Tentara dan Negara Berkibar dengan Ideologi yang Benar

 



Rini Sarah

 

#Wacana — Presiden Prabowo Subianto mengingatkan jajaran TNI dan Polri bahwa jika negara akan diserang, maka institusi keamanan dan pertahanan akan dilemahkan terlebih dahulu. Lebih jauh presiden mengatakan bahwa tentara dan polisi adalah bagian dari suatu negara yang memiliki kekuasaan khusus. Tentara dan polisi diberi kekuasaan oleh negara untuk memegang monopoli fisik—monopoli senjata (cnbc.indonesia.com, 30/1/2025).

 

Presiden juga mengatakan bahwa TNI dan Polri merupakan simbol dari penegakan kedaulatan dan wujud eksistensi negara, beserta aturan resminya. Tidak lupa, beliau juga mengingatkan bahwa TNI dan Polri digaji oleh rakyat dan sudah seharusnya mengabdi pada rakyat.

 

Dari pengarahan presiden, bisa kita simpulkan bahwa keberadaan dan fungsi TNI-Polri merupakan hal krusial bagi negara. Bahkan, menjadi indikator bagi kedaulatan dan keberhasilan sebuah negara. Sehingga, menjadi kewajaran bagi sebuah negara untuk memperkuatnya. Lalu, bagaimanakah cara agar TNI-Polri (Institusi pertahanan dan keamanan) menjadi kuat?

 

Penyebab Kelemahan

 

Indonesia adalah negara kepulauan dengan posisi yang strategis. Sebanyak 40% jalur perdagangan melewati Indonesia. Selat Malaka bahkan menjadi selat tersibuk dalam jalur perdagangan yang menghubungkan Asia dan Eropa. Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan alam yang sangat banyak. Kondisi ini membuat Indonesia membutuhkan sistem pertahanan yang didukung oleh keamanan dalam negeri yang kuat.

 

Hanya saja, kondisi militer kita belum bisa dikatakan kuat apalagi terkuat. Dalam survei yang dilakukan oleh Lowy Institute, lembaga survei mengenai performa militer suatu negara yang berasal dari Australia, kita mendapat skor 22 dari 100. Alutsista kita juga kondisinya terbatas dan banyak yang sudah uzur. Hal ini terlihat dari pengeluaran militer pada tahun 2024 kita yang sebesar $16,8 milliar. Ini sangat jauh bila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang mengeluarkan $939 milliar per tahun 2024. Bahkan, dengan negara yang luasnya jauh lebih kecil dari Indonesia yaitu Singapura, pengeluaran Indonesia tidak beda jauh. Selama 2024 Singapura telah berbelanja alutsista sebesar $13 miliar (lowyinstitute.org). Sebagai gambaran fakta, Indonesia dengan wilayah lautan yang sangat luas hanya memiliki 4 kapal selam pascatenggelamnya KRI Nanggala-402. Idealnya menurut Beni Sukadis, Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LSPSSI), Indonesia butuh 10 hingga 12 kapal selam. (kompas.com, 28/4/2021)

 

Dalam dunia militer tentu saja tidak hanya kekuatan alutsista yang berperan, tetapi juga sumber daya manusianya alias para tentara. Kabar mencengangkan pernah datang dari korps berseragam loreng hijau ini, dilaporkan 4000 anggota TNI terlibat judi online (kompas.com, 17/7/2024) hingga ada tindak pidana yang dilakukan oleh tentara seperti membunuh, menganiaya warga, tindak asusila, dan lain sebagainya. Personil baju coklat pun sepertinya tidak jauh berbeda. Heboh lagu dari grup band Sukatani seakan makin menelanjangi.

 

Jika merujuk pendapat Prof. Fahmi Amhar, kualitas tentara kita hingga menjadi seperti demikian dikarenakan negara gagal mewujudkan berbagai infrastruktur non teknologi, yaitu pertama, infrastruktur ruhiyah (akidah dan ibadah). Ini menjadikan tentara, polisi, atau warga negara sipil akan menyadari dan selalu memposisikan bahwa dia adalah hamba Allah. Hidup hanya untuk mencari rida Allah. Mereka memiliki tujuan dan pegangan hidup yang jelas yaitu mabda Islam. Hingga  mereka tidak cinta dunia dan takut mati.

 

Infrastruktur kedua adalah infrastruktur syakhsiyah. Setiap muslim akan menempa diri menjadi individu bertakwa, kuat, berakhlak mulia, dan profesional dalam bekerja. Dengan itu semua mereka bisa memberi manfaat terbaik kepada umat.

 

Oleh karena itu, individu muslim akan senantiasa semangat mempelajari ilmu pengetahuan maupun tsaqofah. Untuk melatih fisik, kaum muslim akan senantiasa belajar dan berlatih olahraga ketahanan tubuh maupun bela diri, seperti berenang, berkuda, memanah, silat, dsb.

 

Terakhir, infrastruktur jama’ah. Kaum muslim bagaikan satu tubuh. Satu sama lain akan saling menjaga dan merasa menjadi bagian dari masyarakat Islam, sehingga mereka terus melakukan tarbiah, muamalah syar'iyah, dakwah, amar makruf nahi mungkar, dan jihad.

