Catatan Krusial Revisi UU TNI

 



Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Kontroversi Revisi Undang-Undang (RUU) No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih terus bergulir. Menanggapi politik senyap pengesahan RUU TNI, ratusan mahasiswa menggelar demonstrasi di berbagai wilayah terutama Jakarta dan Yogyakarta. Para demonstran menyatakan kekecewaan mereka kepada penguasa atas pengesahan RUU TNI menjadi UU yang dianggap berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI seperti masa Orde Baru. 


Kekhawatiran masyarakat atas pengesahan UU TNI tidaklah aneh. Pasalnya, Revisi UU TNI tersebut membuka peluang lebih besar bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian/lembaga (K/L) negara. Hal tersebut tercantum dalam revisi Pasal 47 dengan adanya penambahan  jumlah K/L negara yang dapat diisi prajurit aktif TNI dari 10 menjadi 14 K/L negara. Sebelumnya institusi negara yang boleh dimasuki anggota TNI adalah yang berkaitan langsung dengan pertahanan negara termasuk Mahkamah Agung (MA) dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Namun kini, anggota aktif TNI diperbolehkan memasuki instansi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Pengisian jabatan sipil semacam ini oleh prajurit aktif TNI dianggap dapat mengaburkan peran militer dan pemerintahan 


Tidak hanya itu, Revisi UU TNI menunjukkan adanya upaya mereduksi supremasi sipil. Perubahan dalam Pasal 7 memperluas bentuk operasi militer selain perang (OMSP), yakni menanggulangi ancaman pertahanan siber dan menjalankan evakuasi dalam kondisi darurat di luar negeri. Revisi atas Pasal 7 menunjukkan secara nyata perluasan peran militer dalam pemerintahan sipil. Terlebih pasal tersebut menguatkan koordinasi di bidang keamanan nasional dan tanggap darurat khususnya pada institusi BNPB dan BNPT. Melemahnya struktur pemerintahan sipil dengan terabaikannya supremasi sipil sebagai kontrol masyarakat terhadap militer akan makin menguatkan gaya pemerintahan militeristik di negeri ini. 


Perubahan UU TNI bisa juga kita lihat sebagai upaya mengembalikan peran sosial politik TNI melalui penambahan OMSP yang ada dalam Pasal 7. Masuknya TNI dalam sektor siber kian mengaburkan batas-batas kekuasaan tentara dalam ‘mengontrol’ keamanan dan pertahanan negara. Bahkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 UU TNI masih belum memiliki aturan turunan yang rinci terkait OMSP seperti halnya batasan ruang lingkup, transparansi, akuntabilitas hingga waktu pelaksanaan. Pada akhirnya penambahan OMSP ini kian bermasalah karena mencakup isu yang tidak berkaitan langsung dengan pertahanan negara contohnya masalah pengamanan siber, pembangunan nasional hingga masalah narkotika. 


Dari sini masyarakat kian bertanya-tanya apa urgensi pemerintah dalam pengesahan revisi UU TNI tersebut. Padahal dibanding dengan perluasan peran TNI dalam jabatan dan peran sipil masih banyak hal yang lebih mendesak termasuk penguatan sistem pengawasan publik yang makin ke sini makin sulit terkendali. Hanya saja kondisi sulitnya pengawasan publik sepatutnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk menguatkan gaya pemerintahan militeristik sebagaimana yang pernah diberlakukan di masa Orde Baru. 


Jika kita meneliti lebih jauh, secara politik revisi UU TNI diduga kuat sebagai upaya pemerintahan Prabowo untuk memperoleh dukungan TNI dalam konsolidasi politik. Seperti kita ketahui bersama bahwa Prabowo memilih untuk membangun kabinet ‘gemuk’ yang mampu merangkul suara rakyat hingga 58% pada Pilpres 2024 silam. Kondisi ini tentu saja memaksa Prabowo untuk menarik sebanyak-banyaknya elemen politik dan masyarakat. Namun, makin besar koalisi politik yang dibangun makin sulit pula konsolidasi politik tercipta. Dari sinilah kita melihat adanya kebutuhan Prabowo untuk merangkul institusi militer guna mengamankan kekuasaannya.  


Selain itu, secara sosiologis keberadaan revisi UU TNI makin menguatkan pola kepemimpinan populis-otoriter. Prabowo secara gamblang mendeskripsikan pemerintahannya dengan citra ‘merakyat’ melalui banyak program populer seperti program makan bergizi gratis (MBG) dan bantuan sosial (bansos). Namun di sisi lain, pemerintahan Prabowo juga mulai menunjukkan sikap otoriter dengan memaksakan berbagai kebijakan antirakyat semisal efisiensi anggaran 2025 dan pembentukan proyek Danantara. Oleh karenanya, wajar jika posisi TNI menjadi sangat strategis bagi pemerintahan Prabowo dalam mengamankan situasi dalam negeri. 


Apalagi revisi UU TNI adalah kebijakan ‘karbitan’ yang digodog hanya dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan. Pembahasan revisi UU TNI mengabaikan aspirasi publik dan dilakukan secara ‘senyap’. Ironisnya politik senyap tersebut justru terjadi di negeri yang mengaku sebagai negara demokrasi dan mengagungkan suara rakyat. Dari sini wajar jika banyak pihak yang melihat kebijakan tersebut hanyalah upaya penguasa dalam menjadikan TNI sebagai alat kekuasaan. 


Kejanggalan dalam ‘ketok palu’ revisi UU TNI sebetulnya sejalan dengan revisi ketiga Rancangan Undang-undang (RUU) Polri Tahun 2002. Revisi UU Polri yang dilakukan pada akhir masa jabatan pemerintahan Jokowi menguatkan peran polisi di sektor publik. Dalam revisi tersebut peran kepolisian diperluas di sektor siber sebagaimana TNI dalam revisi UU TNI dan diikutsertakan dalam pemberantasan gerakan separatis, radikal dan teroris bersama dengan TNI. Bahkan dalam Pasal 14 ayat 1 huruf O revisi UU Polri tahun 2002, kepolisian diberi kewenangan untuk menyadap institusi manapun termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 


Baik revisi UU TNI maupun UU Polri benar-benar kental dengan politik transaksional karena mengabaikan kritik dan usulan masyarakat sipil. Bahkan revisi kedua UU tersebut mencoreng etika politik karena dilakukan di periode transisi masa bakti anggota DPR periode 2019—2024 dan 2024—2029. Pada akhirnya, kedua revisi UU tersebut menjadikan kedua instansi militer negara tersebut memiliki peran intrusif (dadakan) dengan kewenangan eksesif (berlebihan) yang menguatkan sistem pemerintahan otoriter Prabowo. 


Dari sini kita bisa melihat betapa demokrasi bermuka dua. Slogan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ dapat dengan mudah dibuang tatkala berhadapan dengan krisis kekuasaan. Merangkul kekuatan militer tak jarang menjadi alternatif bagi negara pengusung demokrasi guna ‘menstabilkan’ hegemoni oligarki. Pada akhirnya, sistem pemerintahan demokrasi yang disebut-sebut bertuhankan suara rakyat tidak lebih dari sekedar alat kekuasaan yang memberi peluang penguasa untuk menerapkan kebijakan sesuai kebutuhan dan kepentingan korporasi. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar