Noor Hidayah
#Tangsel — Konflik agraria dan alih
fungsi lahan bukanlah hal baru di Indonesia. Berdasarkan laporan Konsorsium
Perbaruan Agraria (KPA), konflik agraria yang disebabkan oleh proyek pembangunan
infrastruktur menempati posisi kedua sebagai penyebab utama konflik, setelah
sektor perkebunan.
Sepanjang
tahun 2024, KPA mencatat adanya 79 kasus konflik agraria yang melibatkan area
seluas 290.785,11 hektare dan mempengaruhi 20.274 keluarga. Sebagian besar
konflik ini terkait dengan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Dari
total 79 kasus, 36 di antaranya berkaitan dengan pengadaan lahan untuk PSN yang
mencakup pembangunan kawasan industri, kota baru, destinasi wisata, bendungan,
bandara, pembangkit listrik, dan infrastruktur pariwisata. Sisanya terkait
dengan proyek infrastruktur lain seperti pembangunan jalur kereta api, jalan
tol, jalan raya, irigasi, serta fasilitas sosial dan umum.
Salah
satu konflik yang menonjol adalah sengketa agraria akibat pembangunan kawasan
Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), sebuah proyek kolaborasi antara Agung Sedayu
Group (ASG) dan Salim Group (SG) di Jakarta dan Tangerang.
PIK
2 di Kabupaten Tangerang, Banten, merupakan perluasan dari kawasan Pantai Indah
Kapuk (PIK) di Jakarta Utara, dengan luas area 1.600 hektare. Proyek ini
dikembangkan oleh PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk. (PANI), yang diakuisisi oleh
Agung Sedayu Group dan Salim Group pada tahun 2021 melalui PT Multi Artha
Pratama.
Menurut
pernyataan resmi perusahaan, lahan yang dimiliki PANI sebagian besar
direncanakan untuk pembangunan pusat bisnis atau Central Business District
(CBD), serta perumahan dan area komersial lainnya, dengan total lahan seluas
1.765 hektare melalui 12 anak perusahaan. Seluruh lahan ini berlokasi di PIK 2,
Tangerang, Banten, di pesisir utara Jakarta (hijaubisnis.com, 13/02/2025).
Mengapa
Terjadi Konflik PIK 2?
Pada
24 Maret 2024, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian
era Jokowi merilis 14 kawasan menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Salah
satunya PIK 2 yang menjadi proyek pengembangan Green Area dan Eco City bernama Tropical
Coastland. Luas PIK 2 pun bertambah hingga mencapai 30.000 ha usai ditetapkan
sebagai PSN. Ini hampir menyamai luas Jakarta Pusat.
Penolakan
rakyat terhadap PIK 2 berawal dari proses pembebasan lahan oleh pengembang.
Nilai ganti rugi lahan yang sangat rendah hingga cara memaksa rakyat melepas
lahannya menggunakan tangan aparat menimbulkan ketakutan dan trauma.
Penguasaan
lahan oleh pengembang besar yang pada hakekatnya adalah para oligarki
berlangsung lancar dan justru seakan didukung oleh penguasa. Hal yang lumrah
ada di sistem kapitalisme, ketika kapital/modal menjadi
pertimbangan utama. Dengan alasan bahwa proyek tersebut adalah untuk
kepentingan rakyat sementara negara tidak cukup memiliki dana, maka
pembiayaannya perlu dialihkan ke swasta. Atau bisa juga dengan alasan balas
budi dalam sistem politik. Pemilihan kepala daerah yang membutuhkan suara
rakyat diwujudkan dengan cara calon kepala daerah membeli suara rakyat. Dananya
berasal dari para konglomerat oligarki, hingga apabila para calon kepala daerah
tersebut terpilih, mereka akan membalas budi kepada oligarki melalui kebijakan
aturan yang menguntungkan swasta tersebut. Walhasil, PSN di PIK 2 hanya memihak
kaum berduit, sebuah keniscayaan yang terjadi di sistem kapitalisme saat ini.
Solusi
Islam atas Konflik Lahan
Dalam
konflik lahan antara pengembang dengan rakyat, negara harus hadir. Negara harus
menjadi penengah dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Demikian juga dengan
para aparat, mereka adalah orang yang digaji negara untuk keberlangsungan
program negara dalam rangka kesejahteraan rakyat. Ketika ada hak rakyat yang
terampas, maka para aparat merupakan ujung tombak pembela dan pelayan rakyat.
Bukan malah menjadi alat legitimasi pengembang. Bahkan menjadi sponsor
penggusuran tanah rakyat.
Dalam
Islam, negara menerapkan sistem ekonomi yang mengatur kepemilikan. Ada tiga
jenis kepemilikan yaitu individu, umum, dan negara. Masing-masing tidak boleh
mengklaim kepemilikan atas yang lainnya. Terdapat hadis riwayat Muslim, “Siapa
saja yang merampas tanah orang lain dengan cara zalim, walaupun hanya
sejengkal, maka Allah аkan mengalunginya kelak di Hari Kiamat dengan tujuh
lapis bumi” (muslimahnews.net,
27/03/2024).
Sementara
kaidah fikih dari Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Al-Nizham al-Iqtishadi
fi Al-Islam menyatakan, “Setiap barang apa saja yang termasuk ke dalam
milik umum, tidak boleh bagi negara untuk memberikan zat asalnya kepada seorang
pun (menjadi milik individu/swasta).”
Lahan
rakyat adalah kepemilikan individu yang diakui syariah. Negara sebagai
pelindung dan pengatur harus menjadi penengah bila terjadi konflik diantara
mereka, sebagaimana hadits "Pemimpin adalah penggembala. Dia bertanggung
jawab atas apa-apa yang digembalakannya". Negara tidak boleh memihak
swasta, jika terbukti lahan yang diperebutkan adalah milik individu tertentu.
Jika memang perlu memakai lahan milik individu tersebut demi kepentingan
bersama, perlu ada pendekatan khusus agar pemilik lahan bersedia menyerahkan
lahannya. Jangan sampai pengambilan lahan tersebut merugikan si pemilik dan
menzaliminya.
Saatnya
untuk mengganti sistem kapitalisme saat
ini dan kembali ke penerapan sistem Islam kafah, agar hidup sejahtera dan
berkah tidak hanya di dunia tapi di akhirat.[]
0 Komentar