Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Belum lama ini Presiden Prabowo meluncurkan dana kekayaan kedaulatan atau biasa dikenal dengan Sovereign Wealth Fund (SWF) bernama Daya Anagata Nusantara (Danantara). Danantara dicanangkan ke depannya menjadi wahana investasi dan perusahaan induk bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Diklaim juga akan menjadi instrumen penggerak pembangunan nasional menuju target pertumbuhan ekonomi yang cukup ambisius yakni sebesar 8%. Hal tersebut dilakukan mengoptimalkan langkah-langkah pengelolaan kekayaan negara yang dipegang oleh BUMN.
Untuk saat ini BUMN yang ditempatkan di bawah Danantara adalah 3 (tiga) bank, yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Negara Indonesia (BNI). Kemudian, termasuk di dalamnya Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, Telkom Indonesia, dan Mining Industry Indonesia (MIND ID) yang mengelola tambang emas, batu bara serta nikel. Dari sini Danantara disebut-sebut akan memiliki total aset sekitar US$900 miliar (setara dengan Rp15.000 triliun), yang menjadikannya salah satu SWF terbesar di dunia dan menempatkannya di urutan keempat dalam kancah global.
Dana investasi mahabesar yang dipegang Danantara bahkan akan terus menggemuk seiring dengan masuknya seluruh BUMN ke dalam lembaga tersebut. CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, Rosan Roeslani, menyatakan bahwa seluruh BUMN akan tergabung ke lembaga yang dipimpinnya pada akhir Maret 2025 ini.
Ironisnya, peluncuran Danantara terjadi di tengah gelombang protes mahasiswa nasional terkait efisiensi anggaran negara yang diklaim pemerintah sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pengalihan pengeluaran negara. Kenyatannya pengalihan yang dimaksud justru tertuju pada pemberian dana segar untuk Danantara dan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pemangkasan anggaran yang dimaksud menyasar dana sebesar Rp306,7 triliun yang menargetkan sektor-sektor vital semisal kesehatan dan pendidikan.
SWF atau yang biasa disebut dengan dana abadi negara biasanya berasal dari 'kelebihan uang' (excess) negara yang kemudian diputar melalui skema investasi. Hal ini dilakukan dengan harapan agar dana awal yang dimiliki bisa menghasilkan laba secara terus-menerus yang ke depannya digunakan untuk menutupi pembelanjaan negara. Biasanya, laba yang didapat kemudian digunakan untuk membiayai proyek-proyek besar negara dengan orientasi jangka panjang, seperti pembangunan infrastruktur transportasi ataupun fasilitas umum lainnya.
Pemberian modal awal SWF melalui excess dilakukan contohnya oleh Norwegia yang menjadi SWF terbesar dunia hingga detik ini. Norwegia menyuntikkan dana kepada SWF miliknya, The Government Pension Fund Global (GPFG), dari hasil penjualan minyak dan gas. Dari situ kemudian GPFG berinvestasi dalam banyak proyek terutama di luar negeri guna melipat-gandakan keuntungan. Hal yang serupa juga dilakukan oleh salah satu negara bagian USA yakni Alaska dengan SWF miliknya, The Alaska Permanent Fund (APFC), serta beberapa negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Kondisi semacam ini berbeda dengan apa yang terjadi pada 2 (dua) negara tetangga Indonesia, yakni Singapura dan Malaysia. Singapura menyuntikkan dana segar beserta aset publik lainnya kepada SWF besutannya, Temasek Holdings. Sedangkan Malaysia menggabungkan dana BUMN miliknya dan menerbitkan surat utang sebagai modal awal SWF miliknya, Khazanah. Selanjutnya kedua SWF tersebut memperoleh tambahan modal melalui penjualan aset-aset BUMN yang dilakukan dengan skema privatisasi dan divestasi.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Danantara sepertinya meniru Temasek Holdings dan Khazanah dalam memulai karirnya. Pemerintah memberikan modal awal pada Danantara melalui penyuntikkan dana segar yang diperoleh dari efisiensi anggaran senilai kurang lebih Rp300 triliun ditambah dengan penyerahan seluruh aset BUMN negeri ini.
Sekalipun angan-angan penguasa negeri ini tampaknya cukup ambisius, perlu diperhatikan bahwa perekonomian Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Setiap tahunnya APBN terus-menerus defisit yang berarti pemerintah senantiasa ‘rajin’ menambah utang. Jikapun tidak menambah utang, pemerintah tidak segan menyunat pos anggaran lain bahkan pada sektor vital semacam kesehatan dan pendidikan. Celakanya, penyunatan anggaran semacam ini tidak terjadi pada dana fantastis yang selalu digelontorkan untuk para pejabat di kursi MPR, DPR ataupun jajarannya berupa fasilitas mewah seperti mobil dan rumah dinas.
Pemilihan pemerintah untuk melakukan investasi pada Danantara di sektor keuangan tampaknya akan berakhir pada mimpi buruk. Sebagaimana bubble economy yang senantiasa terjadi berulang dalam sistem ekonomi kapitalis menjadikan sektor keuangannya penuh dengan resiko. Alih-alih mendapat untung, Indonesia berpotensi terjebak dalam utang yang sangat mungkin mengarahkannya pada kebangkrutan.
