Tower Telekomunikasi Harus Dikelola Negara, Bukan Swasta!


Susi Ummu Zhafira

#Bekasi — Semestinya, pembangunan sarana telekomunikasi melahirkan kemudahan, kemaslahatan, dan ketenteraman bagi masyarakat. Sayangnya, dalam sistem sekuler kapitalisme, yang terjadi justru sebaliknya. Ketakutan dan kekhawatiran akan bahaya yang mengancam justru mengintai mereka. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Lantas, seperti apakah konsep pembangunan telekomunikasi dalam perspektif Islam?

Sebagaimana dikutip dari Kompas.com (31/01/2025), banyak warga di Perumahan Telaga Emas, Kelurahan Harapan Baru, Bekasi Utara, Kota Bekasi, terpaksa menjual rumahnya. Hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran akan paparan radiasi dan risiko ambruk pascapendirian sebuah tower telekomunikasi. Apalagi, tower dengan tinggi 31 meter tersebut dibangun di atas salah satu rumah berlantai dua milik warga di kawasan padat penduduk.

Sejak awal, warga sudah menolak berdirinya tower, yakni setelah tower ini dibangun, tepatnya pada bulan Agustus tahun 2023 lalu. Akan tetapi, tower tetap berdiri di wilayah tempat tinggal mereka. Tower tersebut diduga milik salah satu perusahaan swasta yang menjalin kerja sama dengan pemilik rumah sejak dua tahun lalu.

Kecemasan mereka makin menjadi setelah adanya kejadian nahas yang belum lama ini terjadi di Desa Karang Satria, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Seorang pekerja tewas akibat tertimpa coran penyangga tower yang runtuh di sebuah musala pada Senin (27/1) lalu. Apalagi, sepintas diperhatikan, struktur bangunan tower yang ambruk tersebut mirip dengan tower di wilayah mereka.

Sebenarnya, pembangunan menara telekomunikasi di area perumahan di negeri ini diperbolehkan, meskipun harus mematuhi berbagai peraturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Seperti Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 02/Per/M.Kominfo/03/2008 yang mengatur pembangunan dan penggunaan bersama menara telekomunikasi dengan tujuan untuk memastikan efisiensi penggunaan ruang dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar.

Begitu juga dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2009 yang menetapkan pedoman teknis untuk pembangunan dan penggunaan bersama menara telekomunikasi. Bahkan, di dalamnya termasuk persyaratan keselamatan dan terpenuhinya aspek estetika. Selain itu, juga terdapat peraturan daerah yang mengatur pembangunannya di wilayah masing-masing.

Selain itu, mestinya ada sosialisasi yang dilakukan oleh pihak terkait sebelum dilakukan pembangunan tower. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Kominfo No. 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 yang mengatur bahwa pembangunan menara telekomunikasi harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial.

Dengan demikian, sudah seharusnya masyarakat punya hak untuk menolak, apalagi jika mereka memiliki dasar hukum yang kuat, misalnya tidak ada sosialisasi atau persetujuan warga. Untuk itu, mereka bisa menolak dengan menempuh jalur administratif atau hukum untuk menghentikan atau membatalkan pemasangan tower. Namun, jika melihat kebijakan pada sistem hari ini, ketika izin sudah sah dan sesuai peraturan, warga bisa melakukan negosiasi untuk mendapatkan kompensasi atau solusi lain.

Sayangnya, dengan perspektif sistem ekonomi kapitalistik liberal, keberadaan tower telekomunikasi akhirnya menjadi sumber keresahan bahkan petaka bagi masyarakat. Bagaimana tidak, perusahaan swasta diberikan kewenangan untuk menguasai bagian penting sistem komunikasi bagi masyarakat. Sudah menjadi hal wajar akhirnya pembangunannya semata-mata untuk kepentingan bisnis, menguntungkan segelintir pihak, dan merugikan masyarakat.

Negara sebagai pengurus urusan umat seolah lepas tangan, membiarkan sektor strategis yang menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat dikelola oleh swasta. Meski telah ada regulasi yang mengaturnya, tetapi ketika perspektif yang dipakai adalah untung rugi ala kapitalisme, maka keselamatan dan ketenteraman masyarakat dikesampingkan. Hal ini merupakan bentuk kezaliman.

Terlebih jika keberadaannya berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam al-Shakhsiyyah al-Islamiyyah (Jilid II), syariah Islam telah menetapkan hifzhun nafs (perlindungan jiwa) sebagai salah satu maqashid syariah yang harus dijaga oleh negara.

Oleh karena itu, pemasangannya di area padat penduduk harus dihentikan hingga benar-benar dipastikan bahwa tidak ada mudarat yang ditimbulkan. Namun, jika belum ada bukti ilmiah yang jelas tentang bahayanya, tetapi ada keresahan masyarakat, maka negara pun wajib menenangkan mereka dengan kebijakan berbasis syariat, bukan sekadar kepentingan bisnis atau regulasi kapitalis.

Ketika masyarakat menolak, maka negara pun wajib mempertimbangkan keberatan mereka. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani pun menjelaskan bahwa lingkungan yang dihuni oleh masyarakat tidak boleh dijadikan objek eksploitasi tanpa izin warga. Maka, hak warga dalam Islam lebih tinggi dibandingkan kepentingan korporasi. Jika tower dipaksakan dengan dalih regulasi negara yang berbasis sistem kapitalisme, ini menandakan adanya pengabaian terhadap prinsip-prinsip Islam dalam pengelolaan fasilitas umum.

Selanjutnya, berdasarkan kitab Nizhamul Iqtishadi fil Islam, Taqiyuddin an-Nabhani menekankan bahwa sumber daya dan fasilitas publik harus dikelola oleh negara sesuai dengan hukum Islam. Menara telekomunikasi termasuk dalam kategori infrastruktur vital bagi masyarakat, maka penggunaannya harus diatur dalam kerangka hukum kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah). Oleh karena itu, menara telekomunikasi seharusnya dikelola oleh negara dengan tujuan kemaslahatan umat, bukan oleh perusahaan swasta demi keuntungan bisnis.

Untuk itulah, masalah pembangunan tower telekomunikasi ini tidak bisa hanya dilihat dari aspek teknis atau regulasi modern ala kapitalis, tetapi harus dikembalikan kepada hukum Islam yang mengatur kepemilikan, pengelolaan infrastruktur, serta perlindungan jiwa dan hak-hak warga. Dengan begitu, pembangunannya akan didasarkan pada sistem Islam yang menerapkan syariat secara kafah. Sistem ini akan memastikan bahwa teknologi dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, bukan sekadar alat eksploitasi atau bahkan sumber bahaya bagi rakyat.[]

Posting Komentar

0 Komentar