Bekasi Digulung Banjir Akibat Alih Fungsi Lahan Kronis

 



Irawati Tri Kurnia

 

#Bekasi — Menyedihkan. Kemarin Bekasi mengalami bencana banjir yang sangat parah, yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Sekian rumah terendam, banyak warga yang mengungsi. Bahkan ada yang sebelumnya belum pernah mengalami banjir, kali ini menjadi korban juga.

 

Ada tujuh dari dua belas kecamatan di Kota Bekasi yang terdampak banjir awal Maret ini. Yaitu Jatiasih, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bantar Gebang, Pondok Gede, dan Rawa Lumbu. Sedangkan sisanya tidak terkena dampak banjir.

 

Banjir ini diakibatkan hujan deras sejak Senin, 3 Maret 2025 sampai Selasa pagi, 4 Maret 2025 sehingga meningginya debit air sungai. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat warga yang terdampak banjir Jabodetabek sekitar 119.206 jiwa (bisnis.com, 05/03/25).

 

Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menyampaikan bahwa Kota Bekasi akan terus terancam banjir, jika tidak berupaya untuk membenahi aliran sungainya. Karena banjir yang melanda Bekasi dampak dari perubahan penataan sungai yang berubah seiring perubahan tata ruang Bekasi, dari awalnya area sawah menjadi perumahan (kompas.com, 05/03/25).

 

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, M. Iqbal Damanik menyampaikan bahwa banjir yang terjadi pada Selasa (4/3) di Jabodetabek terutama yang paling parah terjadi di sepanjang aliran sungai Cileungsi, Cikeas, dan Kali Bekasi akibat alih fungsi lahan.

 

Alih fungsi lahan menjadi problem utama penyebab terjadinya banjir, di mana mayoritas sawah telah berubah menjadi perumahan. Ini karena Bekasi menjadi wilayah penyangga Jakarta. Hal ini mengakibatkan banyak orang berdatangan untuk mencari pekerjaan atau pun berbisnis, sehingga mereka banyak yang mencari tempat hunian di wilayah Bekasi sebagai alternatif karena dekat Jakarta dengan harga lebih terjangkau dan jarak tempuh yang tidak lama.

 

Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Jika orang banyak yang mencari tempat hunian di Bekasi, maka banyak bermunculanlah perumahan dan properti kos-kosan. Para pengusaha real estate dan properti sebagai pengusaha akan memprioritaskan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka tidak peduli dengan dampak lingkungan yang mengakibatkan masifnya alih fungsi sawah menjadi perumahan warga.

 

Kapitalisme membuat pihak kapitalis (para pemilik modal, alias para pengusaha real estate) semakin nyaman dengan usahanya. Mereka melihat bisnis membuat rumah sebanyak mungkin adalah bisnis yang sangat menguntungkan. Mereka tak peduli halal haram, tak peduli menganalisis dampak perumahan yang mereka bangun, apakah merugikan rakyat dan merusak lingkungan atau tidak. Upaya amdal (analisa mengenai dampak lingkungan) tidak mereka lakukan.

 

Negara pun abai, membiarkan hal ini terus terjadi dan tidak kunjung menegakkan aturan berkaitan alih fungsi lahan ini. Pengusaha real estate dibiarkan melakukan aktivitas yang alih fungsi lahan menjadi perumahan-perumahan. Akhirnya, sawah semakin langka sebab semua dijadikan perumahan, maka air hujan yang turun pun kesulitan mencari jalan untuk mengalir tidak bisa dibuang atau ditampung. Akhirnya, terjadilah banjir yang makin parah dari waktu ke waktu.

 

Berbeda dengan Islam dalam menanggulangi banjir. Islam dengan kesempurnaannya di bawah pengaturan Khilafah, akan melarang pengalihfungsian lahan tanpa amdal. Karena faktor keamanan masyarakat dan penjagaan lingkungan menjadi prioritas utama dalam sistem Khilafah.

 

Untuk mencegah alih fungsi lahan yang ugal-ugalan, Khilafah akan menata kota dengan sangat baik; dengan pengaturan jumlah penduduk yang seimbang sehingga tidak seperti saat ini, di mana Jakarta menjadi pusat ekonomi, sedangkan kota penyangga seperti Bekasi terbebani sebagai tempat tinggal sebagian besar pekerjanya. Penting untuk menjamin distribusi kebutuhan penduduk secara merata, baik kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, serta keamanan; yang dijamin Khilafah akan ada pada setiap kota sehingga penduduk tidak akan menumpuk pada kota-kota besar saja. Karenanya, Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam sebagai penjamin pemerataan tersebut.

 

Tata kota direncanakan Khilafah dengan baik, sehingga mencegah alih fungsi lahan yang masif. Hal ini pernah dilakukan di kota-kota besar Khilafah Islam seribu tahun yang lalu. Menurut Profesor Fahmi Amhar dalam bukunya TSQ Stories: 50 Kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di Masa Peradaban Islam, 2011, menceritakan Baghdad di Irak pada seribu tahun yang lalu termasuk kota besar dunia dengan penduduk di atas 100.000 jiwa.

 

Baghdad memegang rekor kota terbesar dunia dari abad 8 sampai 13 Masehi. Namun, sebagaimana laporan para pengelana Barat, Baghdad termasuk kota yang ditata sangat rapi oleh Khilafah. Mempunyai saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah serta jalan-jalan luas yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari. Berbeda jauh dengan kota-kota Eropa pada masa itu yang kumuh, kotor, dan gelap di malam hari sehingga rawan kejahatan.

 

Setiap bagian kota Baghdad direncanakan untuk jumlah tertentu, berimbang dengan jumlah penyediaan fasilitas bagi rakyat. Ada fasilitas masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk menuntut ilmu atau bekerja. Karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar dan berkualitas standar.

 

Inilah pengaturan Islam berkaitan dengan tata kota dan alih fungsi lahan di bawah naungan Khilafah, yang akan mencegah bencana banjir akibat keteledoran ulah manusia. Wallahualam bissawab.[]

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar