Anggun Mustanir
#TelaahUtama — Berawal dari adanya keluhan masyarakat di beberapa wilayah terkait buruknya kualitas produk BBM Pertamina jenis RON 92 alias Pertamax. Kejagung berhasil mengungkap praktik ‘pengoplosan’ atau blending dalam Pertamax dengan Pertalite atau RON 90. BBM jenis RON 90 atau bahkan di bawahnya, yaitu RON 88, yang dicampur dengan RON 92. Dari hasil penyelidikan, ditemukan adanya kenaikan harga Pertamax serta besarnya subsidi dari pemerintah berkaitan dengan praktik ilegal di Pertamina. Temuan ini mengarah pada dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina Patra Niaga (Tempo.co, 8/3/2025).
Awalnya, Kejaksaan Agung merilis kerugian negara akibat korupsi tersebut sebesar Rp193,7 triliun. Tetapi, jumlah itu ternyata hanya hitungan di tahun 2023 saja. Apabila dihitung dari 2018-2023, maka total kerugian mencapai Rp968,5 triliun (antara.com, 2/3/2025). Hal tersebut tentu membuat geram publik.
Pertanyaannya, mengapa fakta ini baru terungkap sekarang? Bagaimana bisa antara kurun waktu 2018-2023, megakorupsi tersebut baru terbongkar di 2025? Fakta ini seolah menggambarkan bagaimana negeri ini menjadi tempat subur para mafia bercokol. Dampak skandal memalukan ini sangat besar, tidak hanya merugikan negara, tetapi kepercayaan publik kian menipis terhadap pemerintah. Pasalnya, publik masih belum move on dari kehebohan korupsi timah senilai Rp300 triliun.
Di tengah kondisi kehidupan masyarakat yang sangat memprihatinkan, para pejabat yang seharusnya menjadi pelayan rakyat ternyata berbuat khianat. Penderitaan rakyat tidak juga membuat mereka merasa iba. Sumber daya alam milik rakyat tidak dikelola sebagaimana mestinya. Mereka memanipulasi dan parahnya mengambil keuntungan untuk diri mereka sendiri. Kejujuran di negeri ini kian mahal.
Padahal, Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Sesungguhnya kejujuran akan membimbing menuju kebaikan dan kebaikan akan membimbing menuju surga. Sesungguhnya seseorang akan bersungguh-sungguh berusaha untuk jujur, sampai akhirnya ia menjadi orang yang benar-benar jujur. Dan sesungguhnya kedustaan akan membimbing menuju kejahatan dan kejahatan akan membimbing menuju neraka. Sesungguhnya seseorang akan bersungguh-sungguh berusaha untuk berdusta, sampai akhirnya ia benar-benar ditetapkan di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Bukhari dan Muslim)
Gurita korupsi semakin mencengkeram semua lembaga pemerintahan. Kebijakan yang ditetapkan seakan tidak bisa lepas dari praktik korupsi. Komitmen para pemangku kebijakan hanya pemanis di bibir. Buktinya, kian hari praktik korupsi makin membudaya dan melekat dalam tubuh pemerintahan, bahkan jumlahnya kian fantastis. Apalagi, sanksi yang dijatuhkan bagi koruptor tidak menciptakan efek jera sebab aturannya lahir dari akal manusia penuh cela.
Sungguh, kenyataan pahit seperti saat ini wajar dalam sistem demokrasi kapitalisme. Pemimpin besutan demokrasi kapitalisme jauh dari sifat jujur dan amanah karena terikat dengan aturan yang salah. Dalam sistem rusak buatan manusia ini, pejabat negara merupakan regulator. Bahkan, Negara dikuasai segelintir oknum. Selain itu, terbongkarnya kasus-kasus megakorupsi saat ini, makin tampak pengelolaan sumber daya alam berlandaskan paradigma neoliberal. Asas ini memberikan ruang subur bagi model pemerintahan oligarki, yakni pemerintahan yang zalim. Hubungan pemerintah dan rakyat hanya sekadar hubungan untung-rugi dan sangat minim aspek pelayanan, ketulusan, dan rasa belas kasih.
Sangat berbeda dalam aturan Islam, pemimpin merupakan junnah atau pelindung dan raa’in (penggembala) yang bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Imam al-Qurthubi (w. 671 H) dalam tafsirnya menerangkan yang artinya, “Menurut perkataan yang sahih, yakni mayoritas ahli tafsir, (yang dimaksud dengan) amanah adalah mencakup semua tugas-tugas (fungsi-fungsi) keagamaan. Amanah adalah segala kefarduan (kewajiban) yang Allah telah mempercayakan kepada hamba (manusia) untuk melaksanakannya.” (Al Jâmi’ li Ahkâmil Qur’an, 14/253)
Jabatan dan kekuasaan merupakan amanah. Apabila tidak ditunaikan, maka akan menjadi kehinaan di yaumul hisab. Di saat rakyat morat-marit hidupnya seiring kenaikan harga BBM, ternyata kualitasnya tidak sebanding dengan harga yang harus dibayar. Pengoplosan BBM merupakan tindak kriminal dan zalim.
Sesungguhnya, perihal amanah dalam Islam ini merupakan urusan yang sangat besar sehingga langit, bumi, serta gunung-gunung merasa khawatir dan takut untuk memikulnya. Allah Swt. berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 72 yang artinya, “Sesungguhnya, Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu. Mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya, manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
Korupsi adalah persoalan sistemik, oleh sebab itu pemberantasannya pun harus bersifat sistemik. Sistem politik demokrasi kapitalisme nyata-nyata telah gagal mewujudkan pemerintahan yang bersih. Sangat berbeda dengan sistem politik Islam yang memiliki sejumlah mekanisme agar negara bebas dari korupsi. Contohnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor berupa dicambuk dan ditahan dalam kurun waktu yang lama (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 5/528). Dahulu, Zaid bin Tsabit menetapkan bentuk hukuman yang bisa diambil pelajaran bagi orang lain dan koruptor diberi sanksi tegas. Kemudian, Qatadah mengatakan bahwa hukumannya adalah penjara (Mushannaf Abd ar-Razaq, 10/208—209).
Sungguh, bagi pemimpin dalam sistem demokrasi kapitalisme saat ini amat sulit berlaku benar-benar jujur dan amanah. Lingkaran setan kebijakan zalim, penuh cela dan tidak prorakyat membuat mereka akhirnya ikut arus. Faktanya, tidak ada ruang bagi orang-orang yang ikhlas, jujur dan amanah dalam struktur kepemimpinan demokrasi kapitalisme. Sistem transaksional ini membuat jajaran pemangku kebijakan menghabiskan masa jabatannya untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan agar mereka bisa masuk dalam pemerintahan. Oleh karenanya, masihkah umat Islam sebagai umat mayoritas di negerinya para wali ini tidak ingin kembali pada al-Qur'an dan Sunah sebagai petunjuk hidup agar korupsi bisa disapu bersih? Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar