Negeri yang Kaya, Haruskah Hidup di atas Pajak?



Siti Rima Sarinah

 

#Bogor — Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat (Pemdaprov Jabar) menghadirkan program penghapusan pajak kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang memberlakukan program pembebasan tunggakan pokok dan denda kendaraan bermotor bagi masyarakat. Tunggakan pajak kendaraan hingga tahun 2024 belakang tanpa ada batasan jumlah tahun. Masyarakat diberikan kesempatan untuk memperpanjang masa berlaku kendaraan mulai 20 Maret - 30 Juni 2025, dengan hanya membayar pajak tahun berjalan tanpa harus melunasi tunggakan tahun sebelumnya.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jabar, Dedi Taufik juga mengatakan kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak serta menertibkan data kepemilikan kendaraan. Sehingga tidak ada lagi kendaraan dengan status pajak tertunggak. Sebab, hanya dengan membayar pajak memiliki peran penting dalam pembangunan infrastruktur, termasuk perbaikan jalan. (jabarprov.go.id)

Selintas program penghapusan pajak kendaraan seakan membantu masyarakat untuk melunasi tunggakan kendaraan yang mereka miliki. Namun pada faktanya, program ini ditujukan agar masyarakat patuh terhadap kewajibannya membayar pajak kendaraan. Karena, negara ini dibangun dengan pajak, dan rakyatlah yang dibebani untuk membayar pajak agar pembangunan infrastruktur bisa berjalan sesuai dengan apa yang telah dicanangkan oleh pemerintah.

Di negeri ini, beban rakyat bukan hanya membayar pajak kendaraan, melainkan ada berbagai macam pajak yang menghantui kehidupan rakyat bak lintah darat yang terus menghisap darah rakyat hingga habis tidak tersisa sedikit pun. Bagaimana tidak, rakyat yang beli motor/mobil dari uang mereka sendiri bahkan harus membayar kredit hingga bertahun-tahun, BBM harus beli sendiri, biaya servis ditanggung sendiri, rusak bahkan hilang pun ditanggung sendiri, lantas dari mana logikanya pemerintah menarik pajak tiap tahunnya?

Jerat pajak ini membuat rakyat hidup dalam kubangan kemiskinan. Sekuat apa pun rakyat bekerja dan berjuang mendapatkan kehidupan yang layak, justru uang tersebut terkuras untuk membayar pajak. Sungguh sangat ironis, karena Indonesia negeri yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah ruah dan dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa seharusnya rakyat hidup makmur dan sejahtera tanpa perlu membayar pajak jenis apa pun. Tapi faktanya tidaklah demikian. Rakyat tidak merasakan manfaat dari kekayaan alam yang notabene milik rakyat, tetapi justru yang terjadi sebaliknya, rakyat hidup dalam jerat pajak yang makin hari makin tinggi dan mencekik.

Hal ini terjadi karena kehidupan kita saat ini diatur berlandaskan sistem kapitalisme, yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan dan tumpuan dalam berbagai pembiayaan yang menjadi tanggung jawab negara. Walaupun pada dasarnya kebijakan pajak sangat memberatkan rakyat, tapi pajak tetap diberlakukan oleh negara. Sedangkan kekayaan alam milik rakyat diberikan secara sukarela ke tangan asing dan aseng, sehingga kesejahteraan hanya dirasakan oleh segelintir orang saja.

Inilah kesalahan fatal dan kegagalan nyata sistem buatan manusia yang serba lemah dan terbatas. Ini terbukti dari kehadirannya yang hanya menciptakan berbagai persoalan kehidupan manusia. Rakyat yang seharusnya diurusi dan dilayani oleh negara justru menjadi sapi perahan yang memberikan uang kepada negara dalam bentuk berbagai macam pungutan pajak. Pajak didengung-dengungkan untuk kepentingan rakyat dengan membangun infastruktur seperti jalan tol dan lain sebagainya. Namun tatkala rakyat menggunakan fasilitas jalan tol tersebut, lagi-lagi rakyat harus membayar. Inilah potret kehidupan rakyat di negeri pemalak atas nama pajak. Bahkan slogan "Rakyat Bijak Bayar Pajak" pun tak mampu mereda rasa ketidakadilan bagi rakyat.

Kondisi ini bertolak belakang dengan sistem yang mendedikasikan diri sebagai pelayan dan pengurus semua hajat hidup rakyat. Dalam sistem Islam (Khilafah), negara tidak mengambil pungutan yang bersifat memaksa kepada seluruh rakyatnya, apalagi rakyatnya dalam keadaan miskin. Sebab, negara Khilafah memiliki pos-pos pemasukan dan pos-pos pengeluaran yang dialokasikan untuk memenuhi semua kebutuhan pokok rakyat, yang dikumpulkan dalam kas negara bernama baitulmal. Sehingga rakyat tidak dipaksa terlibat untuk mendanai pembangunan infrastruktur seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme.

Untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dan pengeluaran negara, bisa diambil dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang dikelola langsung oleh negara. Yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, transportasi, dan jalan umum. Semua ini bisa dirasakan dan diperoleh rakyat dengan gratis tanpa harus membayar seperserpun. Rakyat pun bisa merasakan hasil jerih upayanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, tanpa dipusingkan harus membayar berbagai pungutan yang bersifat memaksa (pajak). Justru negara akan memberikan bantuan kepada individu rakyat yang memerlukan modal usaha, tanah pertanian, ataupun hewan ternak yang bisa dikelola untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Dalam kondisi tertentu, apabila kas negara kosong sementara pengeluaran negara tetap harus terpenuhi, atau negara kesulitan dana untuk pembangunan yang bersifat sangat mendesak, atau untuk mengatasi bencana alam, maka negara hanya mengambil pungutan kepada individu rakyat tertentu yang mereka mampu secara finansial. Pungutan ini disebut dengan dharibah yang merupakan harta yang diwajibkan oleh Allah Swt. kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka. Pungutan ini hanya diambil dari kaum muslim yang mampu (aghniya). Pungutan ini juga hanya bersifat insidental, artinya apabila dana yang dibutuhkan sudah mencukupi maka pungutan tersebut akan dihentikan.

Pungutan (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim yang mampu, dan bukan kepada nonmuslim. Tidak seperti pajak yang dibebankan kepada seluruh individu rakyat tanpa melihat apakah mereka mampu atau tidak secara ekonomi. Dari sini kita bisa melihat perbedaan yang sangat mendasar antara pajak yang ada dalam sistem kapitalisme dan dharibah dalam sistem Khilafah. Dan yang terpenting adalah dharibah bukan dijadikan sebagai sumber pemasukan negara seperti pajak.

Walhasil, dengan mekanisme syariat Islam kafah yang diterapkan di setiap lini kehidupan masyarakat, akan terwujud kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di seluruh penjuru negeri. Oleh karena itu, negeri ini harus dilepaskan dari sistem pemalak kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Khilafah yang akan membawa keberkahan dan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Wallahua’lam.

Posting Komentar

0 Komentar