Di sisi lain, pemerintah tampaknya juga akan memfokuskan arah investasinya dalam hilirisasi industri. Hal ini terlihat dari masuknya MIND ID dalam fase awal pembentukan Danantara, dan sejalan dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, yang menyebut 90% dana Danantara akan disalurkan pada sektor pertambangan. Jika benar hal tersebut terjadi, artinya Indonesia hanya akan menggantungkan nasibnya pada 1 (satu) sektor saja. Padahal, hingga hari ini hilirisasi industri yang digembor-gemborkan sejak pemerintahan Jokowi justru membawa Indonesia kepada keterbelakangan industri.
Sebut saja hilirisasi nikel yang sejauh ini tidak memberi keuntungan signifikan bagi negara padahal tidak sedikit dana negara yang masuk. Begitu pula dengan kutukan hilirisasi batu bara yang justru memberi keuntungan pada pihak swasta senilai Rp4000 triliun. Bukan untung, hilirasi industri negeri ini justru seringnya menimbulkan kerusakan lingkungan parah di area galian, gagal panen, pencemaran air dan tanah, serta menyisakan lubang-lubang dalam nan besar di area galian tambang.
Hilirisasi industri yang diagung-agungkan pada kenyatannya justru lebih banyak memberi keuntungan bagi asing dan aseng, bukan masyarakat Indonesia. Perusahaan-perusahaan smelter di negeri ini justru lebih banyak menyerap tenaga kasar asing terutama dari China. Keuntungan yang didapat investor asing juga berasal dari pemberian tax holiday selama 20 tahun hingga pajak bea masuk nol rupiah. Para pemain hilirisasi produk tambang sayangnya masih didominasi perusahaan asing. Jika benar kemudian dana Danantara digelontorkan untuk menyukseskan hilirisasi industri, bisa dipastikan bahwa pihak asing dan asenglah yang lebih banyak ketiban durian runtuh dibanding rakyat negeri ini.
Lalu apa perlu Indonesia meniru Norwegia dengan menginvestasikan dana negara kepada proyek-proyek di luar negeri? Jangankan menanamkan modal di luar negeri, Indonesia justru masih butuh banyak dana untuk membiayai proyek-proyek dalam negeri! Pada akhirnya tidak heran jika banyak yang menyebut dana tersebut digunakan tidak lain sebagai leverage (daya ungkit) agar pemerintah bisa mendapatkan pinjaman utang lebih banyak.
Tidak hanya persoalan bagaimana dana Danantara dikelola, banyak pihak juga pesimis jika dana tersebut benar-benar akan secara ‘amanah’ dimanfaatkan. Dana fantastis yang dipegang Danantara justru memunculkan peluang korupsi yang jauh lebih besar. Adanya peraturan baru yang menyebut lembaga audit hanya bisa memeriksa Danantara setelah persetujuan DPR justru menimbulkan banyak tanda tanya. Pasalnya peraturan baru tersebut seakan-akan berupaya ‘menjaga’ Danantara agar tidak tersentuh lembaga penegak hukum dan lembaga auditor.
Skandal SWF sebelumnya pernah terjadi di Malaysia pada proyek 1Malaysia Development Berhad (1MDB) yang menyeret mantan perdana menteri Malaysia, Najib Razak. Skandal tersebut melibatkan kasus megakorupsi, penyuapan, dan pencucian uang yang secara sistematis digelapkan dengan pengalihan aset 1MDB kepada sejumlah pihak. Maukah Indonesia bernasib sama?
Lucunya di tengah kondisi Indonesia yang banyak tertimpa kasus megakorupsi semisal kasus korupsi Pertamina senilai Rp968,5 triliun ataupun kasus korupsi tata niaga timah senilai Rp271 triliun, Danantara justru menggaet mantan koruptor dalam jajaran pimpinannya. Tercatat BPI Danantara mengangkat mantan koruptor aliran dana Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah Harahap, sebagai ketua tim pakar. Dari sini bukankah tidak aneh jika di kemudian hari lembaga superholding BUMN tersebut menjadi ladang basah bagi para tikus berdasi?
Tidak hanya korupsi yang menjadi kekhawatiran, pembentukan Danantara juga beresiko diwarnai kepentingan politik. Banyak pihak menyangsikan Danantara akan tumbuh besar lantaran lembaga tersebut diisi pejabat negara yang terafiliasi politik dan bukan para profesional. Melalui UU No.1/2025, PP No.10/2025, dan Keppres No.30/2025 presiden Prabowo menunjuk 2 (dua) aliansi politik terbesarnya sebagai Dewan Penasehat, yakni mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi. Bahkan sinyal-sinyal intervensi asing terlihat jelas dengan penunjukan mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair, sebagai anggota.
Dari sini tampaknya akan sangat sulit bagi umat untuk optimis pada proyek Danantara. Kutukan investasi disertai dengan mengguritanya korupsi, salah kaprah hilirisasi industri hingga peran asing dan aseng menjadikan sepak terjang Danantara tidak bisa semulus yang dibayangkan. Terlebih lagi dengan sinyal-sinyal kepentingan para elite politik dan oligarki menjadikan Danantara justru menjadi santapan lezat bagi para tikus berdasi. Skema pembangunan berbasis ekonomi kapitalistik semacam inilah yang pada akhirnya membuat Indonesia terus-menerus terbelakang dan celakanya kian terjerat utang.
Perekonomian bobrok yang dialami negeri ini sudah sepatutnya menjadi alarm bagi penguasa negeri untuk kembali kepada sistem ekonomi Islam yang diarahkan melalui wahyu-Nya. Allah Swt. berfirman, “Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertaubat kepada-Nya.” (QS Ruum: 33)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar