Salah Gusur Rumah Warga: Kesalahan Administrasi atau Ketidakadilan Sistemik?

 


#Bekasi — Kasus penggusuran sering kali terjadi di Indonesia, salah satunya yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Bekasi yaitu penggusuran rumah warga di Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat. Ada lima rumah warga yang disugur paksa meskipun pemilik rumah tersebut memiliki sertifikat yang sah. Proses penggusuran pun berlangsung dramatis, para pemilik rumah menangis histeris meminta keadilan atas kezaliman yang mereka rasakan. Naasnya, ternyata belakangan ini baru diketahui bahwa penggusuran paksa tersebut termasuk salah gusur. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, rumah sudah hancur lebur rata dengan tanah, ternyata salah gusur.


Melansir dari kompas.com (7/02/2025), Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan, Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II salah menggusur lima rumah warga dalam sengketa lahan sekitar 3,6 hektar di Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Menurut beliau kelima rumah yang telah rata dengan tanah itu ternyata berada di luar obyek lahan yang disengketakan oleh penggugat. Kesalahan ini diduga terjadi karena pengadilan tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi dalam eksekusi. 


Kasus salah gusur ini mencerminkan kelemahan sistem administrasi pertanahan dan lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat. Kesalahan prosedural dalam eksekusi lahan menunjukkan bahwa hukum di negeri ini sering kali lebih berpihak pada pihak yang memiliki kekuatan finansial dan akses hukum yang lebih luas. Hukum ala kapitalisme saat ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Bak hukum rimba, siapa yang kuat maka dialah yang menang. Alhasil, keadilan dan kesejahteraan menjadi sesuatu yang utopis dalam sistem sekarang.


Fenomena ini juga merupakan dampak dari penerapan sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Sistem kapitalisme-sekuler menjadikan tanah sebagai komoditas yang diperjualbelikan demi keuntungan segelintir pihak. Kebebasan kepemilikan dalam sistem kapitalisme tidak memberikan batasan dalam konsep kepemilikan tanah, asalkan punya uang banyak seseorang bisa memiliki tanah sebanyak-banyaknya tanpa batas, mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, bahkan meskipun itu tanah sengketa bisa dimenangkan asal berkuasa dan memiliki finansial yang kuat. Inilah yang sangat diagung-agungkan dalam sistem kapitalisme yaitu kebebasan kepemilikan individu.


Hal ini berbeda dengan sistem pengaturan kepemilikan dalam Islam. Islam adalah sebuah ideologi kehidupan yang mempunyai padangan khas terkait agraria. Konsep kepemilikan Islam atau milkiyyah dibagi menjadi tiga macam yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Begitu pula tanah, ada yang menjadi kepemilikan individu, umum, dan negara. 


Padang rumput, hutan, laut, tanah-tanah tambang merupakan sumber  daya alam yang sangat besar, begitu pula jalan-jalan umum, dan lain sebagainya adalah termasuk dalam kategori tanah kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini tidak boleh dikuasai oleh individu atau diprivatisasi oleh asing, negara bertanggung jawab untuk mengolahnya dan kemudian dikembalikan lagi untuk kepentingan rakyat. Rasulullah saw. bersabda: 


الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ


"Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api." (HR Abu Dawud)


Sedangkan gunung, padang pasir, bukit, lembah, tanah mati yang tidak terurus dan belum pernah diolah, atau tanah yang terbengkalai karena tidak dikelola lagi oleh sang pemiliknya adalah termasuk kategori tanah-tanah milik negara.  Negara akan mengelola tanah-tanah semacam ini, pada suatu kondisi tertentu. Khalifah diperbolehkan untuk memberikan tanah-tanah kosong kepada individu. Khalifah juga dapat memberikan hak guna atau hak pemanfaatannya kepada seseorang atau sekelompok orang yang mempu mengelolanya . 


Selanjutnya tanah milik individu, Islam memperholehkan indovidu untuk memiliki tanah yang tidak termasuk dalam kategori tanah kepemilikan umum maupun negara. Seorang individu boleh memiliki tanah dengan cara yang diperbolehkan oleh syariat Islam, seperti tanah dari hasil jual-beli, hibah, atau waris. Tanah yang sudah dimiliki oleh seseorang juga dapat berpindah kepemilikan dengan sebab syar'i tersebut. 


Pembagian kategori kepemilikan tanah ini tidak hanya memberikan kepastian kepemilikan, akan tetapi  juga akan mencegah terjadinya mafia tanah, penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah oleh segelintir orang saja, khususnya pada tanah-tanah milik umum dan negara.


Disisi lain, negara akan memberikan perlindungan kepada setiap individu yang memiliki tanah. Hal ini dapat memudahkan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya dan melindungi dari para penjarah, kemudian negara akan menerbitkan sertifikat kepemilikan tanah dengan birokrasi yang memudahkan. Negara Islam (baca Khilafah) akan menjamin perlindungan kepemilikan tanah individu. Hakim (qadhi) akan memberikan sanksi yang tegas bagi siapa pun  yang melakukan penyerobotan tanah, penjarahan atau mengambil tanah milik orang lain dengan cara yang zalim. Rasulullah saw. bersabda:


مَنْ ظَلَمَ مِنَ الْأَرْضِ شَيْئًا طُوِّقَه مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ


"Siapa saja yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, nanti akan dikalungi tujuh lapis bumi." (HR al-Bukhari dan Muslim)


Hadis Nabi saw diatas merupakan ancaman bagi para penyerobot tanah dengan siksa yang amat berat di akhirat.  


Apabila suatu saat terjadi persengketaan tanah, maka akan diselesaikan oleh majelis peradilan. Pada kasus penyerobotan tanah, pelaku penyerobot wajib mengembalikan kepada pemilik sah. Negara tidak akan memihak terhadap siapa yang lebih memiliki finansial kuat, tetapi negara akan mengembalikan kepada pemiliknya yang sah.


Dengan demikian, konsep keadilan akan terwujud dalam sistem Islam. Sebab, aturan yang diterapkan adalah aturan Sang Pencipta bukan aturan buatan manusia yang lemah. Sehingga, solusi untuk berbagai kasus kezaliman penggusuran tanah saat ini yang terus-menerus terjadi tidak lain adalah dengan kembali pada pengaturan syariat Islam. Sudah saatnya kaum muslimin kembali pada aturan Sang Pencipta dalam bingkai Daulah Khilafah.


Wallohu'alam bish-shawab. 



Nurika

Posting Komentar

0 Komentar