Megakorupsi Pertamina, Satu Lagi Bukti Korupsi Menggurita




#CatatanRedaksi — Setelah "gempuran" aneka tindak pidana korupsi yang terus melanda negeri ini, terbitlah megakorupsi Pertamina. Disebut mega karena nominalnya bukan lagi triliunan tapi sudah menyentuh angka kuadriliun, mengalahkan pendahulunya korupsi timah 300 T. Dilansir dalam laman kompas.com (3/3/2025), kasus dugaan korupsi di lingkungan Pertamina dengan potensi kerugian negara mencapai Rp1 kuadriliun menjadi perhatian publik. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sembilan tersangka terkait kasus yang terjadi pada 2018-2024. Tercatat kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun setiap tahunnya, ketika diakumulasikan selama lima tahunan lebih tembus sekitar satu kuadriliun.



Luar biasa, angka korupsi semakin menggila. Sudah tidak main di angka miliaran, triliunan, tetapi sudah tembus angka kuadriliun, satu nilai yang sangat fantastis. Padahal, nominal gaji dan tunjangan dewan direksi Pertamina ini tidak main-main, jadi bukan karena gaji kecil, tetapi mereka bergaji besar. Berdasarkan laporan keuangan 2023, total kompensasi untuk manajemen kunci, termasuk Dewan Direksi dan Komisaris mencapai sekitar Rp312 miliar per tahun. Dengan tujuh anggota Dewan Direksi, setiap individu diperkirakan menerima sekitar Rp21,8 miliar per tahun atau Rp1,81 miliar per bulan (Jawa posradarjombang, 2/3/2025).



Satu angka yang sangat besar jika dibandingkan kondisi rakyat yang rata-rata hanya 3-5 juta per bulan. Tega-teganya mereka mengoplos BBM yang dikonsumsi rakyat yang punya penghasilan jauh di bawah mereka dan harus banting tulang dulu untuk bisa membeli BBM ini. Maka, sungguh mereka adalah orang-orang yang rakus, cocok kiranya pernyataan Mahatma Gandhi terkait ini bahwa, "Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah.”



Begitulah, kecilnya tubuh manusia tidak lantas membuat mensyukuri semua nikmat yang Allah berikan kepadanya dengan jalan yang benar, tapi membuat mereka rakus dan tersesat di jalan yang salah demi kepentingan perut dan kebanggaan. Dunia memang sangat menyilaukan, terlebih ketika standar hidup materialistik sebagai manifestasi sistem kapitalisme hari ini makin membuat orang-orang serakah ini banyak jumlahnya. Apalagi konsep kehidupan dengan kebebasan kepemilikan membuat kerakusan ini makin tumbuh subur dalam kapitalisme. Sejauh ini angka korupsi masih ini yang tertinggi dari pendahulu-pendahulunya, maka apakah akan terus dibiarkan makin ugal-ugalan korupsi di negeri ini di tengah kondisi kehidupan rakyat yang kian sulit? Seharusnya situasi ini tidak boleh diteruskan, efek jera dari hukum yang diterapkan termasuk pencegahan tindak pidana korupsi semestinya dibuat makin adil. Hanya saja memang dalam sistem hidup kapitalisme berharap keadilan, seperti pungguk merindukan bulan. Apalagi ketika kejahatan itu menimpa pejabat akan sangat sulit dieksekusi karena hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, fenomena yang sudah terindra jelas di tengah masyarakat.



Mungkin saatnya negeri ini mencari sistem hidup alternatif yang bisa mengakomodasi semua, tegas dalam pencegahan tindak pidana korupsi dan memberi hukuman yang keras juga bagi pelakunya, misalnya sampai dihukum mati. Sistem yang mungkin bisa dilihat sebagai alternatif solusi salah satunya adalah sistem Islam sebagai agama mayoritas negeri ini. Islam mempunyai cara pencegahan (preventif) korupsi dan penindakan (kuratif) secara tegas tindak pidana korupsi karena Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang besar di hadapan Allah terhadap semua perilakunya. Dari situ konsep kesejahteraan benar-benar dilakukan secara adil.



Posisi negara sebagai pengurus urusan rakyatnya terus memberikan sebaik-baik pelayanan kepada rakyat, individu per-individu. Sehingga kesejahteraan itu nyata dirasakan rakyat, celah korupsi benar-benar ditutup oleh negara. Para elite pejabat adalah orang pertama yang memberi contoh kesederhanaan dan jauh dari aktivitas korupsi. Dalam Islam, khalifah tidak digaji tetapi mereka diberi tunjangan selama menjabat.



Masih sangat jelas bagaimana kesedehanaan Umar bin Khattab ketika utusan Romawi datang terkejut ketika mencari Khalifah Umar ternyata khalifah yang dicari-carinya bukan yang duduk dalam singgasana mewah dalam istana, tetapi seseorang yang tidur dan duduk di bawah pohon kurma, beralaskan pelepah kurma dengan baju yang bertambal-tambal, dan dengan kesedehanaan itu kesejahteraan rakyat di bawah kepemimpinan Khalifah Umar saat itu begitu terkenal di seluruh dunia. Untuk para pejabat negara, Khalifah Umar bin Khattab adalah khalifah pertama yang menerapkan audit kekayaan pejabat negara saat itu. Jika ada selisih kekayaan mereka sebelum dan sesudah menjabat, maka selisih itu diambil negara lalu dimasukkan ke baitulmal (kas negara) untuk sebesar-besarnya pelayanan terhadap rakyat.



Selain aspek preventif (pencegahan tipikor) di atas, juga ada aspek kuratif (solusi) Islam dengan memberi hukuman setimpal bagi pelaku korupsi. Islam menetapkan hukuman sesuai dengan berat/ringannya tindakan korupsinya, jadi hukuman yang paling ringan berupa teguran, “black list” atau diviralkan, sampai pada hukuman yang berat adalah hukuman mati karena tindak pidana korupsi ini merugikan rakyat banyak. Ancaman Allah di akhirat nanti adalah siksa neraka yang pedih. Merindukan Islam kembali memimpin dunia. Semoga tidak lama lagi. Wallahu a'lam bi asshawwab.[]




Hanin Syahidah



Posting Komentar

0 Komentar