Ruruh Hapsari
#Wacana — Akhirnya Hasto Kristianto, Sekjen PDI Perjuangan resmi ditahan KPK. Ia dijerat dua pasal sekaligus. Pertama, penyuapan terhadap Wahyu Setiawan, Komisioner KPU yang sudah ditangkap 2020 lalu agar Harun Masiku menjadi anggota DPR jalur PAW. Kedua, dianggap menghambat penyidikan dengan menghalangi pencarian Harun Masiku yang masih buron (Kompas.com, 20/2/2025).
Menurut Ketua KPK, Setyo Budiyanto, penyidik KPK mempunyai alat bukti yang cukup untuk menahan Hasto usai melakukan sejumlah pemeriksaan. Di lain pihak, Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan menyatakan bahwa pemerintah tidak mengintervensi soal penahanan Hasto. Menurutnya, KPK mempunyai kewenangan untuk menahan dan mencekal orang untuk ke luar negeri.
Penolakan
Akan tetapi, tidak demikian yang diterima oleh PDIP, Kapitra Ampera. Politikus PDIP menyatakan bahwa Hasto tidak terlibat secara hukum dan tidak pernah muncul baik di BAP maupun di putusan pengadilan. Sehingga, menurutnya melahirkan tanda tanya besar karena tiba-tiba Hasto menjadi tersangka.
Selain itu, menurut Kapitra peristiwa itu pun juga sudah lima tahun berselang, mengapa baru tahun ini dipidanakan. Oleh karenanya, Kapitra menegaskan bahwa penangkapan Hasto pasti berkaitan dengan politik penguasa hari ini atau masa lalu (Youtubetvonenews, 22/2/2025).
Di lain pihak, sebagai ketua umum partai yang merasa sekjennya sedang bermasalah hukum, tentu bersuara. Dalam surat instruksinya, Megawati mengatakan bahwa yang dilakukan KPK adalah bentuk kriminalisasi. Kemudian ia mengambil alih seluruh kendali dan roda organisasi kepartaiannya sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) AD-ART PDIP (republika.co.id, 21/2/2025).
Dalam surat yang tertanggal 20 Februari tersebut sekaligus menginstruksikan pada seluruh kepala daerah dan wakil kepala daerah berasal dari PDI Perjuangan untuk menunda perjalanan mengikuti retret di Magelang dan menunggu arahan ketua umum. Selain itu, mereka juga diinstruksikan untuk tetap berada dalam komunikasi aktif.
Melihat hal tersebut, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis saat diwawancara oleh tvone menyebut bahwa retret ini walaupun tidak ada instruksi ataupun aturan presiden, tetapi hal ini merupakan kebijakan pemangku pusat pemerintahan yaitu presiden. “Secara hukum tata negara tidak ada alasan untuk tidak mengikuti retret ini,” ujarnya.
Sehingga menurutnya, semua kepala daerah wajib untuk ikut acara tersebut, karena mereka adalah bawahan dari presiden. “Ini bagian dari policy pemerintahan pusat dalam rangka memastikan kelancaran performa terbaik dari penyelenggaraan pemerintahan secara nasional,” ujarnya. Meskipun ujarnya, para kepala daerah tersebut terpilih dengan kendaraan politik, tetapi status petugas partai selesai saat mereka disumpah dan berpindah menjadi bawahan presiden.
Dilema
Walaupun begitu, Peneliti Senior Pusat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli mengakui bahwa instruksi dari pimpinan tertinggi ini membuat dilema bagi para kepala daerah yang berasal dari PDIP.
Lili menyatakan bahwa kepala daerah yang tidak mengikuti retret tentu ada resiko renggangnya hubungan dengan pemerintah pusat. Hal itu terkait dengan beberapa daerah yang masih bergantung pada dana transfer dari pusat yang otomatis juga merugikan rakyat. Padahal slogannya adalah partai wong cilik, mengapa justru merugikan rakyat kecil.
Pemegang Kekuasaan
Begitulah gambaran bila pimpinan partai menjadi kekuatan pesaing sebuah negara. Sekelas kepala daerah yang notabene akan mewakili pimpinan pusat di daerah dalam rangka melayani kebutuhan rakyat, masih harus terganggu dengan kekuatan tersebut. Nyatanya, presiden tidak mempunyai kekuasaan mutlak yang keputusannya tidak bisa diganggu gugat.
Dalam sebuah narasi di kumparan.com, artikel tersebut mempertanyakan Trias Politika yang berjalan di Indonesia apakah sungguh dibagi menjadi tiga kekuasaan. Dinyatakan bahwa secara substansial sesungguhnya yang mempunyai kekuasaan di negeri ini bukan tiga kekuasaan tersebut justru tunggal (kumparan.com, 8/6/2023).
Tunggal yang dimaksud adalah partai politik. Walaupun ini hanya sebuah asumsi, tetapi pada kenyataannya memang tidak jauh berbeda dengan kenyataan. Badan legislatif yang notabene bertugas membuat aturan perundang-undangan dan mempunyai pengaruh kuat pada eksekutif, diisi oleh para petugas partai dan mereka harus tunduk pada mekanisme dan aturan-aturan partai.
Belum lagi, lembaga strategis negeri ini semisal KPU yang pemilihan komisionernya melibatkan DPR. Atau pada pemilihan kepala kepolisian RI, KPK dan lembaga tinggi lainnya juga tidak jauh dari keterlibatan peran DPR. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa Trias Politika yang diterapkan di negeri ini memiliki satu sumber kekuatan dan kekuasaan yaitu partai politik.
Padahal bila partai politik memiliki kekuatan seperti ini, maka presiden hanya menjadi kacung ataupun sebagai petugas partai. Tidak berbeda jauh dengan orang-orang yang terpilih dan duduk di kursi empuk legislatif.
Dengan demikian, tentu akan terjadi perebutan kekuasaan untuk menguasai sumber daya alam Indonesia yang melimpah, hingga rakyat tidak lagi menjadi acuan dan malah ditinggalkan. Itulah gambaran bagaimana berjalannya kekuasaan dalam pemerintahan demokrasi. Rakyat tidak pernah menjadi orientasi justru jadi korban kerakusan.
Tercatat dalam kitab At Takatul Al Hizby tulisan Al‘allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dikatakan bahwa sebuah partai apalagi yang didasari oleh akidah sekuler-kapitalisme tidak akan mengantarkan pada kebangkitan dan kesejahteraan. Mereka berdiri di atas dasar fikrah (pemikiran) yang yang tidak jelas, tidak cemerlang, tidak jernih pun tidak murni.
Selain itu metodenya yang tidak jelas, bertumpu pada orang yang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar bahkan mereka hanya orang-orang yang berbekal semangat dan keinginan saja. Juga partai tersebut tidak mempunyai ikatan yang benar, ikatan tersebut hanya sebatas struktur organisasi dengan deskripsinya berikut slogan organisasi.
Padahal menurut seorang mujtahid mutlak, Al‘allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani yang fakih ilmunya menyatakan bahwa pembentukan partai politik haruslah dimulai dari orang yang memahami ideologi sahih dan menularkannya pada orang lain dan begitu seterusnya.
Kewajiban pimpinan partai adalah menciptakan suasan iman dalam metode berpikir tertentu sesuai syariat. Selain itu, yang menjadi hal penting adalah anggota partai haruslah melakukan gerak yang terarah untuk mengembangkan dirinya dengan cepat dan memurnikan suasana iman yang sempurna. Dengan begitu, mereka mampu membangun partainya dengan baik dan cepat. Gerakan yang terarah dari anggota partai ini didasari oleh syariat juga sebagai pengikat dari para anggotanya adalah akidah yang mendalam dan teguh.
Kemudian, fungsi partai dalam sebuah negara bukan untuk menjadi pesaing penguasa justru sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surah al-Imran ayat 104, yaitu menyeru pada kebaikan, serta mengajak pada hal yang makruf dan mencegah kemungkaran. Amar makruf nahi mungkar ini tentunya tertuju pada penguasa agar mereka yang duduk sebagai pemimpin selalu lurus di jalan-Nya dalam memerintah negeri terutama untuk menyejahterakan rakyat.
Sehingga, patut kiranya negeri ini menoleh pada Islam sebagai aturan paripurna untuk menyelesaikan segala masalah, termasuk masalah rumit yang dihadapi oleh pemangku jabatan. Wallahualam.[]
0 Komentar