Azizah Nur Fikriyyah
#Jakarta — Banjir
kembali melanda Jabodetabek, dengan salah satu kejadian terparah di
Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang terendam hingga 3,5 meter. Banjir di
Jabodetabek bukan hanya menyebabkan kerugian materi, tetapi juga mengancam
keselamatan dan kesehatan warga. Ribuan rumah terendam, kendaraan rusak, dan
aktivitas ekonomi lumpuh. Selain itu, genangan air meningkatkan risiko penyakit
seperti diare, leptospirosis, dan infeksi kulit akibat air yang tercemar. (detikNews.cim, 04/03/2025)
Peristiwa ini bukan sekadar bencana musiman, melainkan pola
yang terus berulang, menandakan bahwa strategi penanggulangan yang ada masih
belum efektif.
Akar Permasalahan
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya seperti
pembersihan selokan dan normalisasi sungai, tetapi banjir tetap terjadi. Ini
karena akar masalahnya lebih dalam, yaitu alih fungsi lahan yang tidak
terkendali dan buruknya tata kelola kota. Wilayah resapan air terus berkurang
akibat pembangunan permukiman dan kawasan komersial, sehingga daya serap tanah
menurun drastis. Ditambah dengan sistem drainase yang tidak memadai, air hujan
yang seharusnya terserap malah mengalir deras ke pemukiman warga.
Salah satu penyebab utama banjir di Jabodetabek adalah
konversi lahan hijau menjadi area bangunan tanpa memperhitungkan dampak ekologis. Data dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa lebih dari 40% daerah
resapan air di Jakarta telah berubah fungsi dalam dua dekade terakhir. Tanpa
daerah resapan yang cukup, air hujan yang turun dalam jumlah besar langsung
menggenangi kawasan pemukiman.
Walaupun pemerintah telah membersihkan selokan dan
memperbaiki saluran air, sistem drainase di Jabodetabek masih belum mampu
menampung curah hujan tinggi. Banyak saluran air tersumbat sampah dan lumpur,
sementara beberapa daerah mengalami penurunan tanah, menyebabkan air sulit
mengalir ke laut. Dalam kasus banjir Pesanggrahan, Kali Pesanggrahan meluap
karena tidak mampu menampung volume air dari hulu.
Pembangunan waduk dan normalisasi sungai sering kali
terhambat sengketa lahan dan keterbatasan anggaran. Contohnya, pada tahun 2022,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan pembangunan 1,8 juta sumur resapan,
tetapi hingga akhir 2023, hanya sekitar 200.000 yang terealisasi, dan sebagian
besar tidak berfungsi optimal. Ini menunjukkan bahwa kebijakan mitigasi yang
ada masih bersifat parsial dan tidak berkelanjutan.
Perspektif Islam: Kegagalan Tata Kelola sebagai Sumber
Masalah
Banjir yang terus berulang bukan sekadar fenomena alam,
tetapi juga akibat dari eksploitasi lingkungan yang tidak bertanggung jawab.
Hal ini telah diingatkan dalam Al-Qur’an:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, sehingga Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar).” (QS ar-Rum:
41)
Islam menekankan bahwa bumi adalah amanah yang harus
dikelola dengan adil dan berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pembangunan saat
ini lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan keseimbangan ekologi.
Peran Negara dalam Mengatasi Banjir dengan Kepemimpinan
Amanah
Islam mengajarkan bahwa pengelolaan bumi adalah amanah yang
harus dijalankan dengan keadilan dan tanggung jawab. Oleh karena itu, solusi
utama tidak hanya terletak pada perbaikan sistem drainase atau pembangunan
tanggul, tetapi juga pada bagaimana negara mengelola wilayahnya dengan benar
sesuai prinsip Islam.
Pertama, negara harus bertanggung jawab
penuh atas pengelolaan tata kota dan lingkungan.
Dalam Islam, negara (pemerintah) adalah pengurus rakyat yang
bertanggung jawab dalam memastikan kesejahteraan mereka. Rasulullah saw. bersabda, "Seorang imam
(pemimpin) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan
dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR Bukhari dan Muslim)
Negara harus memastikan kebijakan pembangunan tidak
semata-mata mengejar kepentingan ekonomi jangka pendek, tetapi juga
memperhatikan keseimbangan ekologi. Artinya, tidak boleh ada alih fungsi lahan
yang merusak daerah resapan air, pembangunan harus memperhitungkan daya dukung
lingkungan, dan mitigasi bencana harus bersifat proaktif, bukan sekadar
reaktif.
Kedua, pemimpin harus amanah dan menggunakan
sistem kepemimpinan yang benar sebagai pertanggungjawaban kepada Allah
Swt. serta rakyatnya.
Allah berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَن تُؤَدُّوا ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ
أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ
"Sungguh,
Allah menyuruh kamu menyampai kan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya
dengan adil." (QS an-Nisa:
58)
Sistem kepemimpinan Islam mengajarkan bahwa pemimpin
bukanlah penguasa yang semena-mena, melainkan pelayan bagi rakyat. Maka, dalam
konteks pengelolaan kota dan lingkungan, seorang pemimpin yang berpegang teguh
pada aturan Islam akan memastikan:
(1) pembangunan
infrastruktur dilakukan dengan prinsip keberlanjutan;
(2) daerah
resapan air tidak dialihfungsikan secara sewenang-wenang;
(4) regulasi
lingkungan ditegakkan dengan ketat tanpa intervensi kepentingan ekonomi
kapitalis;
(5) masyarakat
dilibatkan dalam upaya menjaga lingkungan secara kolektif.
Saatnya Perubahan Sistemik
Persoalan mengatasi banjir hanyalah satu dari sekian
kemaslahatan umat yang menjadi tanggung jawab kepala negara. Selayaknya seorang
pemimpin muslim menyadari bahwa ia tidak hanya bertanggung jawab kepada rakyat,
tetapi juga akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Allah Swt. berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ
أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
"Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
(QS al-Ma'idah: 45)
Secara totalitas, pengurusan kesejahteraan rakyat harus
dibangun berdasarkan kesadaran ini dan berjalan sesuai dengan koridor
syariat-Nya. Karena di dalam syariat Allah ada kemasalahatan bagi manusia dan
hanya syariat-Nya saja yang bebas dari konflik kepentingan pribadi penguasa
ataupun pengusaha. Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar