam sistem ini malah dilarang. Menyebutkan poligami biasanya diawali dengan selingkuh merupakan klaim, padahal poligami merupakan salah satu solusi agar tidak terjadi perselingkuhan dan perzinaan yang diharamkan. Bagaimana mungkin sesuatu yang bisa membawa pada kemaslahatan dan tertutupnya pintu maksiat malah dilarang, sedangkan perselingkuhan dan perzinaan marak di mana-mana yang akan membawa pada rusaknya nasab manusia, diabaikan. 


Para Feminis yang mengatakan poligami menyebabkan kekerasan pada perempuan ini juga pendapat yang salah. Karena apabila poligami itu dilakukan sesuai syariat Islam, maka tidak akan terjadi hal ini. Karena justru poligami melindungi kemuliaan perempuan. Kekerasan pada perempuan bukan karena poligaminya karena bisa saja orang yang tidak berpoligami pun melakukan kekerasan pada perempuan. Aturan dalam sistem ini justru merendahkan posisi perempuan.


Syariat Islam justru membawa pada kemaslahatan hidup manusia. Namun, ketika manusia diberi kewenangan membuat hukum, maka yang terjadi adalah kehancuran. Sebab, akal manusia terbatas dan tidak mampu menentukan yang terbaik bagi dirinya, apalagi bagi manusia lain. Hanya hukum Allah, Sang Maha Pencipta manusia, alam semesta, dan seluruh isinya yang paling layak dan terbaik bagi manusia ciptaan-Nya. Sesuai dengan Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 50 yang artinya, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Bukankah hukum Allah yang lebih baik bagi orang-orang yang meyakini?” Ini menjadi kunci ketika akal itu tunduk pada hukum Allah, maka kemuliaan manusia akan tercapai termasuk kemuliaan perempuan. Wallahualam bissawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar