Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Pada Selasa (08/04) Presiden Prabowo menyampaikan dalam acara Saresehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta terkait kebijakan ekonomi teranyar dalam pemerintahannya. Prabowo menyebut dirinya meminta penghapusan kuota impor khususnya terhadap komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan penyederhanaan perizinan teknis (pertek.) Kontan langkah yang diambil Prabowo memicu timbulnya diskusi panas di kalangan masyarakat terutama para pengusaha, ekonom, dan birokrat.
Presiden menjelaskan lebih lanjut dalam sesi dialognya bahwa langkah yang ia ambil merupakan bagian dari upaya strategis pemerintah menyederhanakan birokrasi yang kemudian bisa memudahkan para pelaku usaha. Harapannya langkah tersebut dapat menciptakan ekosistem yang mendorong terciptanya banyak lapangan kerja baru dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Prabowo juga blak-blakan mengecam praktik penunjukkan eksklusif terhadap importir yang dekat dengan penguasa justru memunculkan ketimpangan dan monopoli ekonomi. Tidak jarang praktik tersebut juga berujung pada munculnya kasus-kasus megakorupsi yang menyeret para cuan kelas kakap dan penguasa.
Kebijakan tersebut juga dinilai sebagai respon Prabowo atas tekanan tarif yang diberlakukan Donald Trump baru-baru ini terutama dalam konteks perdagangan di pasar global. Kuota impor disebut-sebut menjadi salah satu hambatan nontarif yang disoroti US Trade Representative (USTR). Hambatan nontarif semacam ini yang menjadi dasar US menetapkan bea masuk resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia. Sekalipun kebijakan Trump ‘ditunda’ selama 90 hari, tampaknya pemerintah ingin terbebas sepenuhnya dari tekanan tarif Amerika melalui penghapusan kuota impor dan beralih pada pemberlakuan tarif impor. Melalui tarif impor siapa saja boleh untuk melakukan transaksi ekspor-impor selama menyetorkan pajak bea cukai kepada pemerintah.
Sekalipun memang benar kuota impor menutup peluang usaha bagi sebagian pihak terutama bagi mereka yang tidak ‘dekat’ dengan pihak yang berwenang, kebijakan ini sering dinilai sebagai upaya proteksi bagi industri dalam negeri. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan penghapusan kuota impor menimbulkan kekhawatiran serius akan stabilitas industri dalam negeri. Kebijakan yang membebaskan importir mana saja untuk memasukkan produk impor akan membuat harga barang impor jauh lebih kompetitif dan berpotensi menekan pasar domestik.
Kebijakan baru kuota impor diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 7/2025 tentang perubahan Perpres No. 61/2024 tentang Neraca Komoditas. Selama ini kuota impor hanya diterapkan untuk komoditas nonpangan berupa minyak bumi dan gas serta komoditas pangan berupa gula, pergaraman, jagung, beras, daging sapi, hasil perikanan, dan bawang putih. Sedangkan komoditas di luar dari yang disebutkan sebelumnya tidak terikat oleh kuota, tetapi bergantung pada kebutuhan industri dalam negeri. Penghapusan kuota impor kemudian menjadikan komoditas-komoditas yang ditetapkan dalam Perpres No. 7/2025 boleh diimpor oleh siapa saja selama sesuai dengan volume yang sudah ditetapkan pemerintah berdasar pada neraca komoditas.
Sistem kuota impor dalam ekonomi kapitalis memang sering kali menimbulkan masalah. Sistem kuota terutama untuk bahan pangan misalnya menjadi ajang favoritisme kelompok tertentu. Dalam importasi bawang putih contohnya, banyak penguasaha yang merasa dirugikan karena jatah kuota diberikan kepada pemain baru yang lebih ‘nempel’ dengan penguasa. Celakanya sistem kuota semacam ini memberi peluang munculnya kasus korupsi importasi pangan mulai dari kasus korupsi impor bawang putih, impor gula hingga impor daging sapi. Seluruh kasus korupsi yang muncul selalu melibatkan pihak cuan sebagai pihak penyuap, birokrat sebagai pemberi izin impor atau kuota, dan para tikus berdasi yang memperdagangkan pengaruh mereka dalam pusaran kekuasaan.
Akan tetapi, sekalipun sistem kuota impor banyak menimbulkan masalah, menghapus kuota semacam itu juga berpotensi menimbulkan masalah baru. Perlu diingat bagaimana sistem perdagangan bebas ala kapitalis di luar komoditas yang diatur dalam Perpres No. 7/2025 telah menciptakan gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) massal di pasar domestik. Sepanjang 2023 saja terdapat lebih dari 150.000 karyawan yang kehilangan pekerjaannya karena Indonesia tergabung dalam China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA). Jangankan ‘pemain kecil’, raksasa tekstil Indonesia PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) ikut terkena imbas dan menyatakan dirinya pailit baru-baru ini.
Sekali lagi, memang benar bahwa supply control yang dilakukan pemerintah melalui pemberlakuan kuota impor untuk komoditas tertentu bisa menimbulkan distorsi pasar karena kerugian efisiensi ekonomi dari pembatasan perdagangan. Namun, pandangan bahwa penghapusan kuota impor dan menggantinya dengan tarif impor dianggap lebih transparan dan adil juga tidak sepenuhnya tepat. Pasalnya solusi tersebut tidak menyelesaikan permasalahan mendasar dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Perlu kita garis bawahi bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, negara hanya bertugas sebagai fasilitator dalam perekonomian rakyat dan membatasi perannya sebagai pelayan masyarakat. Negara pengembang idelogi rusak semacam ini tidak pernah memosisikan dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat.
Misalnya saja dalam industri pangan, negara tidak kemudian memfokuskan usahanya dalam membangun swasembada pangan tetapi justru kian menggantungkan dirinya pada sektor impor. Pemerintah tidak membatasi pembangunan ‘pillar-pillar baja’ bahkan di wilayah pedesaan yang secara langsung mengurangi jumlah lahan pertanian dan perkebunan. Pemerintah juga cenderung berlepas tangan dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) salah satunya dengan efisiensi anggaran yang menyasar sektor pendidikan, tetapi justru sibuk mengurusi program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Pada komoditas beras contohnya, tidak ada argumentasi apa pun yang dapat diterima dengan akal sehat atas kebijakan impor beras yang ugal-ugalan di tiap tahunnya. Celakanya banjir impor beras tidak jarang terjadi justru pada masa panen massal beras di dalam negeri. Para petani beras domestik pun harus ‘berperang’ harga dengan para importir kelas kakap yang memaksa mereka menurunkan harga jual beras di pasaran agar laku di masyarakat. Di sisi lain, pemerintah sama sekali tidak memberikan subsidi yang memadai bagi para petani baik dalam hal bibit, pupuk maupun pengairan. Klaim pemerintah yang berjanji akan melindungi para petani dari gempuran impor pada akhirnya dianggap sebatas omong kosong. Kondisi semacam ini membuat para petani sebagai kelompok paling lemah terus terdesak dan jauh dari kata sejahtera.
Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem perdagangan bebas ala kapitalis memunculkan hukum rimba dalam perekonomian negeri. Pasar bebas yang digagas Prabowo bahkan di komoditas-komoditas vital melalui penghapusan kuota impor dan pemberlakuan tarif impor baru justru menciptakan ‘ring tinju’ nonkelas dalam sistem perdagangan, sehingga para pemodal kelas kakap bisa dengan mudah ‘memakan’ para pemodal kelas teri. Bohong besar jika dikatakan pasar bebas ala kapitalis untuk kesejahteraan bersama! Karena sejatinya sistem ekonomi kapitalis itu by one percent, of one percent, for one percent (oleh, dari, dan untuk kalangan satu persen). Masyarakat adalah pihak 99% yang harus rela dikuasai dan disetir oleh para cuan sebagai pihak 1%.
Dari sini pemerintah seharusnya lebih berpikir keras bagaimana caranya bisa meningkatkan daya saing dan kemampuan dalam negeri, ketimbang harus terus bergantung kepada sektor impor. Cara yang bisa dilakukan pertama adalah dengan meningkatkan dukungan terhadap industri lokal melalui pemberian subsidi untuk bahan baku dan energi serta penghapusan pajak. Pemerintah sudah sepatutnya memaksimalkan potensi dalam negeri untuk menciptakan swasembada lintas sektor khususnya swasembada pangan.
Kedua, pemerintah sepatutnya melakukan perbaikan infrastruktur transportasi dan logistik dengan kebijakan prorakyat yang mampu mengurangi biaya distribusi dan mempercepat waktu pengiriman barang. Dari sini pemerintah harus keluar dari ‘zona nyaman’ dan berperan aktif mengatur distribusi kekayaan masyarakat agar seluruh kebutuhan dasar rakyat bisa terpenuhi individu per individu. Ketiga, penguasa wajib meningkatkan kualitas pendidikan yang didasarkan pada keimanan dan ketakwaan. Tidak hanya sebatas pendidikan murah atau gratis, pemerintah seharusnya mengedepankan pembangunan generasi emas yang berakhlak dan berlomba-lomba menuntut ilmu.
Yang terakhir, penguasa seharusnya menghapus sistem perekonomian ribawi yang secara nyata menggerus kesejahteraan masyarakat. Sistem ribawi tidak hanya menjerat umat manusia pada gaya hidup konsumtif, tetapi juga menjatuhkan rakyat pada pusaran pinjol dan judol guna membiayai gaya hidup hedonis ala kapitalis. Di sisi lain, Allah Swt. sudah memperingatkan umat manusia akan bahaya riba yang bisa menimbulkan kebinasaan dan perpecahan antar umat manusia. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar