Anggun Permatasari
#TelaahUtama
— Macet dan mengular! Itulah kondisi lalu lintas saat Ramadan dan Idulfitri. Namun, berbeda dengan tahun sebelumnya, meski kepadatan masih
terlihat di beberapa titik, mudik tahun ini terasa lebih lengang. Menurut
berbagai sumber, jumlah pemudik tahun ini turun drastis. Ternyata, anjloknya
angka pemudik tidak bisa dianggap sepele, sebab jumlah tersebut menjadi
indikator bahwa perekonomian Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja.
Momen Idulfitri seharusnya bisa mendongkrak perputaran uang lebih besar.
Kondisi tersebut disinyalir akibat penurunan
daya beli masyarakat yang sebenarnya sudah mulai terasa di pertengahan 2024.
Indonesia tercatat mengalami deflasi sejak Mei hingga September 2024, dan
berlanjut satu bulan jelang Ramadan saat tingkat konsumsi masyarakat semestinya
banyak dan meningkat (MetroTVnews.com, 5/4/2025).
Memang faktanya saat ini kehidupan rakyat dirasa makin menderita akibat beban utang
negara dan bunga tibanya yang tidak masuk akal. Tidak adanya pemerataan
pembangunan membuat masyarakat berkumpul di kota besar untuk mencari
penghidupan. Momen hari raya yang diharapkan sebagai ajang menyambung silaturahmi kandas akibat banyak PHK di beberapa perusahaan, biaya hidup makin
tinggi, belum lagi harga tiket transportasi yang mahal.
Sementara itu, M. Habibullah selaku Deputi
Bidang Statistik Produksi BPS menyampaikan bahwa tingkat inflasi pada Maret
2025 lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya dan Maret 2024
(ekonomibisnis.com, 8/4/2025).
Miris, umat muslim lagi-lagi harus menelan pil
pahit kehidupan yang sempit bahkan di momen hari raya. Akibat sistem ekonomi
kapitalis yang mengakar, segala kebijakan yang diambil pemerintah berdampak buruk terhadap pundi-pundi
masyarakat. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, lapangan kerja sulit sementara
PHK banyak terjadi, biaya hidup seperti sembako, biaya pendidikan dan kesehatan
melambung, masyarakat masih dibebani pajak yang mencekik pula. Belum lagi angka
inflasi dan deflasi yang naik-turun, tetapi rakyatlah yang menjadi kambing
hitamnya.
Sebagai informasi, inflasi yaitu keadaan ketika
harga-harga serta upah/pendapatan pada umumnya mengalami peningkatan. Jadi,
daya beli masyarakat kemudian turun, sehingga dia harus mengeluarkan uang lebih
banyak karena harga-harga naik. Sedangkan Deflasi adalah kondisi ekonomi saat
harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan dalam jangka waktu
tertentu yang berbanding terbalik dengan inflasi (kenaikan harga).
Dalam perspektif Islam, sistem Islam tidak
mengenal inflasi dan deflasi. Apabila dilihat dari aspek ekonomi, menurut Pakar Ekonomi Nida Saadah, S.E., Ak., M.E.I., kapitalisme sejatinya yang menjadi penyebab inflasi dari aspek moneter atau mata uang. Bahkan, para pegiat/kapitalis pun
menyadari bahwa sistem mata uang yang saat ini digunakan oleh seluruh negara
membawa banyak persoalan karena Amerika Serikat mendominasi mata uang kertas
dolar.
Parahnya, mata uang juga digunakan
negara-negara besar untuk mengooptasi atau mendominasi negara lain. Sistem ekonomi hari ini
tidak menjadikan emas dan perak, sebagai basis mata uang, melainkan uang
kertas. Belum lagi, dalam sistem kapitalisme, terdapat riba yang membuat
transaksi menggelembung dan tidak berkah pastinya (muslimahnews.net).
Sebaliknya,
sistem ekonomi Islam memiliki sistem moneter yang kuat. Sistem Islam menggunakan sistem emas
dan perak, stabilitas emas dan perak tidak diragukan lagi. Islam harus
independen, tidak mudah tunduk dengan negara lain, sehingga tidak mudah
berutang dan disetir oleh negara lain.
Islam juga
memiliki mekanisme untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini negara
wajib hadir untuk mewujudkannya (tidak hanya sebagai regulator). Syariat Islam
mewajibkan negara mandiri dalam mengelola sumber daya alam. Dengan begitu,
pengelolaan ini akan membuka lapangan pekerjaan yang luas. Pemerintah akan
menjamin semua laki-laki memiliki pekerjaan.
Islam juga
mewajibkan negara mengelola sumber pemasukan negara yang melimpah dari
kepemilikan umum, fai dan kharaj, serta zakat yang akan
menyejahterakan masyarakat. Hal tersebut nantinya akan berpengaruh pada daya
beli masyarakat dalam belanja konsumsi kebutuhan sehari-hari, termasuk ketika
masuk bulan Ramadhan dan Idulfitri. Aturan Islam memastikan distribusi hasil
sumber daya alam dan segala kebaikannya sampai ke setiap individu.
Yang tidak
kalah penting, jaminan kebutuhan pokok dalam Islam bukan hanya pangan, tetapi
juga sandang, papan. Negara akan membantu dan memastikan distribusinya. Negara
juga memfasilitasi semua infrastruktur jalan. Pelayanan transportasi
yang baik diberikan tidak hanya saat momen-momen tertentu seperti Idulfitri, melainkan setiap
waktu.
Kebutuhan
pokok masyarakat terhadap kesehatan, pendidikan, dan keamanan juga akan dijamin
seluruhnya oleh negara. Sistem baitulmal yang kuat dengan pemasukan yang
melimpah dan pengelolaan yang benar akan meniscayakan seluruh aset umat berada
di bawah tata kelola negara bukan swasta. Hasilnya juga akan kembali dan dapat
dinikmati umat.
Persoalan
deflasi, inflasi, serta kesulitan ekonomi lainnya akan bisa diselesaikan
apabila negara diatur dengan sistem ekonomi Islam yang telah terbukti mampu
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dengan perekonomian yang baik dan stabil,
rakyat pun akan bisa beribadah dengan khusyuk dan tenang. Namun, maukah
masyarakat dan penguasa sama-sama melakukan evaluasi agar penderitaan ini
segera berakhir berganti dengan keberkahan?
Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Sesungguhnya kekuasaan adalah amanah, pada
Hari Kiamat nanti akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi
orang yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan apa yang diamanahkan
didalamnya.” (HR Muslim)
Wallahualam
bissawab.
0 Komentar