Negara Salah Urus, Rakyat Jadi Korban

 



EDITORIAL — Kejaksaan Agung menyinyalir korupsi PT Pertamina sepanjang lima tahun terakhir mencapai Rp965 triliun. Sinyalemen ini tentu benar-benar membuat miris, terlebih ketika kita tahu ada sederet megaskandal korupsi lainnya yang melibatkan para pejabat tinggi berbagai BUMN yang angkanya tidak kalah fantastis.

Masalahnya, semua kasus ini terungkap saat pemerintah sedang melakukan efisiensi anggaran yang dipastikan akan berdampak pada berkurangnya layanan publik. Ada Rp306,96 triliun anggaran yang sedang diirit, sedangkan ribuan triliun uang rakyat lainnya lenyap dibabat tikus berdasi yang menjadikan BUMN sebagai alat merampok uang rakyat. Wajar jika kasus ini berimbas pada anjloknya nilai rupiah hingga level terburuk sepanjang sejarah Indonesia.

Negara Salah Urus

Fakta parahnya kasus korupsi ini hanya satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi Indonesia. Pergantian kepemimpinan dengan segala janji manisnya alih-alih membawa harapan baru. Kabinet yang supergemuk menunjukkan kursi kekuasaan hanya jadi alat bancakan petinggi parpol. Kekuatan oligarki pun justru makin menguat. Makin banyak kebijakan dan kasus muncul yang mempertontonkan kerakusan para pemimpin dan para pejabatnya.

Tentu saja rakyat lagi yang jadi korbannya. Peri kehidupan mereka makin hari justru makin berat. Di tengah klaim meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi dan menurunnya angka kemiskinan, kebijakan pajak dan layanan publik makin mencekik leher rakyat. Tsunami PHK dan deindustrialisasi pun terjadi di mana-mana, terutama pada perusahaan-perusahan yang dikenal padat tenaga kerja. Bukan hanya disebabkan faktor internal perusahaan, tetapi menunjukkan ada persoalan struktural yang lebih besar dalam perekonomian nasional.

Betapa tidak? Kebijakan perdagangan tampak pro kepentingan asing. Impor berbagai jenis barang kebutuhan benar-benar tidak bisa dibendung. Dampaknya, industri dalam negeri benar-benar terpukul. Pemerintah lantas bersembunyi di balik narasi melemahnya perekonomian global. Padahal faktanya, memang gagal memperkuat fondasi ekonomi berbasis kemandirian.

Pemerintah dalam hal ini mencukupkan dengan program-program populis yang tidak berdampak jangka panjang. Jutaan lowongan kerja yang dijanjikan tiap rezim dalam kampanye pemilu nyatanya nol besar. Uang negara pun dihambur-hamburkan pada proyek-proyek mercusuar yang tidak sedikit berakhir mangkrak. Bukan hanya mangkrak, melainkan sekaligus mewariskan utang negara yang terus membengkak.

Sungguh, makin hari tata kelola negara dan pemerintahan tampak makin kacau. Wajar juga jika dikatakan negara ini salah urus sebab banyak kebijakan yang dibuat asal njeplak yang ketika kontroversial baru buru-buru diralat. Tidak salah pula jika beberapa waktu lalu para mahasiswa tergerak turun ke jalan dan mengaruskan tagar #IndonesiaGelap.

Masa depan negeri ini nyatanya memang benar-benar gelap. Bahkan, bisa jadi prediksi Prabowo Subianto dalam pidatonya kala menjadi Ketum Gerindra pada 2018 silam benar-benar menjadi kenyataan, yakni bahwa pada 2030 Indonesia benar-benar bubar.

Konsekuensi Kepemimpinan Sekuler

Apa yang terjadi saat ini sejatinya merupakan hal wajar. Sistem kepemimpinan sekuler demokrasi kapitalisme yang sedang diterapkan memang merupakan sistem politik destruktif yang disetir oleh kekuatan modal. Sistem ini jelas tidak mengenal halal-haram. Kekuasaan politik an sich hanya menjadi alat meraih kepentingan segelintir orang. Urusan moral kalah oleh kepentingan akumulasi modal.

Terlebih politik demokrasi memang dikenal sangat mahal. Basis dukungan rakyat dibangun dengan iklan yang tentu membutuhkan modal besar. Alhasil, kursi kekuasaan tak ubah seperti meja perjudian. Para naga beradu demi mendapatkan porsi keuntungan yang lebih besar. Mereka menjadi sponsor politik bagi para pemberi kekuasaan. Adapun rakyat, jangan harap akan mendapat bagian.

Tidak heran jika banyak kebijakan dibuat sangat pro kepentingan para pemodal, bukan hanya dari dalam negeri, tetapi juga pemodal asing. Atas nama pembangunan berbasis investasi, negara dikaveling-kaveling dan urusan publik pun diatur sebagaimana sebuah perusahaan. Lalu praktik jahat ini dibungkus dengan narasi beracun soal urgensi mewujudkan good government dan good governance.

Walhasil, kekayaan yang melimpah ruah di Indonesia nyatanya tidak mampu menjadikan kehidupan rakyatnya sejahtera. Penghasil nikel terbesar di dunia adalah Indonesia, tetapi 75 persennya dikuasai Cina. Indonesia pun patut berbangga karena produksi emas dan batu baranya masuk lima besar dunia. Namun, apa yang tersisa bagi rakyatnya? Yang menikmati justru perusahaan asing dan segelintir oligark yang berkuasa, sedangkan rakyat mewarisi kerusakan lingkungan yang luar biasa.

Meski presiden tidak percaya dengan narasi “Indonesia gelap”, faktanya kesejahteraan yang diimpikan makin jauh dari jangkauan. Rakyat hari ini sedang berjuang sendirian. Bukan hanya bertahan dari keterpurukan dalam hal perekonomian, tetapi harus berhadapan dengan problem lain yang luput dari perhatian negara; kriminalitas yang merajalela, cengkeraman mafia tanah yang merenggut ruang hidup mereka, dekadensi moral yang mengancam generasi mereka, ketakadilan hukum yang makin terbuka, dan lainnya.

Lihatlah kasus MBG yang bermasalah dan diprotes orang Papua. Juga kasus PIK-2 yang berakhir dengan pemenjaraan Kades Kohod saja. Lalu ada proyek Danantara yang nepotis dan diprediksi bakal jadi megaskandal berikutnya. Juga kasus-kasus lain yang menunjukkan posisi negara ada jauh di seberang rakyatnya. Semua ini  hanya menambah daftar panjang masalah yang diproduksi sistem sekuler dan tidak pernah ada ujungnya.

Butuh Kepemimpinan Islam

Masyarakat sejatinya sudah bisa membaca berbagai kerusakan di tengah mereka. Namun, sebagian dari mereka belum mampu membaca akar masalah dan solusi tuntas atasnya. Mereka jauh dari kesadaran ideologis sehingga akhirnya mudah diombang-ambing dengan tawaran solusi pragmatis yang justru makin menjauhkan mereka dari solusi sebenarnya. Sebagian mereka bahkan mengira solusi itu ada pada ideologi kiri (sosialisme komunisme), padahal mereka mengaku berakidah Islam.

Sejatinya Islam adalah satu-satunya ideologi yang layak dijadikan sebagai tumpuan harapan. Islam bukan hanya agama ritual, tetapi agama politik yang mengatur segala aspek kehidupan, mulai urusan politik pemerintahan, ekonomi, hukum, hankam, pergaulan, termasuk mengatur soal kepemimpinan. Solusi yang ditawarkan pun bukan konsep khayalan karena sejarah sudah membuktikan, belasan abad umat Islam pernah eksis sebagai pemimpin peradaban di bawah sistem kepemimpinan yang menerapkan aturan-aturan Islam.

Sistem kepemimpinan Islam ini berbasis pada akidah Islam dengan aturan yang menerapkan prinsip halal-haram. Pemimpinnya wajib memenuhi syarat-syarat pengangkatan, yakni muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil, dan berkemampuan. Ia dibaiat oleh umat sebagai pemilik hakiki kekuasaan. Tugasnya hanyalah untuk menerapkan hukum-hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang mujtahid mutlak abad ini, dalam kitabnya yang berjudul Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Jilid 2 menjelaskan tentang pemimpin Islam. Bahwasanya pemimpin Islam harus memiliki kepribadian negarawan, yakni memiliki pola pikir penguasa yang siap memangku tanggung jawab umum untuk memimpin rakyatnya dan mengurus mereka hanya dengan Islam. Juga harus memiliki pola jiwa seorang hakim, yakni memiliki sifat adil dan bijaksana dalam menjalankan kepemimpinannya.

Untuk bisa demikian, seorang pemimpin harus punya karakter kuat, bertakwa (siap terikat syariat), dan punya sikap welas asih kepada rakyatnya. Oleh sebab itulah, tanggung jawab umum kepemimpinan akan bisa dijalankan. Ia siap melingkupi kehidupan rakyatnya dengan nasihat kebaikan, sekaligus mencegah dirinya dari perilaku yang akan membahayakan dan menzalimi rakyatnya. Haram baginya memalak rakyat dengan rupa-rupa pajak, atau menyerahkan hak milik mereka kepada pihak lainnya seperti lazim dilakukan para pemimpin sekarang.

Semua aturan Islam tentang kepemimpinan yang disebut sebagai Khilafah ini dipastikan akan memberikan kebaikan dan keberkahan. Hubungan penguasa dan rakyatnya akan harmonis dan saling menguatkan karena dilingkupi oleh suasana iman. Namun yang perlu diingat, sistem kepemimpinan ideal semacam ini tidak mungkin dicangkokkan dalam sistem sekarang karena keduanya ada perbedaan yang sangat diametral.

Khatimah

Mewujudkan Khilafah sebagai sistem kepemimpinan Islam semestinya menjadi agenda bersama umat Islam. Hal tersebut tentu harus dimulai dengan dakwah pemikiran untuk meluruskan pemahaman tentang hakikat ajaran Islam dan tujuan ia diturunkan. Harapannya, umat segera sadar bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Perjuangan mengembalikan Khilafah tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih para penjaga peradaban sekuler dari kalangan kapitalis tentu tidak akan pernah tinggal diam. Mereka tidak akan rida segala kekuasaannya akan ditumbangkan. Namun, mereka akan kecewa karena kembalinya kepemimpinan Islam sudah Allah janjikan dan menjadi salah satu kabar gembira dari Rasulullah bagi umat Islam pada akhir zaman.

Posting Komentar

0 Komentar