 

Itulah tiga infrastruktur penting dalam membangun militer dan kepolisian yang kuat. Sedangkan teknologi merupakan pendukung dalam membuat seluruh infrastruktur tadi berjalan makin efektif dan efisien (fahmiamhar.com). Jika semua berhasil diwujudkan dan disinergikan maka tentara dan polisi kuat itu bukanlah perkara mustahil kita dapatkan.

 

Saat ini, itu semua tidak ada. Sekarang, negara ini justru menyerahkan pengurusan urusan kehidupannya kepada ideologi kapitalisme sekuler. Hasilnya, kualitas keimanan rendah, karakter lemah, dan hobi memperkaya diri. Pejabatnya pun memandang pertahanan tidak lebih penting dari keuntungan ekonomi. Seperti penyataan di laman cnbcindonesia.com, 19/9/2023, Luhut Binsar Panjaitan yang menyatakan Indonesia tidak perlu jadi super power dalam militer dan lebih menyorot bagaimana potensi ekonomi kelautan.

Sayang sekali! Jika penguasanya seperti ini, maka kalaupun alutsista dan teknologi penunjang perang lain lengkap, maka akan jadi ajang pameran saja.

 

Visi Ideologi yang Benar

 

Visi ideologi yang benar memang diperlukan bagi pembangunan militer dan kepolisan yang tangguh. Jika salah menerapkan visi ideologi, maka perkara militer dan kepolisian ini akan senantiasa ditimbang oleh ekonomi—untung rugi secara materi—akan senantiasa jadi penentu dalam setiap keputusan. Walhasil, bisa jadi anggaran seret atau yang lebih parah TNI dan Polri hanya jadi alat untuk memperlancar kepentingan ekonomi para oligarki, seperti terjadi pada kasus Rempang, Wadas, atau pencabutan pagar laut Tangerang.

 

Dalam ideologi Islam, militer dan kepolisian mempunyai visi dakwah dan jihad untuk menyebarkan Islam rahmatanlilalamin ke seluruh dunia dan mewujudkan keamanan dalam negeri hingga terwujud rasa aman bagi rakyat, lalu militer pun tidak disibukkan membantu keamanan dalam negeri hingga tugasnya menjaga perbatasan negara dan membebaskan negeri lain dari kekufuran menjadi terbengkalai. Selain Islam mewujudkan infrastruktur non teknologi yang telah diuraikan di atas, Islam juga akan memperkuat teknologi beserta persenjataan yang menunjang fungsi dari kedua korps ini.

 

Hal ini sejalan dengan perintah Allah dalam surat al-Anfal ayat 60 yang artinya: "Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).”

 

Oleh karenanya, kaum muslim harus senantiasa mempersiapkan alutisista dan membentuk tim untuk meriset perkembangannya. Jika kita telaah sirah Nabi dan sejarah Kekhilafahan, kita akan menemukan bagaimana tradisi ini terus terpelihara hingga berhenti pada tahun 1683 ketika tentara Khilafah Utsmani gagal menaklukkan Wina, Austria karena salah strategi, padahal waktu itu persenjataan Khilafah Utsmani masih di atas persenjataan Eropa. Jihad dinyatakan reses, lalu perekayasa persenjataan pun terhenti.

 

Jihad tidak boleh berhenti. Dengannya kaum muslim menjadi senantiasa bersemangat untuk mengembangkan berbagai teknologi perang. Pada masa Rasulullah, beliau telah memerintahkan Salman al-Farisi untuk membuat senjata pelontar Manjanik dan ”tank” Dababah. Lalu, Rasulullah pun pernah mengirim sahabat ke Cina untuk mempelajari cara membuat mesiu yang digunakan Cina membuat kembang api.

 

Pada tahun 1228, laporan independen Prancis melaporkan bahwa pasukan kaum muslim telah menggunakan bahan peledak untuk mengalahkan pasukan Ludwig IV dalam perang Salib. Bahan peledak itu dimasukkan dalam pot-pot tembikar yang dilontarkan oleh katapel raksasa. Ibnu Khaldun juga menulis bahwa penggunaan meriam telah dimulai oleh Abu Yaqub Yusuf dalam penaklukan kota Sijilmasa. Namun, penggunaan meriam super dengan diameter 762 mm dan berat 680 kg terjadi pada tahun 1453 ketika Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel. Lalu, pada tahun 1582, Fathulah Shirazy, ahli matematika Persia-India yang bekerja kepada Dinasti Mughal, menemukan senapan mesin.

 

Teknologi perang dalam Khilafah terus berkembang dan menjadi momok bagi kaum kafir hingga jihad dinyatakan reses. Jika jihad berhenti, akibatnya fatal sekali. Tentara lesu, perkembangan teknologi perang mengalami stagnasi. Maka tidak heran, pada abad ke-18, kaum muslim kalah dari Napoleon Bonaparte yang menaklukkan Mesir. Saat itu, teknologi meriam Prancis berhasil mengungguli meriam Khilafah yang inovasinya telah terhenti selama satu abad!

 

Hikmahnya, sangat penting untuk berpegang teguh dengan keyakinan penuh pada tali agama Allah (mabda Islam) dan disiplin dalam implementasinya. Karena, hanya dengan menjalankan ideologi (mabda) yang benar, pertahanan dan negara akan berkibar. Allahu Akbar!

Posting Komentar

0 Komentar