UU TNI Diketok Palu, Kembali Represif ala Orde Baru?




#CatatanRedaksi — Publik sedang diramaikan dengan upaya penolakan UU TNI yang disahkan begitu cepat dan secara diam-diam. Dilansir detikNews.com (20/3/2025), DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI menjadi undang-undang. Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sejumlah menteri.



Pengesahan UU ini menuai gejolak di masyarakat terlebih revisi RUU TNI bergulir dari 2019 tetapi dibahas dan disahkan secara kilat dan tertutup. Hal yang semakin dipertanyakan oleh rakyat, kenapa harus tertutup dan kenapa secepat itu. 



Gelombang aksi di Jakarta dan sejumlah daerah terus bergerak, bahkan sejak sebelum diketok palu. Jadi sejak masih revisi RUU TNI, sudah banyak aksi penolakan. Namun tidak digubris sama sekali, apalagi setelah disahkan malah respon yang muncul  adalah adanya teror, ancaman kepada masyarakat atau aktivis yang menolak dan membongkar hal ini. Sebagaimana yang dialami wartawan tempo yang dikirimin kepala babi dan bangkai tikus yang dipenggal kepalanya. Tidak cukup hal itu, amnesti internasional di Indonesia membenarkan intimidasi kepada aktivis yang menolak pengesahan RUU TNI ini. Dikutip amnesti.id  (21/3/2025), disampaikan bahwa demo tolak pengesahan revisi UU TNI diwarnai teror, kekerasan, dan intimidasi terhadap aktivis, mahasiswa, dan jurnalis.



Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, “Teror, intimidasi dan kekerasan terhadap aktivis, jurnalis, dan mahasiswa adalah cara yang melanggar hak asasi manusia, bahkan menunjukkan penguatan praktik-praktik otoriter terhadap suara-suara kritis di ruang sipil.”



Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Manado, polisi memakai kekuatan berlebihan seperti penggunaan pentungan, gas air mata, meriam air serta intimidasi, dan kekerasan fisik yang tidak perlu ketika menghadapi aksi protes atas pengesahan RUU TNI. RUU TNI yang dibahas pemerintah bersama DPR ini mengubah beberapa pasal mengenai tugas dan kewenangan pokok TNI, termasuk usia pensiun hingga keterlibatan TNI aktif dalam kementerian/lembaga.



Adapun dua tambahan tugas TNI dalam operasi militer selain perang, yakni membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri (detikNews.com, 20/3/2025).



Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, karena indikasi di atas menunjukkan arah ke sana, meskipun ada jaminan dari pemerintah dan DPR bahwa nafas reformasi tetap ada dalam UU ini, tapi fakta yang sering terjadi, janji hanya janji semua seperti pepesan kosong yang tak pernah terbukti. Bahkan, UU selalu menjadi alat legitimasi untuk menggulung semua kepentingan yang tidak sejalan dengan pemerintah yang berkuasa. UU baru disahkan praktik-praktik kekerasan semacam ini dikhawatirkan akan makin buruk.




Maka, ketakutan momok kembali ke gaya represif ala orde baru semakin membayangi rakyat. Model "pembungkaman" publik ala orde baru yang senyap sekaligus mencekam karena semua dilakukan dengan sepi dengan mengunci semua kritik dan lawan politik. Terlebih, ketika bayang-bayang dwi fungsi militer akan muncul kembali.



Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana mengatakan DPR dan presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik, bahkan ekonomi-bisnis yang di masa Orde Baru terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi (CNN Indonesia.com, 17/3/2025).



Fakta yang ada, gelombang penolakan tidak juga direspon, terlebih minggu-minggu ini jelang libur nasional lebaran, isu itu mungkin akan mengendap bahkan menguap entah kemana, beginilah ketika kekuasaan hanya digunakan sebagai alat untuk memaksa dan menguasai rakyat. Inilah yang akan terus terjadi—cocok kiranya apa yang disampaikan oleh Max Weber tentang kekuasaan—menurutnya  kekuasaan adalah sebuah kesempatan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk memenuhi keinginan atau kehendaknya dalam hubungan sosial walaupun harus menentang atau menghadapi kehendak orang lain. Berdasarkan pengertian ini, kekuasaan dapat diartikan sebagai sesuatu yang menyeramkan karena harus memaksa orang lain untuk mewujudkan keinginannya (Gramedia.com).



Kekuasaan yang didasarkan kepada hawa nafsu memang akan terus memunculkan orang-orang yang mencintai kekuasaan dan akan menghalalkan segala cara untuk terus mempertahankan kekuasaannya. Ciri khas politik hawa nafsu yang muncul dari akal manusia bukan dari Sang Pencipta manusia. Mereka makin menjadi penguasa absolut dan otoriter, tidak pernah terpikir bahwa kekuasaan itu bukan mutlak dimiliki tetapi adalah pemberian dari Tuhan sebagai wujud perwakilan-Nya di dunia untuk membuat manusia itu utuh mengadopsi apa yang Tuhan inginkan untuk mengatur kondisi di dunia, karena memang manusia adalah makhluk yang diberikan keutamaan berupa akal dan tidak ada makhluk Tuhan yang didapuk sebagai wakil-Nya di dunia kecuali manusia.



 Tuhan dalam hal ini Allah Swt. mengabadikan perintah-Nya dalam Al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 30 yang artinya, "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."



Allah Swt. Mahatahu sifat manusia dan kehidupan dunia yang menyilaukan dan memabukkan, maka Allah memerintahkan untuk memberi mandat kepada manusia dengan menerapkan aturan-aturan-Nya dalam kehidupan dunia. Dimulai dengan mandat yang Allah kasih kepada manusia agar mereka mau berhukum dengan hukum yang Allah beri, dan paham betul akan konsekuensi yang diterima langsung dari Allah Swt. ketika mereka melanggar perintah-Nya.



Akan tetapi, karena banyak manusia yang menolak dengan asas hidup sekularisme-kapitalistik (menolak agama mengatur kehidupan dan mengakomodir kepentingan siapa yang banyak memberi dana/kapital) yang akhirnya mereka membuat kekuasaan absolut sendiri dan berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan menggunakan berbagai cara salah satunya adalah otoriter dan represif. Wallahualam bissawab.[]



Hanin Syahidah

Posting Komentar

0 Komentar