Danantara, Yakin Tidak Dikorupsi?




#CatatanRedaksi — Danantara menjadi isu fenomenal akhir-akhir ini, terlebih di kala kasus korupsi yang terus menggurita di negeri ini dari waktu ke waktu. Terbaru, skandal megakorupsi PT Pertamina mencapai 1 kualidriun karena terjadi sekitar lima tahun terakhir. Mengkhawatirkan, satu kata yang mungkin digambarkan di sini seolah jor-joran angka korupsi semakin membuat distrust rakyat kepada pemerintah semakin parah. Bagaimana tidak, deretan korupsi yang terjadi akhir-akhir ini semakin mencengangkan. Jika mau jujur, keraguan-keraguan itu bukan tidak berdasar. Bagaimana Danantara mempunyai peluang besar untuk dikorupsi karena kondisi yang sudah-sudah.



Dilansir dari jawapos.com (01/3/2025), Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho memperingatkan bahwa Danantara sebagai lembaga yang mengelola aset negara senilai ribuan triliun rupiah, berpotensi memiliki celah korupsi yang lebih besar dibandingkan dengan kasus-kasus sebelumnya. "Kelemahan dalam tata kelola aset negara berpotensi menjadi ladang korupsi sistemik yang merugikan rakyat dalam skala besar. Preseden-preseden korupsi di pemerintahan dan juga di BUMN, sulit membuat kita bisa percaya begitu saja pada Danantara,” ujar Hardjuno.



Menurut Hardjuno, kasus-kasus sebelumnya, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan obligasi rekapitalisasi BLBI yang bernilai lebih dari Rp1.000 triliun, meninggalkan banyak pertanyaan mengenai pemulihan aset negara. Ditambah lagi, berbagai megakorupsi di BUMN selama beberapa tahun terakhir memperlihatkan pola yang berulang. Kasus-kasus seperti korupsi dalam tata niaga timah di PT Timah dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun, serta skandal korupsi dana pensiun militer di PT Asabri yang merugikan negara Rp22,7 triliun menunjukkan betapa lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara. ”Semua kasus ini memperlihatkan bagaimana lemahnya pengawasan terhadap keuangan negara dapat menyebabkan penggerogotan aset yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat,” tambah Hardjuno.



Meskipun Pemerintah menyatakan menjamin adanya pengetatan pengawasan dan audit, tetapi seolah fakta lebih kuat menancap di pemikiran rakyat. Banyak janji-janji yang diobral di setiap rezim yang berkuasa. Namun, tetap pula terjadi aneka bentuk korupsi di setiap era rezim penguasa. Rakyat terus menjadi pihak yang harus menerima kehidupan yang makin sulit di setiap waktu karena tindakan lacur para pejabat-pejabat yang korup ini.



Maka, akankah kehidupan negeri ini hanya akan terus berjalan setiap pemerintahan berganti. Di situ pula nestapa yang sama juga terus dialami, dengan PHK di mana-mana, lapangan kerja tidak memadai, barang-barang kebutuhan pokok tidak terbeli, biaya pendidikan mencekik, dan dana kesehatan makin tinggi dengan kualitasnya masih sangat jauh dari ideal.



Tentu kita menginginkan solusi alternatif untuk hal ini, diakui/tidak kondisi sistem kapitalisme-demokrasi saat ini yang melumrahkan korupsi sebagai penyakit yang muncul akibat kongkalikong antara elite kekuasaan dan pemilik modal (perselingkuhan busuk antara pelaku politik dan oligarki). Pelaku korupsi memanfaatkan jabatannya untuk memuluskan kepentingan pengusaha dalam satu proyek tertentu demi meraih keuntungan pribadi, golongan, dan partainya. Jadi dalam tindakan korupsi itu ada sikap khianat, mark up, suap-menyuap, dan penipuan. Mental yang bobrok ini makin subur dalam sistem yang rusak. Nilai kebahagiaan/kesejahteraan dalam sistem ini hanya dinilai dari banyaknya materi. Sehingga, apa pun akan dilakukan agar mendapatkan materi melimpah sekalipun dengan cara yang merugikan orang lain. Karena dia hanya memikirkan diri dan golongannya saja.



Itulah nafas hidup kapitalisme yang muncul dari sistem sekuler yang tidak menggunakan agama dalam kehidupan. Pencegahan tindak kejahatan korupsi yang seharusnya terbangun dari mental beragama seseorang dengan rasa takut hukuman yang berat di akhirat bagi pelaku khianat, zalim, suap, dan mark up (menipu) yang berasal dari Allah Swt. dicerabut dalam sistem sekuler ini. Belum lagi sanksi/hukuman tidak membuat jera bagi pelakunya.



Hal yang sangat berbeda dengan Islam. Aturan Islam mempunyai sisi pencegahan dengan iman, takwa, dan rasa takut akan pertanggungjawaban semua perbuatannya di hadapan Allah Swt.. Termasuk sanksi bagi pelaku kejahatan korupsi membuat pelakunya akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindakan korupsi karena hukumannya bisa dipotong tangan dan kaki menyilang—bahkan sampai hukuman mati—tergantung berat/tidaknya tindakan korupsi yang sudah dilakukan. Maka, hanya Islam kafah yang detil memberi pencegahan dan  tegas menindak pelaku tindak pidana korupsi. Saatnya negeri ini bersih dari korupsi agar terwujud baldatun thayyibatun wa robbun ghafur, dengan penerapan Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah islamiah. Wallahualam bissawab.[]



Hanin Syahidah



Posting Komentar

0 Komentar