Meita Latifah
#Wacana — Pajak di Indonesia menjadi elemen utama pendapatan negara dan daerah, termasuk Provinsi DKI Jakarta. Menurut Sri Mulyani, pajak menjadi tiang utama pembangunan semua sarana dan prasarana (tempo.co, 15/7/2024). Maka, wajar jika setiap tahun kenaikan pajak menjadi isu penting pemerintah pusat maupun daerah hingga memenuhi opini jagat media massa.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan pajak 2025 sebesar Rp48 triliun, lebih tinggi dari tahun 2024 sebesar Rp44,98 triliun. Tentu saja Pemprov DKI Jakarta berharap target ini dapat dicapai melihat tren positif realisasi penerimaan pajak di tahun 2023 dan 2024 yang lalu. Menurut Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Prov DKI Jakarta mencatat realisasi penerimaan pajak daerah tahun 2024 sebesar Rp44,46 triliun atau mencapai 98,85% dari target yang ditetapkan sebesar Rp44,98 triliun, sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2023 sebesar Rp43,52 triliun.
Kepala Bapenda DKI Jakarta, Lusiana Herawati mengatakan bahwa Pajak Kendaraan Bermotor serta Pajak Bumi dan Bangunan menjadi kontributor terbesar penerimaan pajak. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari berbagai langkah strategis, termasuk pemutakhiran data objek pajak, penagihan pajak secara intensif, serta penguatan sistem digital untuk memudahkan bayar pajak.
Adapun kontributor pajak terbesar 2024 yang dilansir dari Kompas.com (7/1/2025) adalah: (1) Pajak Kendaraan Bermotor 9,65 triliun (104,7%); (2) Pajak Bumi Bangunan 9,96 triliun(99,6%); (3) Bea Balik Nama KB 6,64 triliun (106,2%); (4) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 6,1 triliun (76,3%); (5) Pajak Rokok 883,98 miliar (98%).
Dengan keberhasilan capaian target pajak yang ditetapkan Provinsi DKI Jakarta berarti pendapatan Pemerintah Daerah DKI pun sesuai target, sehingga harapannya program-program pemerintah dapat dijalankan.
Tapi faktanya penetapan pajak kepada masyarakat justru menjadi beban. Dalam struktur ekonomi Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) dan adanya beban pajak atau kenaikannya akan memengaruhi konsumsi masyarakat karena beban pajak perusahaan dialihkan ke konsumen. Sehingga, masyarakat yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan hariannya menjadi lebih berat. Terlebih lagi, jika mencermati apa yang disampaikan Kepala Bapenda DKI Jakarta, Lusiana Herawati bahwa kontributor pajak tertinggi adalah dari Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bumi Bangunan. Menurut Polda Metro Jaya jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta mencapai 24 juta unit dan 83%-nya adalah motor.
Tercatat dari data Menteri Perhubungan, pertambahan jumlah kendaraan roda dua perhari 3000—4000 unit (Kompas.com, 6/5/2024). Terus bertambahnya jumlah kepemilikan kendaraan roda dua karena motor dianggap masyarakat sebagai transportasi andalan, lebih hemat bahan bakar, mudah cara pembeliannya—dengan kredit serta dapat menjangkau tujuan dengan lebih cepat. Bertambahnya pembelian juga disebabkan menjamurnya ojek online. Ini berarti, kian bertambahnya jumlah kendaraan bermotor memberi keuntungan untuk pemasukan Pemda DKI. Namun, pemasukan itu membebani rakyat karena harus mengeluarkan uang lebih banyak tiap tahunnya untuk membayar pajak pada barang yang menjadi kebutuhan penting masyarakat. Belum lagi, pungutan pajak dari barang-barang yang lain, seperti PBB, bea balik nama, PPN, dll. Semuanya itu menjadi beban kesulitan rakyat. Belum lagi adanya kebocoran dan inefisiensi anggaran pemerintah yang terjadi setiap tahunnya.
Seharusnya, pemerintah hadir untuk melayani dan memberi kemudahan pada masyarakat dalam menjalani kehidupannya, bukan malah membebani dengan berbagai pungutan pajak, demi kemudahan mendapatkan pemasukan pendapatan negara/daerah.
Paradigma yang dipahami pemerintah dan masyarakat sekarang bahwa keberhasilan penerimaan pajak akan mendorong keberhasilan terwujudnya program pemerintah untuk menyejahterakan rakyat. Nyatanya, asumsi itu sangat bertentangan dengan realitas. Pajak dalam sistem kapitalisme justru menjadikan kehidupan rakyat terpuruk.
Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama APBN/D. Pajak seperti yang diterapkan sistem kapitalisme hukumnya haram. Penguasa dalam sistem Islam adalah pelayan/pengurus rakyat maka tidak boleh dia memaksa rakyatnya dengan berbagai pungutan pajak. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR Bukhari dan Muslim)
Pemerintah dalam Islam memiliki tugas dan tanggung jawab melayani semua kebutuhan dasar rakyat (sandang, pangan, papan) maupun kebutuhan rakyat yang sifatnya kolektif (pendidikan, kesehatan, keamanan). Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak akan memungut Pajak Kendaraan Bermotor dan PBB yang merupakan kontributor penerimaan pendapatan terbesar Pemprov DKI Jakarta saat ini. Justru kondisi ini membuat rakyat sengsara. Alih-alih mendapat fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup yang merupakan hak rakyat justru malah dibebani.
Sistem Islam memiliki mekanisme untuk memenuhi kebutuhan negara dalam mengurusi rakyatnya. Pendapatan negara diperoleh dari beberapa sumber, salah satunya adalah dari pengelolaan harta milik umum (tambang, hutan, laut). Sesungguhnya, Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, dengan eksplorasi yang sahih menggunakan aturan Islam sebagai ketundukkan pada aturan Allah, maka kesejahteraan dan keberkahan akan dapat dicapai. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar