Rini Sarah
#Wacana — Saat ini, banjir dan Indonesia seakan menjadi dua kawan akrab. Ada saat berpisah, tetapi selalu kembali menyapa. Banjir memang rutin mengunjungi Indonesia. Kunjungannya berselang-seling dengan kekeringan. Tergantung di Indonesia sedang musim apa.
Kunjungan banjir pun merata di seluruh wilayah, tidak terkecuali Jakarta sebagai Ibu Kota, dan Bodetabekjur sebagai daerah penyangganya. Walaupun saat ini banjir diberitakan telah surut, tetapi sebelumnya dia telah menimbulkan kerugian yang besar. Sebut saja daerah Bekasi yang sempat terendam begitu parah, bahkan air bisa masuk ke dalam mall (CNNIndonesia.com, 4/3/2025). Perlu diingat, hal ini belum tentu tidak terulang kembali. Jika tidak ada perbaikan yang dilakukan di negeri ini, bukan mustahil banjir dengan intensitas yang lebih besar akan berkunjung lagi.
Level Perbaikan
Semua pasti sepakat jika perkara banjir ini perlu diputus siklus tahunannya hingga dia tidak akan pernah datang lagi. Ini memerlukan perbaikan. Selama ini, perbaikan untuk banjir selalu berada pada level teknis atau praktis. Padahal, menurut Prof. Dr.Ing Fahmi Amhar, peneliti Badan Informasi Geospatial (BIG), level perbaikan itu berlapis dan harus diimplementasikan sesuai dengan masalahnya (fahmiamhar.com, 25/2/2013).
Prof. Fahmi memerinci level-level tersebut ke dalam 7 tingkatan. Yang pertama adalah level praktis. Level ini adalah perubahan sistem dalam tataran pelaksana. Contohnya, ketika Dedi Mulyadi menggantikan Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jawa Barat, beliau menerapkan kebijakan mengembalikan daerah Puncak, Kab. Bogor menjadi daerah resapan air. Tempat wisata banyak yang dibongkar atas titahnya (kompas.com, 7/3/20j25).
Kedua, level mekanis. Pada level ini diupayakan agar penanggulangan masalah bisa dilakukan secara otomatis. Misalkan dengan memasang sistem terintegrasi penanganan banjir mulai dari early warning, tutup buka pintu bendungan secara otomatis jika telah mencapai ketinggian tertentu, dsb. Ini dampaknya akan sistemis hingga peralatannya rusak atau dirusak.
Ketiga, level teknis. Level ini berkaitan dengan diberlakukannya standar prosedur operasional. Misal, penugasan pada petugas PU (Pekerjaan Umum) untuk secara rutin mengecek sarana dan prasarana anti banjir. Mereka harus mengisi ceklis yang harus dipertanggungjawabkan. Mereka pun perlu ditingkatkan kompetensinya dengan diklat, diberi tunjangan yang layak, dan disanksi jika melakukan kesalahan.
Keempat, level yuridis. Level ini berkaitan dengan perundang-undangan. Misalkan diterapkannya Undang-Undang Pengaturan Tata Ruang yang ketat dari sebelumnya. Kelima, level politis. Untuk mengubah Undang-Undang tadi perlu adanya perubahan konstelasi politik. Partai-partai perlu dilobi agar mendukung perubahan ini sembari memperhatikan sistem legislatifnya.
Keenam, level akademis. Kebijakan politis perlu dasar dan pembenaran secara akademis. Pada level ini sebuah kebijakan pun harus “lulus” jika ingin legitimate dan berkelanjutan. Untuk mengubah level ini perlu mengganti akademisinya atau mengubah isi kepala para akademisi tersebut melalui diskusi panjang.
Ketujuh, level ideologis. Level akademis dan politis sangat tergantung dengan ideologi yang mendasarinya. Apakah ia condong kepada kapitalisme, komunisme, atau Islam? Atau tidak jelas? Jika tidak jelas landasan ideologinya maka sistem pengendali banjir ini akan sangat labil. Tapi, jika bertumpu pada sistem yang salah akan melahirkan persoalan baru dalam dimensi lain. Contohnya di Belanda. Belanda berhasil menangani banjir, tapi persoalan sosial terjadi di sana. Karena Belanda melandasi sistem teknis praktisnya dengan ideologi kapitalisme sekuler.
Di Indonesia sendiri, perbaikan tidak cukup hanya di enam level awal. Tetapi, perbaikannya perlu menyentuh level ketujuh, ideologis. Karena penyebab kerusakannya sudah mencapai level ini. Banjir yang terjadi di Indonesia disebabkan karena pola pikir serakah akan harta ala kapitalisme. Dalam kapitalisme, semua orang bebas untuk memiliki apa pun. Kebebasan ini didukung oleh penguasa yang ditempatkan sebagai regulator agar keserakahannya menjadi legal. Hingga terjadilah alih fungsi lahan kawasan hulu menjadi tempat penyedot cuan. Hutan hujan tropis berpermukaan poris (penyerap air) banyak dibuka untuk kepentingan ekonomi. Sistem ekonomi ini pun menyebabkan kesenjangan ekonomi. Mayoritas adalah orang tak mampu, hingga banyak yang mendirikan pemukiman di bantaran sungai. Ini berpotensi mendatangkan dan terdampak bencana.
Akibatnya bisa kita rasakan bersama. Firman Allah dalam QS ar-Rum: 41 telah berlaku. Kerusakan demi kerusakan akibat serakahnya manusia memang sudah kita rasakan bersama. Hanya saja, kapan kita akan kembali bertaubat dan menjalankan kembali syariat?
Khilafah Menyelesaikan Banjir
Tidak bisa kita mungkiri untuk mengakhiri mimpi mengendalikan banjir kita perlu bantalan ideologi. Satu-satunya ideologi yang sahih dan mampu mengatasi permasalahan banjir secara tuntas adalah ideologi Islam. Ideologi ini tidak akan berdaya tanpa ada institusi yang mengimplementasikan secara kafah. Institusi tersebut hanyalah Khilafah.
Khilafah akan menerapkan solusi terhadap persoalan banjir yang bersumber dari ideologi Islam, mulai dari visi hingga pengaturan teknis. Dari segi visi, Khilafah akan menempatkan bahwa negara adalah penjaga dan pengelola bumi. Hal ini diamanahkan Allah dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 30 yang artinya, “Ingatlah ketika Allah berkata pada malaikat, ”Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Juga firman-Nya, “Janganlah kamu melakukan kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.” (QS al-A’raf: 76)
Dalam mitigasi banjir, Khilafah akan melakukan upaya pencegahan dan pascaterjadi bencana. Dalam upaya pencegahan, Khilafah akan menerapkan hal-hal yang disebutkan dalam berbagai level perbaikan yang telah dibahas di atas. Lebih luasnya, Khilafah akan mengatur tata ruang dengan baik. Kawasan-kawasan yang krusial terhadap pencegahan banjir akan di-hima (diproteksi) oleh Khilafah agar tidak dimanfaatkan oleh rakyat demi keselamatan bersama. Contohnya, hutan lindung, daerah bantaran sungai, kawasan hulu, dsb.
Hima ini diperbolehkan oleh hukum syara. Rasulullah saw. bersabda,” Tidak ada hima kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Dawud). Ibnu Umar juga menceritakan bahwa Rasul pernah meng-hima daerah an-Naqi, suatu tempat di Madinah yang terkenal, khusus untuk unta-unta kaum muslim. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab al-Amwal menerangkan bahwa negara berhak menguasai harta milik umum demi kepentingan jihad dan kemaslahatan umat lainnya. Oleh karena itu, kita bisa simpulkan Khilafah boleh meng-hima daerah kawasan hutan lindung, lahan gambut, sempadan sungai guna mencegah banjir.
Selain itu, negara akan mengedukasi rakyat agar senantiasa menjaga lingkungan. tidak membuang sampah sembarangan ataupun membuka lahan seenaknya. Gaya hidup ramah lingkungan pun senantiasa dikampanyekan. Di lain pihak, Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam, agar rakyat semua terpenuhi kebutuhan asasinya dengan layak, termasuk perumahan. Tak akan ada yang membangun pemukiman taklayak huni di daerah-daerah yang membahayakan.
Lalu, ketika terjadi bencana, Khilafah akan mengerahkan segenap kemampuan dalam proses evakuasinya. Mereka akan ditempatkan di pengungsian yang layak dan terpenuhi segala hajatnya. Hal ini dilakukan dengan prinsip birokrasi yang sederhana, cepat, dan profesional.
Dari segi pembiayaan, Khilafah akan mengambil dana dari baitulmal (kas negara), pengalokasiannya pun harus segera. Proses cairnya dana ini tidak akan berbelit, karena hanya perlu penetapan dari khalifah saja. Jika kas negara tidak ada, khalifah akan memberlakukan dharibah (pungutan langsung kepada rakyat (laki-laki dan kaya). Jika dikhawatirkan bencana terus berlangsung dan keuangan makin menipis, syariat Islam memperbolehkan Khilafah untuk berutang, dengan syarat tidak mengandung riba dan membahayakan eksistensi negara. Utang ini dilunasi dengan mengumpulkan harta kaum muslim. Selain itu, negara juga akan mendorong rakyat untuk saling bersedekah.
Inilah konsep mengenai penangan banjir oleh Khilafah. Konsep ini pernah dilakukan dan sukses menangani bencana. Untuk pencegahan banjir, penguasa Mesir waktu itu meminta al-Farghani (9 M) membangun Nilometer, alat untuk mengukur tinggi permukaan sungai Nil. Dengan alat ini, al-Farghani berhasil selama bertahun-tahun memprediksi banjir. Tidak cukup sampai sana, Sultan Mesir pun melakukan sayembara untuk membendung Sungai Nil. Inilah fakta sejarah ketika Khilafah berdiri. Semoga tidak lama lagi, fakta seperti ini akan kita saksikan lagi.[]
0 Komentar