Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Baru-baru ini tengah ramai di media sosial tagar Indonesia Gelap di kalangan kawula muda. Viralnya tagar tersebut diikuti oleh gelombang demonstrasi yang merupakan aksi terpusat nasional dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama warga sipil. Demo yang mayoritas diikuti para mahasiswa digelar serentak di beberapa daerah termasuk Jakarta, Bandung, Lampung, Surabaya, Malang, Samarinda, Banjarmasin, Aceh, dan Bali. Unjuk rasa dilakukan sejak Senin (17/02) hingga Jumat (21/02) lalu dengan puncak aksi pada Kamis (20/02).
Demonstrasi besar yang dilakukan setidaknya selama 5 (lima) hari tersebut merupakan bentuk protes para mahasiswa khususnya atas berbagai kebijakan kontroversial yang dikeluarkan pemerintahan Prabowo-Gibran. Mereka menganggap kondisi negara “kian gelap” karena kebijakan-kebijakan antirakyat yang dikeluarkan penguasa. Salah satu kebijakan yang menjadi trigger utama turunnya para mahasiswa ke jalan adalah efisiensi anggaran dalam APBN dan APBD 2025 yang memangkas anggaran krusial di sektor pendidikan dan kesehatan.
Dalam aksi #IndonesiaGelap, terdapat setidaknya 9 (sembilan) tuntutan yang disampaikan. Tuntutan yang dimaksud yaitu pengkajian ulang Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2025 tentang efisiensi anggaran, transparansi status pembangunan dan pajak, evaluasi pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), penolakan revisi UU Minerba, penolakan dwifungsi TNI, pengesahan RUU tentang perampasan aset, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan nasional, penolakan impunitas dan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, serta penolakan cawe-cawe Jokowi dalam pemerintahan Prabowo (kompas.com, 20/12/2025).
Tagar viral yang diramaikan oleh kalangan muda bukan pertama kali terjadi di negeri ini. Sebelumnya pada Rabu (12/02) sempat ramai warganet memakai tagar #AdiliJokowi dengan tujuan mendesak aparat agar menyeret mantan presiden ke-7 tersebut ke meja hijau bersama anggota keluarganya. Tagar lain yang tidak kalah viral dan masih digaungkan hingga hari ini adalah tagar #KaburAjaDulu. Tagar tersebut muncul sejak Desember 2024 silam sebagai bentuk kekecewaan masyarakat atas keterbatasan lapangan kerja di Indonesia yang memunculkan tren untuk “kabur” dari negeri +62 dan mencari penghidupan yang lebih layak di luar negeri.
Baik tagar #IndonesiaGelap, #AdiliJokowi ataupun #KaburAjaDulu sejatinya mencerminkan kegundahan generasi muda negeri ini atas situasi sosial-politik dan ekonomi bangsa yang tak kunjung membaik. Situasi dalam negeri dianggap kurang “bersahabat” dan negara disebut-sebut sering “mangkir” dari tugasnya dalam melayani rakyat. Artinya tagar-tagar viral tersebut menunjukkan kekecewaan luar biasa masyarakat khususnya para mahasiswa atas kebijakan-kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran yang hingga detik ini belum berhasil mengeluarkan Indonesia dari keterpurukan.
Sayangnya, kebijakan-kebijakan antirakyat yang dikeluarkan penguasa negeri ini bukanlah hal yang aneh. Pasalnya sekalipun telah terjadi pergantian rezim hingga 8 (delapan) kali, kepemimpinan yang ada senantiasa berujung pada kezaliman, kekecewaan yang mendalam, dan kesengsaraan rakyat. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa pergantian pemimpin tanpa disertai dengan perubahan sistem demokrasi-kapitalisme-sekuler yang dianut negeri ini hanya akan menggiring Indonesia kepada perubahan semu.
Dalam sistem demokrasi-kapitalisme-sekuler, para penguasa negeri dituntut memuaskan “dahaga” kaum borjuis. Artinya, setiap kebijakan yang diambil oleh pemimpin negeri diharuskan sejalan dengan kepentingan oligarki. Maka tidak mengherankan jika banyak pihak berkelakar bahwa jargon “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan) yang menjadi ciri khas demokrasi hanyalah hiperbola semata. Demokrasi yang katanya menempatkan suara rakyat setara dengan suara Ilahi, nyatanya hanya memperhitungkan suara para tikus berdasi dalam membuat kebijakan. Celakanya, setiap kebijakan yang dilahirkan oleh para wakil rakyat tersebut tidak lain adalah “pesanan” dari para cukong dan cuan.
Demokrasi sejatinya hanya menempatkan suara rakyat sebagai kantung suara dalam memenangkan pesta demokrasi saja, tidak lebih. Selebihnya, sistem demokrasi justru mengagungkan ide kebebasan bagi setiap individu masyarakat dalam kehidupannya. Dari sini sistem demokrasi membuka peluang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk merumuskan kebijakan tanpa batasan halal-haram. Celakanya, yang membuat kebijakan pun tidak memiliki batasan apa pun, boleh jadi mereka adalah para pemalak, pezina, koruptor, atau para pelaku maksiat lainnya.
Demokrasi yang digaung-gaungkan sebagai sistem politik “ideal” tentu saja akan menemui titik jenuh. Pada titik tersebut anggota masyarakat kerap melontarkan suara-suara ketidakpuasan, salah satunya adalah dengan aksi demonstrasi. Demokrasi yang katanya menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, pada kenyataannya tidak serta-merta menjadikan para pemimpin negeri ini mau mendengarkan keluh kesah rakyat. Hingga jutaan kali pun rakyat turun ke jalan menuntut keadilan dan kesejahteraan yang diimpikan rakyat hanya jadi khayalan belaka. Jikapun kemudian suara mereka “didengar", hal tersebut dilakukan sebagai “obat penenang” agar masyarakat diam.
Inilah kecacatan sistem demokrasi. Sistem politik yang telah cacat sejak lahir. Seluruh hukum turunannya pun sifatnya “relatif”, yang artinya kebenaran pun nilainya “relatif” tergantung pada siapa yang berkuasa. Hal ini pula yang menjadikan sistem demokrasi sarat akan pertentangan, permusuhan, dan kebinasaan. Para elite politik yang bersekongkol dengan para cuan untuk mempertahankan kekuasaan, tidak akan pernah benar-benar sejalan dengan kepentingan rakyat banyak. Lalu bagaimana caranya agar #IndonesiaGelap berubah menjadi #IndonesiaTerang?
Patutlah bangsa ini kembali kepada fitrahnya dengan memilih jalan kebenaran yang sahih. Kebenaran hakiki tidak lain adalah nilai-nilai kebenaran yang diarahkan oleh Sang Pencipta, bukan hawa nafsu semata. Dari sini wajar jika kemudian Allah Swt. mencela manusia yang menghamba kepada hukum dan sistem selain dari-Nya. Allah Swt. berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah: 50).
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar