Kelalaian Sekolah terhadap Siswa Eligible Ditinjau dari Perspektif Islam




#Depok — Baru-baru ini, sebagaimana yang diberitakan Kompas.com (7/2/2025), terjadi aksi protes yang dilakukan oleh siswa SMKN di Depok yang merasa kecewa akibat tidak dapat mendaftar ke Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Aksi ini dipicu oleh kelalaian pihak sekolah dalam mengisi data di Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS), yang menyebabkan para siswa tersebut kehilangan kesempatan untuk mengikuti SNBP. Siswa merasa harapan mereka hancur setelah bertahun-tahun berjuang untuk dapat masuk perguruan tinggi tanpa harus mengikuti ujian.



Penyebab demo ini cukup sederhana tetapi sangat berdampak. Pihak sekolah lalai dalam mengurus administrasi yang seharusnya menjadi kewajiban mereka. Hal ini membuat siswa yang semestinya eligible (memenuhi syarat) untuk mengikuti SNBP justru tidak dapat mendaftar. Tentu saja, ini menyisakan rasa kecewa yang mendalam bagi siswa yang telah berusaha keras dan menaruh harapan besar pada kesempatan ini. 



Sebagai bentuk kekecewaan dan upaya menuntut keadilan, para siswa turun ke jalan, menggelar demo di depan sekolah. Kejadian ini memunculkan pertanyaan, mengapa sebuah sistem pendidikan yang seharusnya memberdayakan justru bisa membuat kehidupan siswa menjadi rumit dan penuh ketidakpastian?



Dalam konteks sistem pendidikan yang berlaku saat ini, kita bisa melihat adanya paradoks. Di satu sisi, pendidikan seharusnya menjadi hak setiap individu. Apalagi dalam Islam, ilmu adalah cahaya yang harus diterima oleh setiap orang. Rasulullah saw. bersabda, "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim." (HR Ibnu Majah)



Pendidikan diharapkan bisa mencetak generasi yang cerdas dan berdaya saing, membuka pintu kesuksesan bagi setiap individu, tanpa memandang status ekonomi atau latar belakang. Namun kenyataannya, dalam sistem pendidikan kapitalisme, akses untuk mendapatkan pendidikan tinggi, terutama di perguruan tinggi negeri, sering kali disulitkan dengan berbagai regulasi yang rumit dan administratif. Proses pendaftaran yang berbelit-belit, ketergantungan pada nilai dan data administrasi yang harus sempurna, menghilangkan esensi pendidikan itu sendiri. Di sinilah muncul ketidakadilan yang dirasakan oleh banyak siswa.



Siswa yang sebenarnya memiliki potensi dan prestasi yang memadai, justru terhambat oleh kelalaian pihak sekolah yang seharusnya bertanggung jawab. Ini adalah wujud nyata dari kesalahan sistem yang mengutamakan aturan birokratis yang rumit dan tidak memperhatikan hak asasi setiap individu untuk mendapatkan pendidikan.



Sesungguhnya dalam Islam, pendidikan adalah salah satu pilar utama dalam mencetak generasi yang berkualitas. Allah SWT berfirman dalam surah al-Alaq ayat 1—5 yang menekankan pentingnya ilmu dan pembelajaran. Tanggung jawab dalam mendidik dan mengayomi para siswa bukan hanya terletak pada sekolah atau lembaga pendidikan, tetapi juga pada para guru, pemimpin, dan pihak terkait lainnya. 



Sebagaimana dalam HR Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya." Ini menunjukkan bahwa pihak sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan hak pendidikan setiap siswa tercapai dengan baik.



Tanggung jawab ini tidak hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga memastikan proses administrasi dan pendaftaran berjalan lancar. Kelalaian dalam hal ini bukan hanya merugikan siswa, melainkan juga menciptakan ketidakadilan sosial. Para siswa yang merasa sudah memenuhi syarat untuk melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi, justru dipaksa untuk menerima kenyataan pahit akibat ketidakprofesionalan dalam pengelolaan data.



Akibat dari kelalaian ini sangat berat. Bagi siswa, kehilangan kesempatan untuk mendaftar ke SNBP berarti kehilangan harapan besar untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri, yang seharusnya menjadi hak mereka. Rasa kecewa yang timbul bukan hanya tentang kegagalan untuk masuk PTN, tetapi juga perasaan bahwa usaha yang telah mereka lakukan selama ini terasa sia-sia. Padahal, mereka telah berjuang keras untuk memenuhi berbagai persyaratan dan mencapai prestasi terbaik.



Hal ini juga menimbulkan perasaan tidak adil, mereka yang sudah berusaha sebaik mungkin terhambat oleh kesalahan yang tidak mereka buat. Dalam Islam, keadilan adalah salah satu prinsip utama yang harus ditegakkan. Allah Swt. berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 188, "Janganlah kamu makan harta sesama kamu dengan cara yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada para hakim untuk memakan sebagian harta orang lain dengan cara yang zalim, padahal kamu mengetahui."



Pendidikan seharusnya tidak dipersulit dengan sistem yang rumit dan administrasi yang menghambat. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak tanpa diskriminasi atau kesulitan administratif. Dalam perspektif Islam, pemimpin pendidikan, baik itu sekolah, guru, maupun pihak yang berwenang, harus menjalankan tanggung jawab mereka dengan sebaik-baiknya untuk memastikan setiap siswa mendapatkan hak mereka. Kelalaian dalam hal ini adalah bentuk ketidakadilan yang tidak hanya merugikan siswa, tetapi juga mengkhianati amanah yang diberikan oleh masyarakat.



Agar kejadian seperti ini tidak terulang, kita perlu merenungkan kembali sistem pendidikan yang ada. Pendidikan bukanlah komoditas hanya untuk yang mampu, melainkan hak setiap individu yang harus dilindungi dan dijaga. Sebagaimana dalam prinsip Islam, mari kita bangun pendidikan yang adil, transparan, dan tanpa beban administratif yang memberatkan, sehingga semua siswa dapat meraih impian mereka dan berkontribusi positif bagi masyarakat.[]



Jasmine Fahira Adelia

Posting Komentar

0 Komentar