Korupsi Pertamina Terkuak, Maraknya Klasemen Liga Korupsi Indonesia

 


Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Belum tuntas kasus korupsi tata niaga pengelolaan timah yang merugikan negara hingga Rp271 triliun, masyarakat kembali dikejutkan dengan kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang dengan total kerugian mencapai hampir Rp1 kuadriliun. Dugaan korupsi disinyalir terjadi di lingkungan subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sejak tahun 2028—2023. Potensi kerugian yang bernilai fantastis tersebut dihitung dari potensi total kerugian negara pada tahun 2023 senilai Rp193,7 triliun. Jika kemudian kerugian tersebut diproyeksikan selama 5 (lima) tahun maka total akumulasi kerugian mencapai Rp968,5 triliun atau bahkan lebih (kompas.com, 27/02/2025). 


Perhitungan kerugian negara dari kasus korupsi yang menjerat para pejabat Pertamina serta jajarannya berasal dari 5 (lima) skema utama yakni ekspor minyak mentah ilegal, impor minyak mentah melalui broker, impor Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui broker, kompensasi BBM di luar prosedur dan subsidi BBM tidak tepat sasaran. Sejauh ini baru 9 (sembilan) tersangka yang ditetapkan Kejaksaan Agung (Kejagung) yaitu 5 (lima) orang berasal dari petinggi subholding Pertamina serta jajarannya dan 3 (tiga) broker minyak.  


Lucunya, kasus megakorupsi Pertamina terungkap setelah banyaknya keluhan masyarakat di beberapa daerah terutama Papua dan Palembang terkait buruknya kualitas Pertamax (RON 92). Dari laporan tersebut Kejagung melakukan investigasi lebih lanjut yang mengungkap adanya praktik blending Pertamax dengan produk BBM lain dengan RON lebih rendah semisal Pertalite (RON 90). Tidak hanya modus blending BBM, Kejagung menemukan adanya mark up (kenaikan) harga Pertamax dan besaran subsidi BBM yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahkan ada indikasi para pelaku sengaja membuat seakan-akan hasil produksi kilang minyak domestik tidak memenuhi standar yang kemudian mengharuskan Pertamina melakukan impor dalam jumlah takwajar.  


Dari sini kita bisa mengurai ‘kongkalikong’ jahat yang dilakukan para pejabat Pertamina bersama dengan broker minyak dalam penyediaan minyak mentah dalam negeri. Tiga (3) direktur subholding Pertamina yaitu Riva Siahaan (RS); Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Yoki Firnandi (YF); dan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping dan Sani, Dinar Saifuddin (SDS)—Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional—sengaja mengkondisikan rapat optimasi hilir yang menyebabkan iPertamina tidak bisa menyerap minyak mentah domestik. Alasannya minyak mentah hasil produksi KKKS tidak ekonomis dan kualitas tidak sesuai standar kilang.  


Dengan adanya kelebihan jumlah produksi minyak domestik yang tidak diserap Pertamina, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 21/2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Minyak Bumi, Gas Bumi dan Bahan Bakar Lain, KKKS diberi izin mengekspor produk minyak mereka. Di sisi lain, Pertamina terpaksa melakukan impor minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kondisi ini membuat harga dasar minyak yang digunakan sebagai acuan penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) juga meningkat dan anggaran subsidi BBM yang diklaim Pertamina ke pemerintah turut membengkak. 


Jahatnya lagi, minyak impor yang diterima Pertamina terlebih dahulu di-blending sebelum dipasarkan di Indonesia atau dijual tidak sesuai dengan ketentuan. RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga memerintahkan pembelian BBM dengan angka oktan (RON) 90 tetapi dijual sebagai Pertamax (RON 92). Bukan hanya itu, adapula blending BBM RON 88 dan RON 92 yang kemudian dijual ke masyarakat sebagai Pertamax. Oleh karenanya, kasus megakorupsi Pertamina jelas-jelas tidak hanya merugikan negara tetapi secara langsung berdampak pada masyarakat umum selaku konsumen. 


Di balik kehebohan kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang, Indonesian Police Watch (IPW) menuding pihak Kejagung melakukan aksi tebang pilih. Pasalnya, penetapan ketiga tersangka broker minyak yakni Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKA), Dimas Werhaspati (DW), dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) justru dinilai sebagi maladministrasi. Dalam klaster pelaku ekspor-impor minyak dan klaster kerugian negara dalam pemberian kompensasi BBM tidak satu pun penetapan tersangka dari pihak swasta yang menerima kontrak dari Pertamina untuk melakukan ekspor-impor ataupun distribusi BBM bersubsidi.  


Kemunculan kasus megaskandal korupsi Pertamina setelah terkuaknya kasus-kasus megakorupsi lain semisal kasus tata niaga timah bukanlah hal yang mengherankan terjadi di negeri ini. Pasalnya, korupsi sudah membudidaya dan melibatkan banyak pihak dari para politisi, pejabat, dan pengusaha. Angka kerugian yang ditimbulkan pun kian hari kian meningkat tajam sejalan dengan keserakahan manusia yang tiada habisnya. Ironisnya, kondisi semacam ini terus berulang seiring dengan intervensi kekuasaan dan politik uang yang membuat para pelaku korupsi mudah terlepas dari jerat hukum dan kasusnya pun bak hilang ditelan bumi. 


Budaya korupsi yang kian melekat di negeri ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, penerapan sistem kapitalisme-sekuler yang menjadikan manusia termasuk para pejabat, politisi, dan para pemilik cuan tidak hidup dengan berlandaskan halal-haram. Mereka menghilangkan agama sebagai batasan perilaku mereka dan tidak mengenal perbuatan dosa. Kehidupan sekuler juga menciptakan masyarakat individualistik dan menjadikan hubungan antarmanusia berasaskan kepentingan materi semata. Dari sini, praktik korupsi biasa dilakukan secara berjamaah guna mengamankan kepentingan pribadi mereka daripada saling melaporkan. 


Teori GONE (greedy, opportunity, need and exposure) yang dikemukakan Jack Bologna mengungkapkan bagaimana kehidupan sekuler yang mengagung-agungkan ide kebebasan kemudian memunculkan manusia-manusia super serakah dan tidak pernah puas. Hal inilah yang menjadi katalisator terbentuknya bibit-bibit koruptor di dalam sistem kapitalisme-sekuler. Terlebih lagi dengan maraknya gaya hidup flexing terutama oleh para pejabat ataupun keluarganya membuat para pemimpin negeri ini merasa ‘butuh’ untuk korupsi guna memenuhi gaya hidup mereka. 


Kedua, penerapan sistem politik ‘mahal’ demokrasi yang menormalisasi politik transaksional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para calon wakil rakyat negeri ini harus merogoh kocek dalam untuk bisa ikut serta di bursa pencalonan. Dari sinilah lahir para cukong politik yang membiayai para calon untuk memenangkan pemilu. Setelah calon yang diusung memangku jabatan, barulah para cukong politik ini meminta ‘jatah’ yang mengharuskan para pejabat memutar otak guna mengembalikan dana pemilu. Skema politik semacam inilah yang kemudian memunculkan dorongan para pejabat untuk melakukan korupsi atau setidaknya memberi ‘peluang’ bagi para cukong melalui penerapan kebijakan yang antirakyat.  


Sistem politik demokrasi pada kenyataannya hanya akan menjaring mereka-mereka yang dekat dengan pemilik cuan. Padahal orang-orang semacam ini tatkala memangku jabatan justru akan memosisikan dirinya sebagai ‘pedagang’ bukan ‘pelayan’ rakyat. Hal tersebut wajar saja terjadi di alam demokrasi karena sedari awal para calon pemimpin menjadikan dirinya sebagai ‘calo’ para cukong dan akan melakukan apa saja guna memenuhi kepentingan cuan. 


Celakanya, sistem demokrasi memberikan keleluasaan kepada para penguasa untuk membuat aturan sesuai hawa nafsunya. Aturan-aturan yang lahir dalam sistem demokrasi dibuat sesuai kebutuhan para penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Bahkan sistem peradilan dibuat sedemikan rupa agar para penguasa dan sponsor-sponsor mereka bisa dengan mudah lolos dari jeratan hukum. Dari sini terlihat bagaimana korupsi yang terjadi bukan hanya sekedar korupsi bernilai ekonomi tetapi sampai kepada korupsi kebijakan.  


Bobroknya sistem demokrasi tampak jelas dalam kasus korupsi Pertamina yang justru tidak menyentuh sama sekali pemilik cuan kelas kakap di balik kasus megaskandal bernilai kuadriliun tersebut. Aturan ekspor-impor minyak pun memiliki banyak ‘loophole’ yang kemudian dimanfaatkan para tikus berdasi untuk menyusupkan minyak domestik ke luar negeri. Padahal hingga detik ini kilang-kilang minyak yang dikelola Pertamina masih belum bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan dalam negeri. 


Faktor ketiga yang menyebabkan kasus korupsi kian membudaya di negeri ini ialah sanksi bagi para koruptor yang kelewat ‘murah’ sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Lihat saja bagaimana para pelaku korupsi tata niaga timah yang bernilai ratusan triliun hanya dihargai dengan sanksi ‘mini’ ditambah masa kurungan yang cukup singkat. Sanksi bagi koruptor yang sangat tidak adil selama ini tidak pernah sampai memiskinkan para pelaku. RUU Perampasan Aset yang hingga kini tidak diketok palu membuat para pelaku korupsi menganggap tindakan mereka sebagai jalan ‘investasi’ bernilai triliunan yang cukup dibayar sekedarnya. 


Menjalani masa tahanan bagi para koruptor juga sama sekali tidak akan menimbulkan efek jera karena adanya fasilitas mewah di lapas-lapas yang dikhususkan bagi mereka. Walhasil, penjara hanya dijadikan sebagai tempat 'backpacking staycation'. Ironisnya lagi, para pelaku korupsi tersebut masih bisa mengikuti pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah setelah mereka bebas dari masa kurungan. Para mantan terpidana korupsi juga masih bisa menempati posisi-posisi strategis dalam proyek pemerintah sebagaimana pemerintah mengangkat mantan koruptor aliran dana Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah Harahap, sebagai ketua tim pakar dalam proyek Danantara. 


Pada akhirnya, kasus megakorupsi Pertamina memperlihatkan bagaimana hukum buatan manusia yakni sistem kapitalisme-sekuler dan demokrasi menjadikan rakyat negeri ini kian sengsara dan jauh dari kata sejahtera. Korupsi yang tumbuh subur dan tiada habisnya di dalam sistem demokrasi-sekuler justru di-backing oleh penerapan sistem sanksi ala kadarnya bagi para pemilik modal dan tikus berdasi. Padahal Allah Swt. telah memperingatkan manusia akan kerusakan yang ditimbulkan dari sistem buatan manusia yang serba lemah dan serba kurang. Dia berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS al-Maidah: 50)

Wallahu a’lam bi ash-shawab. 

Posting Komentar

0 Komentar