Korupsi Emas Antam: Korupsi Tabiat Penguasa di Alam Kapitalisme

 



Anggun Permatasari

 

#TelaahUtama — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tersangka kasus korupsi tata kelola komoditas emas PT Antam periode 2010-2021 yang berjumlah enam orang. Mereka diduga telah menggunakan cap PT Antam secara ilegal dalam produksi emas sekitar 109 ton. Kejagung memastikan emas tersebut asli. Meski begitu, perolehannya dinilai tidak sah, karena berasal dari tambang ilegal atau impor tanpa izin. Menurut data persidangan, total kerugian negara mencapai Rp3,3 triliun. Nama-nama tersangka yang disebut sebagai pengguna jasa cap ilegal adalah Lindawati Effendi, Suryadi Lukmana, Suryadi Jonathan, James Tamponawas, Ho Kioen Tjay, Djudju Tanuwidjaja, dan Gluria Asih (kompas.com, 12/3/2025).

 

Lagi! Setelah terbongkarnya kasus penyalahgunaan wewenang tata kelola timah, pengoplosan Pertamax dan Pertalite, kini terkuak korupsi di tubuh PT Antam. Seakan tidak memiliki rasa malu, jajaran petinggi perusahaan pelat merah tersebut menggambarkan betapa rakusnya manusia yang jauh dari takwa. Penghasilan mereka yang cukup besar tidak jua menumbuhkan rasa syukur. Parahnya, justru mereka mengotori tangan mereka dengan perbuatan curang dan khianat.

 

Sungguh, fakta-fakta memprihatinkan yang terjadi saat ini merupakan sebuah keniscayaan dari negeri yang mengambil demokrasi kapitalisme sebagai asas hidup. Sebab, di antara akar permasalahan korupsi pada sektor pertambangan adalah kebijakan swastanisasi dan liberalisasi atas nama investasi yang dihasilkan dari sistem yang korup dan rusak. Mengapa? Karena sistem ini memberi banyak kesempatan untuk pelakunya berbuat curang melalui kebijakan liberal dan tidak prorakyat.

 

Selain itu, demokrasi kapitalisme telah melahirkan penguasa yang lalai dan tidak amanah. Entah secara sadar atau tidak, para penguasa asuhan demokrasi banyak mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperkaya diri sendiri. Karena panduan sistem yang rusak, akibatnya mereka sering salah langkah dalam mengambil keputusan dan mencari solusi. Korupsi menjadi tabiat penguasa dalam sistem demokrasi. Di mana terdapat pusaran uang, proyek, dan kekuasaan, di situlah korupsi terjadi.

 

Padahal, Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari)

 

Rasulullah saw. juga mengingatkan kita bahwa, “Siapa yang diamanahi Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka dia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Malah, para penguasa melakukan korupsi dan berbuat zalim. Mereka bertindak demikian tidak lain juga dikarenakan sistem sanksi dalam demokrasi tidak membuat efek jera. Sedangkan dalam Islam, sistem sanksi (uqubat) berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa). Keberadaannya disebut zawajir karena dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan serupa. Adapun jawabir disyariatkan agar mencapai kemaslahatan yang telah hilang disebabkan adanya tindak pidana. Islam menjaga agar Penguasa dan pejabat beriman dan bertakwa dan senantiasa merasa diawasi Allah Swt.. Mereka akan terhindar dari perbuatan tercela, dosa, memiliki sifat wara’ (hati-hati), tidak tamak, terobsesi mengejar kepentingan pribadi, dan amanah.

 

Allah Swt. berfirman dalam surah an-Nisa ayat 58 yang artinya, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil."

 

Hukum Islam memberi solusi pencegahan sebelum terjadi pelanggaran dan juga terdapat fungsi pengawasan di level individu, masyarakat, dan negara. Persoalan korupsi adalah masalah sistemik dan membutuhkan solusi sistemis juga. Karena berasal dari Yang Maha Kuasa, Islam mampu menjawabnya.

 

Selain itu dalam aturan Islam, tambang apa pun yang jumlahnya banyak dan berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Hadis Nabi saw. yang dituturkan oleh Abyadh bin Hammal r.a., “Sungguh ia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw.. Ia lalu meminta kepada beliau konsesi atas tambang garam. Beliau kemudian memberikan konsesi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberinya harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. kemudian menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

 

Hadis ini memang mengisahkan tentang tambang garam. Namun demikian, hal ini berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak. Berdasarkan hadis tersebut, tambang apa pun yang menguasai hajat hidup orang banyak, tidak hanya tambang garam, haram dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing, termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya wajib mengelola, lalu hasilnya diberikan dan didistribusikan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tanpa pandang bulu.

 

Akan tetapi, semua itu tidak bisa terwujud jika kita masih menggantungkan harapan pada sistem demokrasi kapitalisme. Jika mengharapkan rahmat dan keberkahan dari Allah, negeri ini harus diatur oleh syariat Islam. Bukan diatur oleh ideologi kapitalisme yang memberikan keleluasaan sedemikian rupa kepada pihak swasta/asing dalam menguasai sebagian besar harta sumber daya alam dan kekayaan milik umum, di antaranya aneka tambang yang sangat berlimpah di negeri ini.

 

Allah Swt. telah memerintahkan kaum Muslim untuk mengamalkan syariat Islam secara menyeluruh (kafah) sebagaimana firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 208)

 

Yang harus dipahami baik penguasa maupun rakyat adalah Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Kaum muslim berserikat (dalam hal kepemilikan) atas tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Posting Komentar

0 Komentar