Mitri Chan
#Bogor — Direktur Center Budget For
Analisis (CBA), Uchok Sky Khadafy mencurigai adanya indikasi korupsi dalam
proses pengadaan perangkat elektronik Smart TV untuk sekolah SD dan SMP di Kabupaten
Bogor pada tahun anggaran 2024. Ia menduga program yang menghabiskan dana Rp75
miliar ini dinilai tidak tepat sasaran dan diduga sarat dengan praktik korupsi.
(Kupas Merdeka, 08/03/2025)
Berdasarkan temuan CBA, harga satuan
perangkat elektronik yang dibeli jauh lebih mahal dibandingkan harga pasar.
Sejumlah sumber mengungkapkan bahwa pengadaan Smart TV ini dibiayai dengan
memangkas anggaran infrastruktur penting, seperti pembangunan Puskesmas. (Delik
Hukum, 08/03/2025)
Kasus ini sangat mengecewakan publik,
mengingat anggaran seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat luas.
Korupsi pengadaan barang dan jasa (PBJ) terjadi pada tahap perencanaan, yakni
penggelembungan dana (mark up) rencana pengadaan. Selanjutnya panitia
bekerja secara tertutup, tidak jujur, bahkan dikendalikan pihak-pihak tertentu.
Berbagai upaya mencegah korupsi PBJ sudah
dilakukan seperti, layanan pengaduan tindak pidana yang telah maupun akan
terjadi dalam sebuah organisasi. Pemerintah juga telah mendesain ulang struktur
organisasi pengadaan barang dan menerapkan konsep e-purchasing, yaitu
pembelian barang atau jasa melalui sistem elektronik.
Akan tetapi, berbagai upaya ini tidak
membuahkan hasil bahkan pola kecurangan pengadaan barang dan jasa marak
terjadi. Pusat Edukasi Anti Korupsi mencatat jumlahnya mencapai 339 kasus
(2004-2023); tahun lalu tercatat sebagai tahun terbanyak dengan 63 kasus.
(kpk.go.id, 06/05/2024)
Kebobrokan aparat dan birokrat tidak bisa
lepas dari penerapan hukum sekuler yang menghilangkan nilai-nilai ketakwaan
pada aktivitas politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal,
tidak merasa diawasi Allah Swt. pada diri pejabat, aparatur, dan pegawai.
Mereka hanya bersandar pada kontrol eksternal, pengawasan dari atasan,
inspektorat, dan aparat hukum. Masalahnya, mereka sama-sama sekuler sehingga
memunculkan pejabat tidak amanah. Sistem sekuler membuat orang menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok. Hal inilah yang
membuka peluang melakukan berbagai praktik kecurangan (korupsi).
Hukuman terhadap koruptor pun tidak
menimbulkan efek jera. Sistem hukum berbelit untuk membuktikan korupsi dan
banyak celah bagi koruptor untuk bisa lolos. Ketika terbukti, hukuman pun
sangat ringan, belum dikurangi masa remisi sehingga hukuman koruptor lebih
singkat. Korupsi di Indonesia mustahil diberantas karena sistem politiknya
adalah demokrasi Kapitalisme yang meniscayakan praktik korupsi.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam
(Khilafah) yang memiliki mekanisme memberantas korupsi (kuratif), bahkan
memiliki aspek pencegahan (preventif). Sistem politik Islam dibangun
berlandaskan aqidah Islam, yang melahirkan generasi beriman dan bertakwa serta
memiliki kesadaran hubungan dengan Allah Swt, sehingga selalu merasa diawasi.
Lahirlah pejabat yang amanah dalam menjalankan tugas karena akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah Swt.. Inilah kontrol internal yang terwujud pada
diri pejabat, aparatur, dan penegak hukum sehingga takut berbuat korupsi.
Negara yang berperan mewujudkan individu
bertakwa dengan mekanisme rekrutmen aparat negara berdasarkan kepribadian
Islam, serta pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya, tanpa terkecuali
seluruh masyarakat. Sehingga masyarakat memiliki kesadaran amar makruf nahi mungkar,
mengoreksi dan mengontrol penguasa.
Kalaupun korupsi terjadi, Khilafah akan
memberikan hukuman tegas dan setimpal. Hukuman koruptor tergolong ta'zir,
yaitu sanksi dan jenis kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa
mulai yang paling ringan seperti nasihat atau teguran dari hakim, penjara,
denda, pengumuman pelaku di hadapan publik, hukuman cambuk hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman
mati. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm 78—79)
0 Komentar