Siti Rima Sarinah
#Bogor — Hujan adalah sebuah keberkahan yang Allah Swt. turunkan untuk semua makhluk di muka bumi ini. Sebab, bukan hanya manusia yang membutuhkan air, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam semesta pun membutuhkannya. Ketiadaan air dalam kehidupan bisa mengakibatkan semua makhluk hidup akan mati. Namun mengapa sering kali hujan yang diturunkan untuk memberikan penghidupan, justru dianggap sebagai penyebab terjadinya musibah seperti banjir dan tanah longsor?
Kota Bogor yang dikenal sebagai Kota Hujan, memiliki curah hujan yang sangat tinggi. Saat musim hujan, hampir setiap hari hujan mengguyur kota ini. Hal inilah yang mengakibatkan banjir dan tanah longsor kerap kali terjadi. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bogor, Hidayatullah mengatakan ada 11 laporan bencana akibat hujan deras. Ada delapan titik di antaranya tanah longsor yang menyebabkan 4 rumah mengalami kerusakan. Kejadian ini terjadi di 4 kecamatan dan tidak ada korban luka dalam peristiwa tersebut. (detikmews, 03/03/2025)
Kondisi terparah adalah terjadinya longsor di Batu Tulis, Bogor Selatan, yang merupakan jalan utama yang ramai. Selain itu, pohon tumbang juga sering terjadi kala hujan turun disertai angin kencang. Secara geografis Kota Bogor dengan curah hujan yang tinggi dan ekstrem dipadukan dengan kontur wilayah berbukit dan bergelombang menjadikan Kota Bogor rawan terjadi bencana hidrometeorologi (perubahan iklim dan cuaca). Benarkah faktor ini yang mengakibatkan bencana alam sering kali menyapa Kota Bogor?
Pada dasarnya perlu kita pahami bahwa Allah Swt. menciptakan alam dan kehidupan dengan bentuk dan kondisi yang sempurna. Manusia yang diamanahkan sebagai khalifah fil ard seharusnya mampu mengelola alam sesuai dengan aturan yang dikehendaki oleh Pemilik alam semesta, yakni Allah Swt.. Namun sayangnya, seperti yang kita lihat saat ini, justru peraturan yang dibuat oleh manusialah yang mengakibatkan kerusakan alam dan terjadi berbagai bencana alam. Bogor sebagai kota wisata dengan panorama alam yang indah, secara masif diubah dan dilakukan pembangunan untuk tujuan wisata dan pemukiman mewah. Tanpa memperhatikan bahwa pembangunan tersebut akan mengganggu keseimbangan alam.
Inilah akibatnya apabila standar pembangunan berasaskan sistem kapitalisme. Sistem yang hanya melihat pembangunan dari satu arah pandang yaitu meraih kemanfaatan materi semata. Terlebih lagi Kota Bogor menjadikan pariwisata sebagai pendapatan asli daerah, sehingga akan melakukan berbagai cara agar sektor pariwisata ini dapat menopang perekonomian daerah. Pembangunan dibiarkan dilakukan secara serampangan. Tatkala terjadi cuaca ekstrem, beberapa titik rawan tidak mampu bertahan dan mengakibatkan berbagai macam bencana. Entah abai atau memang karena ada penyimpangan dana sehingga infrastrukturnya asal jadi. Pembangunan infrastruktur yang asal jadi inilah yang mengakibatkan longsor ataupun banjir. Bencana ini tentu berdampak pada masyarakat sekitar. Lagi dan lagi, rakyatlah yang harus menjadi korban dari kesalahan tata kelola pembangunan ala kapitalistik.
Selayaknya, pembangunan infrastruktur harus memperhatikan kontur tanah, kualitas material jalan dan saluran air, agar saat hujan turun tidak terjadi banjir dan longsor. Harus diperhatikan lahan yang digunakan untuk pembangunan tersebut termasuk lahan hijau atau bukan. Apabila termasuk lahan hijau maka tidak boleh ada pembangunan di lahan tersebut. Contohnya hutan sebagai lahan hijau yang sangat berfungsi sebagai resapan air saat hujan turun dan sebagai paru-paru kota. Maka hutan tidak boleh dialihfungsikan dengan alasan apa pun.
Di sinilah seharusnya negara berperan untuk membuat regulasi pembangunan yang sesuai dengan peruntukannya. Pembangunan infrastruktur tidak boleh menghambat saluran air sehingga tatkala hujan turun tidak menyebabkan banjir atau tanah longsor. Maka pemerintah wajib membuat gorong-gorong untuk saluran air agar tidak meluap. Begitu pun dengan pemeliharaan saluran air agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya tidak ada endapan tanah pada saluran air, tidak ada bangunan atau pedagang yang membuka lapak di atas saluran air, dan lainnya. Artinya negara bukan hanya membuat regulasi, melainkan juga negara benar-benar menjalankan tugasnya sebagai penanggung jawab atas urusan rakyatnya. Sehingga rakyat merasa aman dan nyaman tanpa khawatir terjadi banjir ataupun longsor.
Seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab dalam kisah kepemimpinan yang sangat masyhur. Tatkala Umar bin Khattab mendengar laporan ada seekor keledai yang terperosok di wilayah Baghdad karena jalan yang berlubang, peristiwa ini membuat Umar menangis dan merasa sangat bersalah. Umar berkata, "Bagaimana aku akan mempertanggungjawabkan di hadapan Allah terkait nasib keledai ini?” Kisah ini menunjukkan kepada kita betapa seriusnya Khalifah Umar dalam mengemban amanah sebagai pemimpin. Bukan hanya rakyat yang dilayani bahkan seekor keledai pun diurusi.
Adakah potret pemimpin seperti Umar bin Khattab tampak dalam penguasa kaum muslim hari ini? Jawabannya tentu tidak. Potret pemimpin hari ini adalah potret pemimpin abai dan zalim kepada rakyat. Rakyat mendapatkan musibah banjir dan longsor justru karena kesalahan dari kebijakan penguasa yang bertahta hari ini. Demi harta dan jabatan, kepentingan rakyat senantiasa diabaikan. Hal ini tak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini.
Maka, kita tidak bisa berharap pada penguasa yang tidak memiliki kepekaan terhadap nasib rakyat yang notabene merupakan tanggung jawabnya. Inilah urgensitas menghadirkan pemimpin bervisi akhirat di tengah umat. Yang menjalankan amanahnya semata-mata menginginkan keridaan dan pahala dari Allah Swt.. Berbekal landasan ketakwaan dan keimanan inilah selama berabad-abad lamanya umat manusia hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran. Hal ini bisa terwujud hanya dalam sistem Islam kafah dalam naungan Khilafah. Rakyat makmur sejahtera dan Allah pun rida dengan memberikan keberkahan bagi umat manusia. Wallahua'lam.
0 Komentar